Ya. Saya menulis
salah satu dongeng aetiologis lagi.
Cerita ini salah satu bagian dari Hikayat Saija’an dan Ikan Todak yang pernah
saya baca buku cetaknya saat SMA dulu. Saya tidak tahu, apakah Hikayat ini
memang benar-benar hikayat dan pernah disebutkan di dalam Hikayat Banjar dan
Kotawaringin atau tidak karena sejauh yang saya baca, saya belum menemukan
hikayat Saija’an ini di Hikayat Banjar dan Kotawaringin. Untuk sementara,
kebenaran bahwa cerita ini adalah sebuah hikayat belum bisa saya pastikan dan
masih saya pelajari. Namun yang jelas, dongeng ini adalah cerita rakyat
Kabupaten Kotabaru yang mungkin saja hidup sejak jaman dulu dan wajib diketahui
oleh putra-putri daerah.
Saya sendiri bukan
putra-putri daerah tanah Saija’an, karena saya pernah tinggal di sana hanya
tiga tahun. Pernah sekali saya membaca buku yang menarik perhatian saya,
Hikayat Saija’an dan Ikan Todak ini, dan ceritanya terus menerus menempel di
pikiran saya. Dan sejak pemilihan presiden 2014 lalu, ingatan itu secara
tiba-tiba terus mencuat ke atas dan saya ingin membaca cerita itu lagi. Namun,
saya tidak lagi berada di tanah Kotabaru. Pun, saya tak memiliki bukunya.
Alhasil, saya harus bergantung pada
Go*gle. Setelah mencari-cari dengan susah payah (karena saya lupa judul buku
pun ceritanya), akhirnya saya dapatkan jua. Berikut cerita Kerajaan Pulau
Halimun, salah satu cerita rakyat yang ada di buku Hikayat Saija’an dan Ikan
Todak. Sumber cerita dari Ambin Sayup. Diceritakan kembali oleh Clan Leader.
.
Legenda Kerajaan Pulau Halimun
Disebutlah sebuah kerajaan di Pulau Halimun, pulau yang terletak
paling utara tanah luas Borneo. Kerajaan Pulau Halimun tersebut dipimpin oleh
seorang raja yang bernama Raja Pakurindang, yang memiliki dua orang putera yang
gagah perkasa dan tampan rupawan. Si sulung yang bernama Sambu Batung, dan yang
bungsu diberi nama Sambu Ranjana.
Sambu Batung dan Sambu Ranjana memiliki sifat yang saling bertolak
belakang satu sama lain, layaknya bumi dan langit. Sambu Batung amatlah lincah
dan mudah bergaul. Kepribadian yang terbuka dan senang dengan hal-hal yang
baru. Sangat berbeda dengan Sambu Ranjana yang justru sangat pendiam, tertutup,
tidak suka bergaul dan keramaian, dan sangat apa adanya.
Selama Kerajaan Pulau Halimun dipimpin oleh Raja Pakurindang,
seluruh rakyat di pulau tersebut hidup dengan rukun, makmur, aman, dan
sentausa. Mereka suka bergotong royong dan selalu berbagi dalam kebersamaan.
Kebutuhan sandang dan pangan mereka hasilkan sendiri. Hidup di satu pulau yang
sama, tidak membuat mereka saling acuh tak acuh. Seluruh pulau saling mengenal
tetangga rumahnya, tetangga desanya, dan seluruh penduduk pulau tersebut. Tidak
ada rahasia di antara mereka, karena semuanya layaknya satu keluarga yang sama.
Yang saling berbagi kebahagiaan, maupun kesedihan.
Namun meski begitu, rakyat Kerajaan Pulau Halimun ini tidak pernah
sekalipun berhubungan dengan penduduk pulau lain yang berada di luar pulau. Tak
pernah ada satupun orang asing yang berasal dari pulau yang berbeda datang ke
pulau tersebut, karena jika dilihat dari lautan bebas, pulau tersebut memang tak
nampak. Hilang diselimuti kabut. Nelayan yang berasal dari pulau-pulau lain
hanya melintasinya karena takut tersesat di tengah-tengah halimun (kabut) tebal
yang ada di tengah laut tersebut.
Disuatu hari, Raja Pakurindang bertitah kepada seluruh aparatnya
untuk berkumpul di istana. Dia berkeinginan untuk menyampaikan hal yang sangat
penting.
