Selasa, 10 Juni 2014

Ringkasan Beberapa Dongeng Aetilogis

Posted in , , ,   with  No comments     Edit

Berikut adalah ringkasan dongeng aetiologis. Semua cerita yang dituliskan di sini diambil dari buku Sejarah Kesusastraan Melayu yang ditulis oleh Liaw Yock Fang.


Kenapa di tepi sungai hutan rimba banyak terdapat pohon yang tinggi?


Pada suatu masa dahulu telah hidup dalam hutan rimba Malaya sebangsa raksasa, Kelembai nama bangsa raksasa itu. Bangsa raksasa ini bisa menyihir manusia menjadi batu atau kayu. Jumlah mereka sangat banyak, sehingga orang-orang Melayu merasa terancam dan membuat rencana untuk mengusir mereka. Beruntung, para Kelembai ini sangat tolol. Orang Melayu memotong ujung bambu dan membiarkannya tegak kembali. Kelembai menyangka bahwa hanya raksasalah yang dapat memotong ujung bambu. Kemudian, seorang kakek yang tua dibaringkan dalam buaian. Bila melihat kakek yang tidak bergigi itu, Kelembai menyangka mungkin itulah bayi yang baru dilahirkan. Timbullah ketakutan dalam hati Kelembai. Akhirnya sisir tanah dianggap sisir manusia; penyu-penyu disangka kutu. Tidak berani lagi mereka tinggal dalam hutan rimba itu. Mereka melarikan diri ke kaki langit. Semua orang yang dijumpai waktu berlari, diajak berlari bersama-sama. Siapa yang enggak ikut, disihir menjadi pohon. Itulah sebabnya di tepi-tepi sungai di hutan rimba Malaya banyak terdapat pohon-pohon yang tinggi dan besar.


Mengapa tongkol jagung berlubang?


Sekali peristiwa, jagung berkata dengan sombongnya bahwa jika tiada padi lagi, ia sanggup memberi makanan kepada manusia. Dagun (sejenis akar) dan Gadung (sejenis tumbuhan melilit yang umbinya mengandung racun) juga mendakwa demikian. Maka mereka pun pergilah mengadu kepada Nabi Sulaiman. Nabi Sulaiman memenangkan jagung. Dagun dan Gadung marah dan pergi mencari duri peram. Jagung mengetahui hal ini dan meracuni dagun. Ini sebabnya dagun masih beracun sampai hari ini. Gadung juga berhasil menusuk jaging dengan duri. Inilah sebabya tongkol jagung masih berlubang sampai hari ini. Perkara ini lalu dibawa kepada Nabi Ilias yang menyuruh mereka kembali kepada Nabi Sulaiman. Nabi Sulaiman menyuruh mereka berkelahi untuk menentukan siapa yang benar. Dua minggu lamanya mereka berkelahi. Pohon mata-lembu melihat perkelahian itu dari dekat sehingga kulitnya rusak; sampai hari ini masih tampak lukanya. Pohon peracak sangat takut dan berlari dengan berjingkat. Itulah sebabnya pohon peracak sampai hari ini masih begitu panjang dan langsing rupanya.


Asal-usul seekor buaya putih.


Pada masa dahulu ada seorang nakhoda, Nakhoda Ragam namanya, yang berlayar dari Jering dengan istrinya yang cantik, Cik Siti. Dalam pelayaran itu, Nakhoda Ragam begitu sering hendak memeluk istrinya sehingga istrinya mengingatkan supaya berhati-hati, karena dia sedang menjahit. Nakhoda Ragam tidak menghiraukan amarah istrinya dan tertusuk oleh istrinya dengan jarum lalu meninggal. Mayatnya disembunyikan dan baru kemudian ditanamkan di Banggor; tetapi rohnya masuk ke dalam tubuh seekor buaya tua. Apabila seekor buaya muncul di perairan di daerah itu, orang yang dalam pelayaran segera berkata, “Nakhoda Ragam, cucumu minta izin untuk lalu.” Buaya lalu hilang dari permukaan air.

Cerita Si Kantan

Pada suatu masa dahulu, di negeri Panai di Sumatera Timur, tinggallah seorang miskin tiga beranak. Anaknya yang bernama Si Kantan itu sudah berumur 16 tahun. Pada suatu hari, bapak Si Kantan masuk mengambil kayu api dalam hutan dan terjumpa sebuah tongkat semambu yang sangat mahal harganya. Tongkat itu, disuruhnya anaknya Si Kantan menjualnya di Pulau Pinang.

Tersebut pula perkataan Si Kantan mendapat uang ringgit yang banyak sekali, karena menjual tongkat semambu. Maka Si Kantan pun hiduplah seperti orang kaya di Pulau Pinang. Hatta ia pun kawin dengan seorang gadis, anak perempuan seorang saudagar kaya. Selang berapa lamanya, ia pun berlayar pulang ke negeri Panai bersama-sama dengan istrinya.

Kabar kedatangan Si Kantan dengan perahunya yang berisi barang-barang yang berharga pun terbetiklah ke seluruh negeri Panai. Ibu Si Kantan juga pergi berjumpa dengan anaknya. Tetapi Si Kantan tidak mau mengakui ibunya. Pikirannya dalam hati, baiklah orang itu jangan kukatakan lagi orangtuaku, malu aku kepada istriku yang seperti bulan penuh itu rupanya. Patutkah orang yang sudah semulia dan sekaya aku mempunyai orang tua yang seburuk dan sekotor itu?

Berkali-kali ibu Si Kantan mencoba bertemu dengan anaknya, tetapi sia-sia saja. Akhirnya ibu Si Kantan berseru, “Ya Allah, Ya Tuhanku. Kalau benar ia anakku yang sudah mendurhaka kepadaku, barang dibalaskan Allah juga kiranya dosanya kepadaku itu.”

Maka dengan takdir Allah, turunlah hujan dan angin badai, air di sungai itu pun menggunung, besar gelombangnya. Perahu Si Kantan itu pun diambung dan diempaskan ombak sehingga tenggelam. Setelah itu, hujan dan angin pun berhentilah. Demi ombak dan gelombang itu berhenti, maka dengan sekonyong-konyong timbullah perahu Si Kantan yang karam itu menjadi sebuah pulau, lalu dinamai Pulau Kantan. Di atas pulau itu ada seekor beruk putih diam, yang disangka orang kejadian dari istri Si Kantan. Hingga sampai pada masa ini, pulau itu kelihatan terang dari negeri Panai.

Referensi:

Liaw Yock Fang. 2011. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik. Jakarta: YOI

0 kritik tentang naskah:

Posting Komentar