Menurut Werndly di dalam buku
Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik milik Liaw Yock Fang, hikayat Pelanduk
Jenaka ini termasuk hikayat yang agak tua usianya. Disebutkan oleh Werndly
sejak tahun 1736. Nah, menurut Van der Tuuk, kata ‘Jenaka’ atau ‘Jainaka’
ditafsirkan berasal dari kata Sansekerta ‘jainaka’,
yaitu seorang pendeta agama Jaina yang selalu ditertawakan orang. Beda lagi pendapat
C.A. Mess, yang pernah menerjemahkan hikayat ini ke dalam bahasa Belanda. Dia mengartikan
bahwa kata ‘jinaka’ mungkin berarti
keramat atau suci. Dia menunjukkan bahwa dalam Hikayat Pelanduk Jenaka yang
diterbitkan oleh H.C. Klinkert pada tahun 1885, dimana si Pelanduk sering
bertapa di bukit atau pungsu, dan tempat
itu disebut pungsu jantaka atau
pertapaan dan indrakila di tempat
lain. Nah, sedangkan indrakila itu
tidak lain dari tempat pertapaan Arjuna, dan katanya sih, Arjuna juga sering
disebut Arjuna Janaka atau Jenaka. Banyak lagi pendapat dari sarjana-sarjana
yang lain, namun penulis hanya menerangkan dua pendapat ahli di atas aja, ya. Mau
lebih lengkapnya, silakan lihat buku Liaw Yock Fang. Hehehe
Hikayat ini tuh dulu dua kali
pernah diterbitkan. Yang pertama di tahun 1885 dan yang kedua di tahun 1893. Yang
menerbitkannya H.C. Klinkert, seorang sarjana Belanda. Dua terbitan tentang
cerita pelanduk ini agak beda sih, soalnya yang terbitan pertama tuh ada 10
buah cerita, tapi yang kedua hanya ada 7 buah cerita. Tapi plotnya tetap sama.
Berikut ringkasan cerita dari
kedua terbitan tersebut:
Diceritakan seekor Pelanduk yang kecil tetapi sangat cerdik, bisa menewaskan segala binatang dan menjadi Syah Alam di rimba. Mula-mula diceritakan bagaimana Pelanduk memperoleh kekuatannya; (diterbitan pertama, Pelanduk menggosok badan dengan getah dari pohon ara; terbitan kedua, Pelanduk berguling di dalam serbuk lalang). Seterusnya, Pelanduk diceritakan mampu mendamaikan Kambing dengan Harimau yang bermusuhan. Nama Pelanduk lalu semakin masyhur.Binatang-binatang di rimba datang meminta bantuan karena gangguan seorang raksasa. Dengan tipu daya, raksasa itu dibunuh oleh Pelanduk. Semua binatang takluk kepada Pelanduk dan masing-masing membawa persembahan kepadanya. Namun, Kera tidak mau takluk dan ketika dikejar, ia meminta bantuan kepada Gajah, Singa, dan Buaya. Gajah, Singa, dan Buaya semuanya ditewaskan oleh Pelanduk. Akhirnya, untuk menghukum Kera, Pelanduk menipu Kera sehingga dia pergi menerjang sarang lebah. Kera pun disengat hingga bengkak-bengkak tubuhnya. Pelanduk kemudian mengumumkan bahwa barang siapa yang tidak mau tunduk kepadanya, pasti akan mendapatkan hukuman seperti yang didapat oleh Kera sekarang. Dan tetaplah si Pelanduk di atas singgasananya.
Nah, kan di terbitan 1885 ada 10
cerita, berikut 3 buah cerita yang terdapat di terbitan pertama dan tidak
terdapat di terbitan kedua alias hikayat yang diterbitkan tahun 1893:
1. Pelanduk bertanding meminum air sungai dengan binatang
2. Pelanduk menangkap gergasi yang memakan ikan-ikan yang ditangkap oleh para binatang.
3. Pelanduk membakar Semut yang telah membunuh Gajah.
Akhirnya semua binatang tunduk kepada Pelanduk.
Nah, menurut J. Brandes, versi pendek alias versi 1893 lebih asli, lebih tua, dan lebih penting karena dari penjelasan di atas, plot terbitan 1893 lebih terpelihara daripada plot terbitan 1885. Pendapat J. Brandes juga telah disetujui oleh Winstedt yang menunjukkan bahwa juga ada pengaruh-pengaruh Jawa terdapat di dalam versi tersebut.
Hikayat Pelanduk ini ternyata juga pernah diterbitkan dalam bentuk syair di Singapura pada tahun 1301 H, yaitu tahun 1883/84 Masehi. Syair ini menyerupai yang versi panjang alias terbitan 1885, tapi hanya mengandung 8 cerita saja.
Juga ada dua kumpulan cerita pelanduk yang diterjemahkan dari bahasa Jawa. Yang pertama diterjemahkan oleh Winter dan diberi judul: Riwayat dengan Segala Perihal Kancil, dengan gambaran 12 warna, dan tersalin dari bahasa Jawa. Yang kedua ialah Cerita Kancil yang Cerdik oleh Ng. Wirapustaka, terbitan Balai Pustaka.
Hikayat Sang Kancil sangat populer di Semenanjung Tanah Melayu, dan hikayat ini bersama-sama diterbitkan dengan Hikayat Pelanduk Jenaka Dengan Anak Memerang dengan judul Hikayat Pelanduk dalam Malay Literature Series 13.
Referensi:
Liaw Yock Fang. 2011. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik. Jakarta: YOI
0 kritik tentang naskah:
Posting Komentar