Berikut
ini merupakan ringkasan cerita dari Hikayat
Hang Tuah
Jilid I yang saya ambil dari terjemahan Hikayat Hang Tuah yang
dilakukan oleh Muhammad Haji Salleh (2013). Hikayat Hang Tuah ini
merupakan kisah petualangan pahlawan Nusantara yang diceritakan
secara sastrawi nan heroik. Seperti judulnya, hikayat ini memiliki
tokoh utama yang bernama Hang Tuah, seorang pahlawan budaya yang
tidak tertandingi dan telah menjadi teladan sosial dan moral bagi
penduduk Melayu, Malaysia, Indonesia, Singapura, Thailand (selatan),
dan Brunei selama berabad-abad lamanya. Hang Tuah menjadi lambang
dari pengorbanan diri, pencapaian, patriotisme, dan lambang
kelangsungan hidup masyarakat, baik generasi muda, maupun generasi
tua.
.::Selamat
membaca::.
Pada
permulaan kisah, hikayat
ini menelusuri asal usul dinasti kerajaan Palembang hingga ke
raja-raja langit, yang merupakan asal silsilah para raja Melayu yang
biasanya seringkali ditemukan pada cerita-cerita sastra klasik.
Kisah
ini kemudian berlanjut pada pernikahan keturunan raja
keinderaan—negeri
surga—yang bernama Sang Sapurba dengan putri bumi yang cantik
jelita dan merupakan putri seorang raja yang agung, Ratna Kemala
Pelinggam—yang putra mereka kemudian menikahi gadis yang lahir dari
muntahan sapi suci. Mereka lalu dinobatkan menjadi raja dan ratu
Bukit Seguntang, dan anak-anak mereka ditakdirkan menjadi raja-raja
di Kepulauan Melayu. Setelah menobatkan dirinya sendiri sebagai
seorang raja di Bukit Seguntang (Palembang), salah satu putra mereka
menjadi Raja Bintan—sebuah pulau yang berada di timur Kepulauan
Riau.
Hang
Mahmud dan Dang Merdu—orang tua Hang Tuah—tinggal di Sungai
Duyung—yang kemungkinan berada di Pulau Lingga, sebelah selatan
Kepulauan Riau. Menjelang anak mereka lahir, Hang Mahmud bermimpi
tentang sinar bulan yang lembut menerangi anaknya itu. Didorong oleh
pertanda ini, mereka lalu pindah ke Bintan, dimana terdapat kerajaan
yang telah mapan, dan Hang Mahmud menganggap akan lebih mudah mencari
nafkah di tempat itu.
Dari
tempat itulah, ketika Hang Tuah berusia sepuluh tahun, dia bersama
keempat temannya yaitu Jebat, Kasturi, Lekir, dan Lekiu, berlayar
dengan sampan kecil menuju utara Singapura. Selama perjalanan, mereka
dikejar oleh bajak laut. Namun, dengan menggunakan strategi yang
cerdik, mereka mampu mengalahkan bajak laut tersebut. Pada kesempatan
yang lain, Hang Tuah membunuh seorang pengacau, dan kemudian bersama
sahabatnya, mereka membunuh empat orang pengacau lainnya yang berniat
mencelakai Bendahara (Wazir atau Perdana Menteri). Kabar mengenai dua
perbuatan berani itu lalu sampailah ke telinga Sultan yang baru dan
meminta Bendahara untuk menjadikan kelimanya sebagai pesuruh di
istananya.
Kelima
sahabat itu datang ke kerajaan ketika kerajaan masih dalam kondisi
berjuang untuk membangun istana dan kerajaan yang stabil, dan
melakukan perdagangan dengan kerajaan lain untuk meningkatkan ekonomi
kerajaan.
Dengan
ditemani oleh keempat temannya, Tuah belajar seni bela diri dan ilmu
sihir kepada Aria Putra, seorang guru terkenal.
Tuah
digambarkan sebagai seorang pemuda cakap yang menguasai dua belas
bahasa diusianya yang masih sangat muda—hal ini karena penulis
hikayat mempersiapkan dia sebagai pahlawan dari negara maritim yang
letaknya strategis dalam perdagangan internasional yang jalurnya
melalui Selat Malaka.
Karena
Raja sedang mencari tempat yang lebih strategis untuk kerajaan di
semenanjung tersebut, maka dikirimlah sebuah ekspedisi. Ekspedisi itu
kemudian menemukan tempat yang baik, dimana seekor kancil dengan
beraninya menyerang dan mengalahkan seekor anjing pemburu di dekat
sebuah pohon ‘Malaka’. Istana dan benteng kemudian dibangun
mengelilingi pulau. Dan karena lokasinya bagus, Malaka dengan cepat
berkembang menjadi kerajaan dan pelabuhan yang maju pesat.
