Minggu, 27 September 2015

Hikayat Hang Tuah (Jilid I)

Berikut ini merupakan ringkasan cerita dari Hikayat Hang Tuah Jilid I yang saya ambil dari terjemahan Hikayat Hang Tuah yang dilakukan oleh Muhammad Haji Salleh (2013). Hikayat Hang Tuah ini merupakan kisah petualangan pahlawan Nusantara yang diceritakan secara sastrawi nan heroik. Seperti judulnya, hikayat ini memiliki tokoh utama yang bernama Hang Tuah, seorang pahlawan budaya yang tidak tertandingi dan telah menjadi teladan sosial dan moral bagi penduduk Melayu, Malaysia, Indonesia, Singapura, Thailand (selatan), dan Brunei selama berabad-abad lamanya. Hang Tuah menjadi lambang dari pengorbanan diri, pencapaian, patriotisme, dan lambang kelangsungan hidup masyarakat, baik generasi muda, maupun generasi tua.


.::Selamat membaca::.


Pada permulaan kisah, hikayat ini menelusuri asal usul dinasti kerajaan Palembang hingga ke raja-raja langit, yang merupakan asal silsilah para raja Melayu yang biasanya seringkali ditemukan pada cerita-cerita sastra klasik.


Kisah ini kemudian berlanjut pada pernikahan keturunan raja keinderaan—negeri surga—yang bernama Sang Sapurba dengan putri bumi yang cantik jelita dan merupakan putri seorang raja yang agung, Ratna Kemala Pelinggam—yang putra mereka kemudian menikahi gadis yang lahir dari muntahan sapi suci. Mereka lalu dinobatkan menjadi raja dan ratu Bukit Seguntang, dan anak-anak mereka ditakdirkan menjadi raja-raja di Kepulauan Melayu. Setelah menobatkan dirinya sendiri sebagai seorang raja di Bukit Seguntang (Palembang), salah satu putra mereka menjadi Raja Bintan—sebuah pulau yang berada di timur Kepulauan Riau.


Hang Mahmud dan Dang Merdu—orang tua Hang Tuah—tinggal di Sungai Duyung—yang kemungkinan berada di Pulau Lingga, sebelah selatan Kepulauan Riau. Menjelang anak mereka lahir, Hang Mahmud bermimpi tentang sinar bulan yang lembut menerangi anaknya itu. Didorong oleh pertanda ini, mereka lalu pindah ke Bintan, dimana terdapat kerajaan yang telah mapan, dan Hang Mahmud menganggap akan lebih mudah mencari nafkah di tempat itu.


Dari tempat itulah, ketika Hang Tuah berusia sepuluh tahun, dia bersama keempat temannya yaitu Jebat, Kasturi, Lekir, dan Lekiu, berlayar dengan sampan kecil menuju utara Singapura. Selama perjalanan, mereka dikejar oleh bajak laut. Namun, dengan menggunakan strategi yang cerdik, mereka mampu mengalahkan bajak laut tersebut. Pada kesempatan yang lain, Hang Tuah membunuh seorang pengacau, dan kemudian bersama sahabatnya, mereka membunuh empat orang pengacau lainnya yang berniat mencelakai Bendahara (Wazir atau Perdana Menteri). Kabar mengenai dua perbuatan berani itu lalu sampailah ke telinga Sultan yang baru dan meminta Bendahara untuk menjadikan kelimanya sebagai pesuruh di istananya.


Kelima sahabat itu datang ke kerajaan ketika kerajaan masih dalam kondisi berjuang untuk membangun istana dan kerajaan yang stabil, dan melakukan perdagangan dengan kerajaan lain untuk meningkatkan ekonomi kerajaan.


Dengan ditemani oleh keempat temannya, Tuah belajar seni bela diri dan ilmu sihir kepada Aria Putra, seorang guru terkenal.


Tuah digambarkan sebagai seorang pemuda cakap yang menguasai dua belas bahasa diusianya yang masih sangat muda—hal ini karena penulis hikayat mempersiapkan dia sebagai pahlawan dari negara maritim yang letaknya strategis dalam perdagangan internasional yang jalurnya melalui Selat Malaka.


Karena Raja sedang mencari tempat yang lebih strategis untuk kerajaan di semenanjung tersebut, maka dikirimlah sebuah ekspedisi. Ekspedisi itu kemudian menemukan tempat yang baik, dimana seekor kancil dengan beraninya menyerang dan mengalahkan seekor anjing pemburu di dekat sebuah pohon ‘Malaka’. Istana dan benteng kemudian dibangun mengelilingi pulau. Dan karena lokasinya bagus, Malaka dengan cepat berkembang menjadi kerajaan dan pelabuhan yang maju pesat.


Kini Hang Tuah telah menjadi seorang pemuda kesayangan Sultan. Ia pun dikirim ke Majapahit—yang merupakan kerajaan terhebat di Asia Tenggara pada saat itu—sebagai wakil Sultan untuk menikahi putri Betara yang bernama Raden Galuh Cendera Kirana. Keberanian, kedisiplinan, dan kesantunan Hang Tuah dalam pergaulan kemudian diuji, dan dia berhasil melewati semua ujian tersebut dengan sangat baik. Ketika dia kembali lagi ke Majapahit untuk mengawal Raja guna melakukan upacara pernikahan, tantangan yang dihadapinya justru menjadi lebih berat dan sulit untuk ditaklukan. Dia dan para sahabatnya diserang oleh para pengacau yang memperdaya mereka dengan berbagai macam cara. Namun Hang Tuah dan sahabat-sahabatnya menang.