“Karena rakyat sudah hidup dengan sejahtera,” sabdanya, “dan aku
kian tua jua, sudah saatnya aku meninggalkan istana. Aku akan bertapa.”
Panglima Ranggas Kanibungan bersembah sujud di depan raja mereka dan
bertanya dengan nada sopan, “Paduka akan bertapa dimana?”
Konon, Panglima Ranggas Kanibungan ini memiliki tubuh yang tinggi
dan besar sekali. Setiap kali ia melangkah, tanah bergetar hebat. Dia memiliki
senjata berupa kapak raksasa yang beratnya sama seperti seekor kerbau jantan.
Kapak tersebut disandang olehnya di bahu.
“Di pulau ini jua,” jawab Sang Raja. “Di puncak gunung yang
diselimuti mega.”
“Ampun maaf, Paduka.” Sambu Luan, penasihat raja bertanya sambil mengusap-usap
kumisnya, “Jika Paduka Tuanku tak ada, siapa yang akan bertakhta? Siapa yang
akan menggantikan posisi Tuanku?”
Raja Pakurindang tersenyum tipis. Dia sudah mengira akan mendapatkan
pertanyaan seperti itu. Ujarnya, “Putraku, Sambu Batung akan bertakhta dan
menjalankan pemerintahan. Tentu saja dengan bantuan kalian, para panglimaku,
para punggawaku.”
Semua orang terdiam. Raja Pakurindang kembali berkata, “Namun,
meskipun aku tiada lagi bermukim di sini, bukan berarti diriku ini menghilang
sama sekali. Dari puncak gunung tempatku bertapa, aku bisa memantau semuanya.
Sekali waktu, aku akan memberikan petunjuk dalam bentuk isyarat dan
tanda-tanda.”
“Apa yang harus kami lakukan, Ayahanda?” tanya Sambu Batung.
“Jadilah pemimpin yang adil dan bijaksana, Putraku. Rukunlah dengan
Sambu Ranjana. Kalian harus memberikan tauladan yang baik, agar mampu menjadi
panutan bagi semua orang yang ada di pulau ini. Bukankah sebelum mangkat dulu,
mendiang ibu kalian telah mengajarkan hal tersebut?”
Sambu Batung dan Sambu Ranjana mengangguk, menandakan bahwa mereka
berdua mengerti dan mengingat ajaran ibunda mereka.
Tak ada kata tawar menawar lagi. Jamba Angan, wakil panglima yang
semula hendak bicara kemudian mengurungkan niatnya. Ia sadar, jikalau Raja
Pakurindang telah meninggalkan balai persidangan dan masuk ke kamar istana
untuk mempersiapkan keperluan terakhir sebelum bertapa, itu artinya tak ada
lagi yang dapat dilakukan oleh siapapun untuk mencegahnya, termasuk Jamba Angan
sendiri.
Padahal, masalah yang ingin dia sampaikan kepada Raja Pakurindang
sangat penting sekali.
Sebagai orang yang telah berumur, matanya yang jeli tahu bahwa Putri
Sewangi, anak kandungnya, sangat mencintai Sambu Batung. Namun, Raja
Pakurindang justru menjodohkan putrinya tersebut dengan sang bungsu, Sambu
Ranjana. Sambu Ranjana pun telah menaruh hatinya pada Putri Sewangi.
Jamba Angan juga tahu, bahwa diam-diam anak Panglima Ranggas
Kanibungan yang bernama Putri Perak, yang dicintai oleh Sambu Batung, menyukai
Sambu Ranjana. Wakil panglima tersebut mengetahui konflik cinta keempat
muda-mudi tersebut, dan merasa khawatir pada keberlangsungan hubungan
persaudaraan Sambu Batung dan Sambu Ranjana.
Demi menguraikan benang kusut tersebut, dan menghindarkan
kemungkinan terjadinya aib di kalangan bangsawan istana, Jamba Angan pernah
mengadakan pertemuan rahasia dengan Sambu Luan untuk meminta nasihat. Ia
terdorong untuk melakukan hal itu karena berkaitan dengan nasib putrinya
sendiri, Putri Sewangi.
