Menurut kesejarahan perkembangan
sastra Melayu di Palembang, ada dugaan bahwa munculnya tradisi kesusasteraan di
Palembang telah muncul sebelum masa Islam (abad ke-15 M), namun sejauh
menyangkut kesusastreaannya, Palembang mengalami masa keemasannya setelah Islam
datang (Mu’jizah dan Fathurrahman, 2008:95). Palembang merupakan salah satu
pusat tumbuh suburnya berbagai pengetahuan keislaman di Dunia Melayu-Indonesia,
baik yang berkaitan dengan sastra maupun agama. Beberapa naskah keagamaan
banyak menyebutkan asal-usulnya berasal dari wilayah Palembang, baik ditulis
maupun hanya diterjemahkan di Palembang. Umumnya berbagai karangan dan
terjemahan yang dijumpai tersebut berasal dari periode pertengahan abad ke-18
hingga awal abad ke-19.
Pada awal abad ke-17, Kesultanan
Palembang memberikan minat khusus pada bidang keagamaan dan hal ini mendorong
tumbuhnya pengetahuan dan iklim keilmuan sehingga menjadi faktor penyebab
mengaa Palembang menjadi salah satu pusat kebudayaan Islam di dunia Melayu
(Azra via Mu’jizah, 2008:96). Para Sultan Palembang banyak menjadikan
tokoh-tokoh agama sebagai patron keilmuan mereka dan menjadi sebuah gejala umum
yang bisa terjadi sehingga pada gilirannya para Sultan yang berkuasa tersebut
memberikan kontribusi atas terciptanya atmosfir keilmuan di wilayah Palembang.
Antara abad ke-18 dan 19, Palembang telah melahirkan sejumlah ulama penting
yang dalam hal penulisan naskah-naskah dan kitab-kitab keagamaan tergolong
produktif di zamannya, seperti Syihabuddin bin Abdullah Muhammad, Muhammad
Muhyiddin bin Syihabuddin, Kemas Fakhruddin, dan Muhammad Ma’ruf bin Abdullah
Khatib Palembang. Selain itu ada pula Syaikh Abdussamad al-Palimbani yang cukup
berpengaruh dengan karyanya antara lain Ratib Samman, Zuhrat al-Murid fi
Bayan Kalimat at-Tauhid, Hidayat as-Salikin fi Suluk Maslak al-Muttaqin, Sair
as-Solikin ila ‘Ibadat Rabb al-Alamin, Tuhfat ar-Ragibin, dan Zad
al-Muttawin fi at-Tauhid Rabb al-Alamin (Liaw Yock Fang, 2011:420—424).
Pengembangan keilmuan dimana ulama menjadi patron para sultan ini terjadi pada
masa Kemas Fakhruddin yang menjadi ulama istana pada masa pemerintahan Sultan
Ahmad Najmuddin hingga tahun 1774 dan berlanjut pada masa Sultan Muhammad
Bahauddin (1774—1804). Selain itu, faktor yang melatarbelakangi munculnya
tradisi penulisan kitab-kitab keagamaan di Palembang adalah karena adanya
kontak intelektual dan menjadi transmisi keilmuan yang terjadi antara para
ulama Melayu-Indonesia dan para ulama di pusat dunia Islam, khususnya Makkah
dan Haramayn, Madinah.
Selain menghasilkan kitab-kitab
keagamaan, tradisi kesusasteraan di Palembang juga menghasilkan sejumlah genre
sastra lain, seperti karya-karya kesejarahan, hikayat, syair, prosa, dan
pantun. Adapun sastrawan yang dikenal dari Palembang antara lain, Ahmad bin
Abdullah, Sultan Mahmud Badaruddin, dan Pangeran Panembahan Bupati (Iskandar
via Mu’jizah, 2008:98). Beberapa karya yang telah diindentifikasi adalah Hikayat
Palembang (Kiai Rangga Sayandita Ahmad bin Kiai Ngabehi Mastung),
Silsilah Raja-Raja di dalam Negeri Palembang (Demang Muhyiddin), Cerita
Negeri Palembang, Cerita daripada Aturan Raja-Raja di dalam Negeri Palembang,
Hikayat Mahmud Badaruddin (Pangeran Tumenggung Kartamenggala), Syair
Perang Menteng, Syair Melayu, Syair Residen de Brauw, Hikayat Dewa Raja Agus
Melila, Hikayat Raja Babi, dan Hikayat Raja Budak. Adapun
naskah-naskah tersebut kebanyakan disimpan sebagai koleksi Perpustakaan
Nasional, Jakarta.
REFERENSI
Ahmad, A.
Samad. 1979. Sulalatus Salatin (Sejarah Melayu). Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka Kementrian Pelajaran Malaysia.
Liaw Yock Fang.
2011. Sejarah Kesusasteraan Melayu Klasik. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia
Mu’Jizah dan
Oman Fathurahman. 2008. “Tempat-Tempat Perkembangan Sastra Melayu: Palembang”.
Dalam Sastra Melayu Lintas Daerah. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional.
0 kritik tentang naskah:
Posting Komentar