Ditengah hingar-bingar dan kegembiraan pesta pernikahan, Hang Tuah dan sahabat-sahabatnya melarikan diri ke pegunungan untuk belajar dengan Sang Persata Nala, yang sangat terkenal kemampuan seni bela diri dan sihirnya.


Selama perjalanan menuju Majapahit ini, Hang Tuah juga mampu mengalahkan seorang kesatria pengembara bernama Taming Sari—yang diutus oleh Patih Gadjah Mada untuk membunuhnya—dan pada akhirnya Betara memberikan keris sakti Taming Sari kepada Hang Tuah.


Ketika mereka kembali ke Malaka, para pembesar kerajaan yang iri—karena Hang Tuah menjadi kesayangan Raja—di kerajaan merencanakan sesuatu. Dikepalai oleh Patih Kerma Wijaya—menteri yang diasingkan dari Lasem di Jawa—para pembesar itu melaporkan kepada Raja bahwa mereka telah melihat Hang Tuah berbicara dengan selir kesayangan Raja. Nuansa perselingkuhan di kerajaan merupakan tindakan pengkhianatan di dalam istana dewaraja ini, dan hal itu menyebabkan Raja menjadi sangat murka.


Terbakar amarah dan kekecewaan, serta tanpa melakukan penyelidikan terlebih dahulu terhadap tuduhan tersebut, Raja memerintahkan Bendahara untuk menyingkirkan Hang Tuah dari Malaka, dengan kata lain membunuhnya. Namun Bendahara merupakan menteri yang bijaksana yang dapat melihat rencana jahat tersebut. Oleh karena itu, dia meminta agar terdakwa diperbolehkan pergi menuju Inderapura untuk meminta perlindungan di sana. Bendahara melakukan hal ini semata-mata untuk merencanakan beberapa cara untuk mengembalikan kepercayaan Raja kepada Hang Tuah. Dengan menggunakan perpaduan antara tipu-muslihat dan ramuan cinta, Hang Tuah mampu membawa pulang Tun Teja yang cantik untuk menemui Rajanya, serta mendapatkan kembali kepercayaan dan kemurahan hati Raja.


Para pembesar yang iri kemudian kembali merencanakan rencana jahat lain yang juga bernuansa percintaan lagi. Mereka menyatakan bahwa telah menyaksikan Hang Tuah memiliki hubungan gelap dengan wanita di Istana.


Hang Tuah dihukum mati lagi. Kali ini Bendahara menyembunyikannya di kebun buah-buahan miliknya, jauh dari pengawasan orang-orang Malaka. Hang Jebat kemudian ditunjuk menggantikan posisi Hang Tuah dan tak lama kemudian dia pun menjadi kesayangan Raja juga. Sementara itu, Jebat memanfaatkan kesempatan ini tidak hanya untuk meningkatkan martabatnya, namun juga untuk membalas kematian Tuah.


Jebat merebut istana beserta dayang-dayangnya, yang beberapa di antaranya merupakan kesayangan Raja. Di dalam istana feodal Melayu, hal ini dianggap sebagai sebuah pengkhianatan besar.


Raja memutuskan untuk meninggalkan istana yang ternoda tersebut. Dia merasa malu dan tak dihormati, sehingga dia menyesal telah membunuh Hang Tuah tanpa menyelidiki tuduhan pengecut dari para pembesar yang iri terlebih dahulu. Bendahara kembali menyelamatkan Raja dengan mengungkapkan bahwa dia tidak membunuh Tuah, namun menyembunyikannya di hulu Sungai Malaka. Maka Hang Tuah pun dipanggil pulang untuk menyingkirkan Jebat dari Malaka. Meskipun Jebat adalah teman dan sahabat terbaiknya, namun di mata Hang Tuah sekarang Jebat tidak lain merupakan seorang pengkhianat kerajaan. Inilah klimaks yang tragis dan menyedihkan dari cerita ini.


Ketika bertarung sebagai saudara dan teman, mereka mengetahui kewajiban mereka kepada Raja dan sahabat masing-masing, sehingga mereka berbicara, berdiskusi, dan berdebat. Di dalam benaknya, Tuah tahu bahwa dia harus membunuh Jebat. Namun Jebat juga tahu bahwa dia tidak akan terbunuh selama dia memiliki keris Taming Sari yang diberikan kepadanya setelah Hang Tuah dihukum mati. Oleh karena itu, untuk memperoleh keris itu kembali, Hang Tuah harus menipunya. Dia mencuri keris itu menggunakan cara yang kurang terhormat. Dengan memiliki keris itu, Hang Tuah dapat melukai Jebat dengan meninggalkannya berdarah-darah hingga mati. Dengan darah yang terus mengalir keluar, Jebat membunuh ribuan orang untuk membalas dendam terhadap Sultan dan takdirnya.


Pada klimaks cerita ini, orang Melayu harus memilih antara pencari keadilan yang setia dan tabah, dan pemberontak yang menginginkan keadilan. Di satu sisi, mereka berdua hanya mewakili dua sisi kepribadian dan karakter orang Melayu yang merupakan abdi yang setia serta pemberontak.


Setelah kematian Jebat yang tragis, Malaka menjadi stabil. Pedagang dan santri dari seluruh dunia menjejali pelabuhan itu. Berbagai isi dari istana lain diterima. Untuk membalas kunjungan diplomatik, maka Hang Tuah diangkat sebagai utusan ke istana Keling dan Cina.


.::Jilid I selesai::.


Sumber pustaka:


Salleh, Muhammad Haji. 2013. Hikayat Hang Tuah Jilid I. Jakarta: Ufuk Publishing House