Kepada Sambu Luan, Jamba Angan mengatakan bahwa ia sering mendengar
kasak kusuk di kalangan pengawal bahwa secara sembunyi-sembunyi Sambu Batung
sering memaksa untuk bertemu dengan Putri Perak, dan pernah menerobos masuk ke
Taman Putri. Dan tak ada satupun para pengawal yang berani untuk mengahalanginya.
Pada pertemuan rahasia di tengah malam itu, Jamba Angan tidak
mendapat nasihat apa pun dari Sambu Luan. Sambu Luan seakan dihadapkan pada
persoalan yang tak dapat dipecahkan oleh siapapun. Setelah mengusap-usap
kumisnya yang beruban dan berpikir sekian lama, penasihat kerajaan itu
mengangkat bahunya, ia tak bisa berbuat apa-apa.
Di keesokan harinya, seluruh aparat Kerajaan Pulau Halimun melepas
keberangkatan Raja Pakurindang. Tetapi, iring-iringan kereta kencana dan
prajurit berkuda itu hanya sampai di kaki gunung karena tak ada yang berani
mendaki. Hal itu disebabkan karena gunung tersebut dianggap sangat angker.
Menjadi hunian berbagai binatang buas, raksasa, siluman, dan makhluk-makhluk
gaib. Hanya orang-orang sakti mandraguna yang berani mendaki hingga ke
puncaknya.
Syahdan, setelah tiga hari tiga malam Raja Pakurindang bertapa,
pohon-pohon yang tumbuh dalam jarak tiga meter di sekitarnya mulai merunduk ke
arahnya, seakan-akan memberi hormat kepada raja besar tersbut. Setelah tujuh
hari tujuh malam ia bertapa, semak belukar dan pepohonan besar yang berjarak
tujuh meter melakukan yang serupa. Hal tersebut berlangsung terus menerus,
hingga pepohonan yang berjarak 99999 meter. Semuanya merunduk seakan bersembah
sujud dan menyatakan takluk. Di kejauhan, semak belukar dan pepohonan itu
berbentuk pegunungan yang diselimuti awan.
Seperti kala Raja Pakurindang memimpin, di bawah takhta Sambu Batung
pun rakyat pulau Halimun hidup tentram, damai, aman, makmur, dan sentausa.
Sebagai pendamping hidupnya, disuntinglah Putri Perak. Pesta perkawinan
berlangsung dengan meriah dan dirayakan oleh seluruh rakyat kerajaan.
Beberapa tahun kemudian, suatu peristiwa genting terjadi. Di dalam
sidang di istana yang dihadiri oleh seluruh aparat kerajaan, terjadi pertengkaran
sengit antara Sambu Batung dan Sambu Ranjana. Mereka berbeda pendapat dalam
mengatasi suatu persoalan. Dari seluruh penjuru desa, aparat kerajaan mendapat
laporan tentang terjadinya peristiwa yang mengancam keberlangsungan hidup para
warga.
Sidang berlangsung dengan suasana tegang. Hanya beberapa orang yang
berani berbicara, yakni Panglima Ranggas Kanibungan dan Sambu Luan.
Usul Sambu Luan, “Ananda berdua, pamanda harap sudahilah
pertengkaran ini. Lebih baik kita mencari cara untuk mengatasinya.”
“Tidak, Pamanda!” tolak Sambu Ranjana dengan suara nyaring, “Kanda
Sambu Batung harus bertanggung jawab atas masalah ini!”
Jamba Angan dan Sambu Lantar mengangguk, mereka mengiyakan. Sambu
Ranjana menambahkan lagi, “Di kerajaan ini, tak ada yang mampu membuka rahasia
mantra penyibak halimun, terkecuali dia orang yang memiliki pengaruh besar dan
sakti mandraguna. Jelas, dia ingin merusak tatanan dan kedamaian dengan
memasukkan budaya luar!”
Melihat keadaan kian genting, peserta sidang mulai berdiri satu persatu.
Mereka memecah diri menjadi dua kelompok. Satu kelompok mendukung Sambu Batung,
dan yang lainnya memihak kepada Sambu Ranjana.
