Salah
satu fungsi karya sastra adalah menghibur. Karena itulah, karya sastra yang
diciptakan untuk menghibur harus memiliki sifat menggoda reaksi pembaca,
sentimental, stereotip, dan yang terpenting dalam karya sastra tersebut adalah
keindahan di dalamnya. Keindahan sebuah karya sastra tercermin di dalam sistem
imaji maupun susunan kata-katanya.
Menurut
Klinkert (1947:77), kata ‘indah’ memiliki arti bagus, berharga, menarik, tidak
biasa, aneh, penting, dan sangat bagus. Kata ‘indah’ berhubungan dengan sifat
objek yang dinyatakan secara visual, audibel, taktikel, dan olfaktori. Kata
tersebut juga berhubungan dengan sifat-sifat imanen yang dimiliki oleh
ke-indahan itu sendiri, yaitu sesuatu yang luar biasa yang dapat membangkitkan
heran, takjub, dan tamasya.
Motif
adalah istilah yang digunakan untuk melukiskan karakter, peristiwa, atau konsep
yang sering diulang-ulang, yang ada dalam cerita rakyat atau kesusastraan
(Abrams, 1966). Berpijak dari adanya unsur yang telah disebutkan di pengertian
tersebut, akan dibicarakan motif-motif apa saja yang dapat dijumpai di perhelatan
perkawinan dalam memahami Hikayat Malim Deman. Motif-motif itulah yang kemudian
menjadi salah satu unsur keindahan di dalam Hikayat Malim Deman.
Hikayat Malim Deman diciptakan oleh pengarang anonim. Tokoh utama yang
ada di Hikayat ini dan merupakan fokus pentingnya adalah Malim
Deman dan Putri Bungsu. Sosok Malim
Deman digambarkan sebagai seorang tokoh yang rupawan, pandai, berbudi
pekerti
baik, dan mahir berkesenian. Namun, ketika kedua orang tuanya meninggal
dan dia
diangkat menjadi raja, dia menjadi seorang yang suka berjudi dan lalai
pada
tugasnya. Hal itu menyebabkan Putri Bungsu mashgul hatinya dan
meninggalkan
Malim Deman sebelum akhirnya dia menyadari kesalahannya dan kembali
menjadi
orang yang seperti diamanatkan oleh kedua orang tuanya. Putri
Bungsu adalah istri dari Malim Deman dan merupakan salah satu putri raja di kayangan yang memiliki kecantikan
luar biasa dan sangat mencintai Malim Deman.
Jika menggunakan macam-macam sudut pandang pencerita menurut Saleh, maka dalam penceritaan Hikayat Malim Deman, sudut tinjauan yang digunakan adalah pengarang menjadi seorang pengamat, yang menuturkan ceritanya dari luar sebagai seorang observer.
Jika menggunakan macam-macam sudut pandang pencerita menurut Saleh, maka dalam penceritaan Hikayat Malim Deman, sudut tinjauan yang digunakan adalah pengarang menjadi seorang pengamat, yang menuturkan ceritanya dari luar sebagai seorang observer.
Hikayat
Malim Deman bertempat di sebuah negeri imaji yang bernama negeri Bandar Muar.
Selain di negeri itu, ada dua tempat lagi yang sering disebut di dalam hikayat
ini, yaitu di rumah Nenek Kebayan yang berada di hulu negeri Bandar Muar, dan
kahyangan yang menjadi tempat asal Putri Bungsu.
Medan-nya indah bukan kepalang,Rantau-nya luas bagai di-bentang,Tebing-nya tinggi bagai di-raut,Pasir-nya serong bentok taji,Batu-nya ada besar dan kechil,Yang kechil pelontar balam,Jika untong kena ka-balam,Jikalau tidak kena ka-tanah;Menderu selawat ibu ayam,Elang di-sambar punai tanah.
Fakta
Cerita Di Dalam Hikayat Malim Deman
Setiap
cerita harus dan pasti memiliki tema atau dasar. Tema merupakan bagian yang
sangat penting dalam penyusunan cerita, karena jika suatu cerita tidak memiliki
dasar pijakan, cerita tersebut tidak akan memiliki arti sama sekali alias tidak
berguna. Tema yang
menjadi dasar cerita hikayat ini adalah kepahlawanan Malim Deman. Hal itu
bisa diketahui di kutipan berikut ini:
Maka Tuanku Malim Deman pun melangkah berangkat turun dari anjong perak, di-iringkan oleh Bujang Selamat dan Si-Kumbang dengan segala orang besar2, ra’yat tentera, terlalu amat ramai-nya menuju ka-hulu Bandar Muar ;
Tempat jin yang banyak,Tempat shaitan yang banyak;Masok hutan keluar hutan,Masok padang keluar padang,Masok rimba keluar rimba;Bertemu changkat di-daki-nya,Bertemu lurah sama di-turuni,Habis hari berganti hari,Habis malam berganti malam,Habis bulan berganti bulan,Habis tahun berganti tahun;Bukan menchari buruan,Gajah di-jumpa tiada di-tembak,Rusa di-jumpa tiada di-kejar,Badak di-jumpa tiada di-turut,
Selain tema kepahlawanan, Hikayat Malim
Deman juga mengangkat tema percintaan. Dari
kedua tema tersebut, dapat kemukakan masalah-masalah yang dapat disebutkan
secara tradisonal. Masalah dalam Hikayat Malim Deman tersebut adalah:
(1) Mimpi
yang menjadi awal mula petualangan Malim Deman dalam mencari cintanya.