“Dalam keadaan genting seperti ini, kita seharusnya jangan terpecah
belah.” Panglima Ranggas Kanibungan berusaha menengahi, “Tuduhan ananda Sambu
Ranjana itu tidak berdasar. Pamanda harap—”
“Cukup, Pamanda!” bentak Sambu Ranjana. “Pamanda tentu saja tak mau
menyalahkan menantumu sendiri. Kalian telah bersekongkol! Kalian ingin menjual
negeri kita kepada orang asing dengan membuka diri kepada kerajaan lain!”
Mendengar perkataan sang adik yang dianggapnya tidak sopan dan sudah
keterlaluan, Sambu Batung tak mampu lagi menahan amarahnya. Terlebih lagi saat
jelas-jelas Sambu Ranjana menujukan kata-kata kasar itu kepada mertuanya,
sekaligus guru yang ia hormati.
Jeritan istrinya, Putri Perak, tak lagi ia hiraukan. Dengan sekali
lompat, Sambu batung sudah berdiri di hadapan Sambu Ranjana. Berhadap-hadapan
dia dengan adik satu-satunya tersebut, dan dia berkeinginan untuk berteriak di
depan wajah si bungsu. Tatkala ia akan membuka mulut, semua orang dikejutkan
oleh suara gemuruh keras yang kemudian disusul guncangan besar. Udara yang
tiba-tiba menjadi terasa panas menyengat, dan suasana di sana menjadi kacau
balau dalam seketika.
Setelah guncangan mereda, kecemasan tergambar jelas di wajah
masing-masing aparat kerajaan kala melihat segerombolan warga berdesakan untuk
memasuki balai sidang.
“Mohon ampun, Paduka. Sudah sejak tadi kami ingin menyampaikan hal
ini, namun kami tak bisa masuk karena harus menyelamatkan diri.”
Diiringi isak tangis, mereka melapor kembali mengenai hewan ternak
mereka yang mati mendadak tanpa sebab musabab yang jelas. Tanaman, pepohonan,
sawah, ladang, dan kebun menjadi kering kerontang, dan air tak mengalir lagi.
“Kami mohon perlindungan, Paduka. Bencana telah melanda tanah ini.”
Dalam ketakutan, para warga bersembah sujud, “Tanda-tanda dan isyarat telah
terlihat. Di gunung pertapaan Raja Pakurindang telah berkibar bendera merah.”
Sambu Batung beserta seluruh aparat kerajaan terkejut. Mereka
tertegun, tenggelam dalam ketakutan di pikiran mereka masing-masing. Mereka
masih mengingat jelas amanat dari Raja Pakurindang bahwasanya jika di puncak
gunung berkibar bendera putih, itu pertanda bahwa kedamaian dan kemakmuran
datang di tanah mereka. Apabila yang berkibar adalah bendera kuning, merupakan
pertanda bahwa kekeringan dan penyakitlah yang datang. Jikalau bendera merahlah
yang berkibar, itu adalah tanda-tanda bahwa bencana dan malapetaka akan datang.
Melihat Sambu Batung diam mematung, Punggawa Sembilan segera
menghaturkan sembah sujud. Mereka memohon agar junjungannya melakukan tindakan
nyata untuk melindungi rakyat, memberikan bantuan dan pertolongan.
Namun Sambu Batung tetap diam membisu.
Sebuah guncangan dahsyat dan hawa panas tiba-tiba datang lagi dan
mereka rasakan kembali. Lebih kuat, lebih panas, dan lebih mengerikan daripada
yang pertama kali terjadi. Di antara suara gemuruh dan hawa panas yang
menyengat itu, lantai, dinding, dan pilar-pilar istana retak-retak dan roboh
satu persatu. Sambu Ranjana berteriak, “Sambu Batung! Kau pengkhianat! Kau
telah melanggar wasiat leluhur! Semua ini salahmu!”
“Paduka, tolong jangan bertengkar lagi.” Panglima Ranggas Kanibungan
menengahi, “Mari kita bersatu untuk mengatasi masalah ini.”
Bersama dengan Punggawa Sembilan, ia berpegangan tangan satu sama
lain. Mereka berdiri di antara pilar-pilar istana yang retak. “Mari kita
bulatkan tekad, satukan hati, untuk mengusir kekuatan jahat ini!”
Kata-kata Panglima Ranggas Kanibungan itu seolah menjadi sebuah
perintah. Sambu Batung dan Sambu Ranjana terpaksa mengalah dan menggabungkan
diri ke dalam barisan. Namun, mereka tak mau bergandengan tangan. Alhasil,
Sambu Batung di ujung barisan sebelah kiri, Sambu Ranjana di kanan, dan
Panglima Ranggas Kanibungan berada di tengah.
Dipimpin Panglima Ranggas Kanibungan yang berbadan besar, sesaat
mereka memejamkan mata. Menghimpun kekuatan batin mereka, dan menyalurkannya
melalui tangan amsing-masing dan serempak memukulkannya sekuat tenaga sambil
berteriak. Sasaran pukulan mereka adalah arus panas berapi yang berpusar di
hadapan, berpusar layaknya angin puting beliung. Apapun yang dilintasi olehnya
akan roboh dan tergulung.
Namun bukannya berhenti, arus panas berapi tersebut justru berbalik
dan memantulkan pukulan yang mereka lancarkan. Mereka semua terlempar, jauh
sekali. Terpencar-pencar dan jatuh dengan pakaian hangus dan tubuh lecet. Kapak
besar Ranggas Kanibungan pun terpental jauh. Kelak, ia menjadi Pulau Kapak.
Setelah bertarung melawan bencana tersebut selama tujuh hari tujuh
malam dengan mengerahkan seluruh kesaktian, mereka sadar bahwa tak mungkin bagi
mereka semua mengalahkan kekuatan jahat tersebut. Saat itulah, ketika angin
mendadak gelap dan hujan di angkasa terdengar suara yang amat mereka kenal.
Suara Raja Pakurindang.
“Wahai warga Pulau Halimun.
Percuma kalian melawan, karena ini sudah takdir kalian. Tak ada yang harus
disalahkan. Dan kalian, anak-anakku, dengarkanlah titahku ini!”
“Hamba, Ayahanda.” Sambu Batung dan Sambu Ranjana serempak menyahut.
Suara mereka sangat lemah dan bergetar. Tubuh mereka gemetaran.
“Sambu Batung, engkau dan
Putri Perak tinggallah di utara pulau ini. Teruskan keinginanmu membuka diri
dan membaur di alam nyata.” Suara itu terdengar bijaksana,
seperti yang selama ini mereka selalu dengar. Ujar suara itu lagi, “Dan engkau, Sambu Ranjana! Tinggallah di
selatan. Lanjutkan niatmu menutup diri. Aku merestui jalan hidup yang kalian
inginkan masing-masing. Namun ingatlah, meskipun hidup di alam berbeda, kalian
harus tetap rukun. Harus tetap saling membantu dan saling mengingatkan.”
“Pesan Ayahanda akan selalu kami ingat dan kami junjung.” Sambu
Batung dan Sambu Ranjana serempak menyahut.
Bersamaan dengan itu, gelegar guntur, kilat, dan petir membelah
angkasa. Hujan turun sangat deras, menciptakan banjir besar. Dari puncak
gunung, air turun bagai ditumpahkan. Melongsorkan tanah, bebatuan, hewan-hewan,
dan pepohonan. Pohon-pohon besar tumbang disambar petir, hingga tercabut hingga
akarnya. Dihanyutkan oleh air, dan dengan cepat meluncur ke pemukiman penduduk.
Melanda istana, menerjang segala sesuatu yang menghalangi jalannya.
Pun Putri Sewangi dihanyutkan pula oleh banjir besar tersebut. Dia
menangis sedih berkepanjangan karena cinta kasihnya yang tak pernah sampai
kepada Sambu Batung. Ia berserah diri kepada banjir yang membawanya. Arus air
menghanyutkannya ke laut, dan dalam gemuruh guntur, petir, angin, hujan, dan
badai, Putri Sewangi terus menangis tanpa henti.
Dengan hati penuh sesal, dilemparkannya serudungnya yang basah oleh
air mata. Serudung itu diterbangkan oleh angin ke tempat yang sangat jauh
sekali. Dan kelak tempat jatuhnya serudung itu menjadi Pulau Serudung. Dalam
duka dan nestapa, Putri Sewangi bersumpah takkan pernah bersuami dan akan
mengasingkan diri.