(2) Pelanggaran
janji karena lupa pada amanah dan kewajiban sebagai seorang suami dan pemimpin
negeri.
(3) Perjuangan
merebut kembali yang tercinta.
Dari
masalah-masalah yang telah disebutkan di atas, maka terbentuklah
sebuah alur yang memiliki berbagai motif-motif yang kurang lebih mirip seperti
motif-motif yang bisa ditemukan di hikayat-hikayat Melayu lainnya.
Motif
perjodohan/perkawinan
Bermula
dari sebuah mimpi yang kemudian menjadi awal mula petualangan Malim Deman dalam
mencari Putri Bungsu. Malim Deman, yang merupakan keturunan raja besar,
rupawan, dan diberi karunia ilmu yang lebih tinggi dari yang lain, dinikahkan
dengan Putri Bungsu yang merupakan putri bungsu seorang raja di kahyangan.
Putri Bungsu digambarkan sebagai wanita tercantik yang tiada tandingannya di
dunia.
Motif
sayembara
Dalam
Hikayat Malim Deman, Putri Bungsu melakukan syarat bahwa siapapun yang
menemukan cincin yang telah ditalikan dengan sehelai rambutnya akan menjadi
suaminya. Cincin itupun dihanyutkan di sungai yang kemudian ditemukan oleh
Malim Deman.
Motif
pelanggaran janji
Ketika
Malim Deman dan Putri Bungsu akhirnya telah menjadi suami-istri, dan diangkat
menjadi raja Bandar Muar, Malim Deman dikisahkan menjadi seorang yang suka
berjudi dan main perempuan. Bahkan dia melupakan kewajibannya sebagai seorang
suami saat Putri Bungsu telah hamil tua. Hal itulah yang menyebabkan Putri
Bungsu meninggalkannya.
Motif poligami
Motif poligami
Di
akhir cerita, Malim Deman menjadikan Putri Terus Mata sebagai istri keduanya
karena janjinya terhadap Raja jin Islam yang telah membantunya dalam usahanya
menemui Putri Bungsu.
KEINDAHAN PERKAWINAN DALAM HIKAYAT MALIM DEMAN
KEINDAHAN PERKAWINAN DALAM HIKAYAT MALIM DEMAN
Keindahan
perkawinan di dalam Hikayat Malim Deman tidak luput dari penggunaan motif-motif
dan gaya bahasa paralelisme. Motif yang sering ditemukan di dalam hikayat
adalah bahwa seorang pangeran yang berasal dari keturunan baik-baik, memiliki
rupa yang menawan, dan berilmu selalu mendapatkan pasangan seorang yang berasal
dari keturunan baik-baik pula, serta memiliki wajah yang tak kalah cantiknya.
Karena
kedua mempelai berasal dari keturunan baik-baik dan putra-putri seorang raja,
maka sudah menjadi hal yang biasa jika perkawinan mereka dilangsungkan dengan
cara yang tidak biasa dan bahkan mengikut sertakan para dewa.
Tuanku Malim Deman pun pergi-lah ka-taman bersiram lalu kembali ka-rumah Nenek Kebayan. Maka Tuan Puteri Bungsu dengan Nenek Kebayan pun bangun lalu bersiram juga ; lepas bersiram kembali ka-rumah itu. Maka Nenek Kebayan pun bersiap-lah betapa adat kawin anak raja besar2 juga di-atas kadar-nya. Maka di-persilakan si-raja dewa Tuanku Betara Guru menikahkan Tuanku Malim Deman dengan Tuan Puteri Bungsu serta raja mambang sekalian. Maka berjamu-lah Nenek Kebayan akan raja2 itu, lepas santap masing2 kembali ka-keyangan.
Selain
itu, pesta besar-besaran pun dilakukan meskipun persiapannya memerlukan waktu
berbulan-bulan. Pesta pernikahan tersebut melibatkan seluruh golongan
masyarakat.
Telah genap sa-bulan, maka anakanda kedua laki-isteri pun di-naikkan oleh baginda dengan orang besar2 ka-atas mongkor, tujoh kali berarak berkeliling kota istana, kemudian lalu di-siramkan di-atas balai panchapersada naga berjuang ; baginda kedua laki-isteri menyiramkan anakanda kedua laki-isteri dengan ayer tolak bala dan do’a selamat. Telah bersiram itu, maka baginda pun berangkatlah membawa perarakan anakanda baginda kembali ka-istana, di-iringkan oleh orang besar2, ra’yat hina dina sekalian-nya. Maka baginda pun bertitah menyurohkan jamu raja2 dan orang besar2, ra’yat hina dina sekalian serta orang yang ta’lok jajahan. Maka hidangan pun beribu-ribu di-ator-lah oleh bentara. Maka bentara pun berseru-lah dengan nyaring suara-nya, mengatakan, ‘Silakan sekalian, inilah ayapan yang telah di-karuniai oleh baginda melepaskan nazar putera-nya.’
REFERENSI:
Ana,
Pawang dan Raja Haji Yahya. 1976. Hikayat
Malim Deman. Kuala Lumpur: Fajar Bakti
SDN
Baried,
St. Baroroh dkk. 1985. Memahami Hikayat
Dalam Sastra Indonesia. Jakarta: Pusat
Pembinaan
dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan.
0 kritik tentang naskah:
Posting Komentar