Karena sumpahnya itu, Putri Sewangi menjelma menjadi sebuah pulau
tersendiri, Pulau Sewangi. Dipisahkan oleh laut dan berada di sebelah barat
Kerajaan Pulau Halimun. Ia masih dapat memandang ayahandanya, Jamba Angan, yang
berubah menjadi gunung Jambangan. Gunung Jambangan masih berdekatan dengan
Gunung Saranjana yang merupakan perubahan wujud Sambu Ranjana. Gunung Saranjana
dipenuhi dengan misteri dan teka-teki. Sedangkan Sambu Batung menjadi Gunung
Sebatung, berdampingan dengan Gunung Perak.
Banjir besar itu juga menghanyutkan Sambu Lantar. Setelah sekian
lama hanyut oleh air, ia terdampar di tempat yang kemudian menjadi Desa Lontar.
Punggawa Sembilan, yaitu Marsiri, Mardapan, Margalap, Marbatuan, Marmalikan,
Mardanawan, dan Markalambahu turut hanyut dan terbawa ke tempat paling jauh dan
menjadi Pulau Sembilan. Seluruh kesaktian yang mereka miliki melebur menjadi
satu menjadi Pulau Sebuku.
.::END::.
.
.
Kenapa saya tertarik pada cerita ini dibandingkan delapan cerita
yang lain di buku yang sama? Karena kata Bung Karno, “Jangan sekali-kali
melupakan sejarah!”
Seperti kata Bung Karno, haram rasanya jika kita melupakan sejarah.
Dari sejarah (meskipun sifatnya fiksi), kita bisa mempelajari sesuatu. Sesuatu
yang bisa menjadi bahan pembelajaran kita di masa ini dan masa depan. Saya
pernah mendengar seseorang berkata, “Barangsiapa yang melupakan sejarah, akan
mengalami sejarah itu sendiri.”
Rasanya di Indonesia sendiri sering terulang peristiwa-peristiwa
yang sama yang pernah terjadi di masa lalu. Apakah itu karena banyak yang mulai
melupakan sejarah bangsanya sendiri? Entahlah, siapa yang tahu.
Selain
itu, kenapa saya juga memilih cerita ini. Hm… mungkin karena pikiran absurd,
“Orang-orang di tanah Borneo jauh lebih hebat daripada orang di tanah Jawa. Di
Jawa, orang-orang cuman jadi candi (Roro Jonggrang), gunung (Sangkuriang).
Kalau di Borneo orang-orang bisa berubah jadi pulau.” /abaikan pikiran konyol
saya ini/
Dibandingkan
alasan absurd saya di atas, ada hal lain penyebab saya sangat menyukai cerita
ini. Cerita ini seakan menceritakan sesuatu yang Indonesia banget. Apa
yang Indonesia banget itu? Laut dan
kepulauan. Indonesia negara yang bukan dataran, tapi negara kepulauan. Tak ada
dataran di Indonesia. Hanya ada daratan pulau. Dan yang menghubungkan semua
pulau-pulau itu adalah laut. Uhm… jadi intinya gini, saya suka laut. Dan saya
suka kepulauan. Karena itulah saya suka dengan cerita yang berbau laut dan
kepulauan. /oke, ini tambah absurd/
Oh ya,
sekali lagi, mengenai keberadaan legenda dan hikayat ini sendiri masih saya
pelajari. Pasti ada setidaknya naskah yang menuliskan hikayat ini, karena jujur
saja, cerita-cerita di dalamnya terasa sangat terstruktur sekali. Untuk saat
ini, saya memulai untuk membaca Hikayat Banjar dan Kotawaringin (meskipun bukan
naskah asli atau terjemahan yang benar-benar dituliskan berdasarkan naskah
asli). Semoga skripsi saya nanti memakai judul ini /heh.
Referensi:
Liaw Yock Fang. 2011. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik. Jakarta: YOI
Najam, M. Sulaiman, M. Syukri Munas, dan Eko Suryadi WS. 2008. Hikayat Sa'ijaan Dan Ikan Todak. Kotabaru: KSI Kotabaru
Referensi:
Liaw Yock Fang. 2011. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik. Jakarta: YOI
Najam, M. Sulaiman, M. Syukri Munas, dan Eko Suryadi WS. 2008. Hikayat Sa'ijaan Dan Ikan Todak. Kotabaru: KSI Kotabaru
0 kritik tentang naskah:
Posting Komentar