Kini
Hang Tuah telah menjadi seorang pemuda kesayangan Sultan. Ia pun
dikirim ke Majapahit—yang merupakan kerajaan terhebat di Asia
Tenggara pada saat itu—sebagai wakil Sultan untuk menikahi putri
Betara yang bernama Raden Galuh Cendera Kirana. Keberanian,
kedisiplinan, dan kesantunan Hang Tuah dalam pergaulan kemudian
diuji, dan dia berhasil melewati semua ujian tersebut dengan sangat
baik. Ketika dia kembali lagi ke Majapahit untuk mengawal Raja guna
melakukan upacara pernikahan, tantangan yang dihadapinya justru
menjadi lebih berat dan sulit untuk ditaklukan. Dia dan para
sahabatnya diserang oleh para pengacau yang memperdaya mereka dengan
berbagai macam cara. Namun Hang Tuah dan sahabat-sahabatnya menang.
Ditengah
hingar-bingar dan kegembiraan pesta pernikahan, Hang Tuah dan
sahabat-sahabatnya melarikan diri ke pegunungan untuk belajar dengan
Sang Persata Nala, yang sangat terkenal kemampuan seni bela diri dan
sihirnya.
Selama
perjalanan menuju Majapahit ini, Hang Tuah juga mampu mengalahkan
seorang kesatria pengembara bernama Taming Sari—yang diutus oleh
Patih Gadjah Mada untuk membunuhnya—dan pada akhirnya Betara
memberikan keris sakti Taming Sari kepada Hang Tuah.
Ketika
mereka kembali ke Malaka, para pembesar kerajaan yang iri—karena
Hang Tuah menjadi kesayangan Raja—di kerajaan merencanakan sesuatu.
Dikepalai oleh Patih Kerma Wijaya—menteri yang diasingkan dari
Lasem di Jawa—para pembesar itu melaporkan kepada Raja bahwa mereka
telah melihat Hang Tuah berbicara dengan selir kesayangan Raja.
Nuansa perselingkuhan di kerajaan merupakan tindakan pengkhianatan di
dalam istana dewaraja ini, dan hal itu menyebabkan Raja menjadi
sangat murka.
Terbakar
amarah dan kekecewaan, serta tanpa melakukan penyelidikan terlebih
dahulu terhadap tuduhan tersebut, Raja memerintahkan Bendahara untuk
menyingkirkan Hang Tuah dari Malaka, dengan kata lain membunuhnya.
Namun Bendahara merupakan menteri yang bijaksana yang dapat melihat
rencana jahat tersebut. Oleh karena itu, dia meminta agar terdakwa
diperbolehkan pergi menuju Inderapura untuk meminta perlindungan di
sana. Bendahara melakukan hal ini semata-mata untuk merencanakan
beberapa cara untuk mengembalikan kepercayaan Raja kepada Hang Tuah.
Dengan menggunakan perpaduan antara tipu-muslihat dan ramuan cinta,
Hang Tuah mampu membawa pulang Tun Teja yang cantik untuk menemui
Rajanya, serta mendapatkan kembali kepercayaan dan kemurahan hati
Raja.
Para
pembesar yang iri kemudian kembali merencanakan rencana jahat lain
yang juga bernuansa percintaan lagi. Mereka menyatakan bahwa telah
menyaksikan Hang Tuah memiliki hubungan gelap dengan wanita di
Istana.
Hang
Tuah dihukum mati lagi. Kali ini Bendahara menyembunyikannya di kebun
buah-buahan miliknya, jauh dari pengawasan orang-orang Malaka. Hang
Jebat kemudian ditunjuk menggantikan posisi Hang Tuah dan tak lama
kemudian dia pun menjadi kesayangan Raja juga. Sementara itu, Jebat
memanfaatkan kesempatan ini tidak hanya untuk meningkatkan
martabatnya, namun juga untuk membalas kematian Tuah.
Jebat
merebut istana beserta dayang-dayangnya, yang beberapa di antaranya
merupakan kesayangan Raja. Di dalam istana feodal Melayu, hal ini
dianggap sebagai sebuah pengkhianatan besar.
Raja
memutuskan untuk meninggalkan istana yang ternoda tersebut. Dia
merasa malu dan tak dihormati, sehingga dia menyesal telah membunuh
Hang Tuah tanpa menyelidiki tuduhan pengecut dari para pembesar yang
iri terlebih dahulu. Bendahara kembali menyelamatkan Raja dengan
mengungkapkan bahwa dia tidak membunuh Tuah, namun menyembunyikannya
di hulu Sungai Malaka. Maka Hang Tuah pun dipanggil pulang untuk
menyingkirkan Jebat dari Malaka. Meskipun Jebat adalah teman dan
sahabat terbaiknya, namun di mata Hang Tuah sekarang Jebat tidak lain
merupakan seorang pengkhianat kerajaan. Inilah klimaks yang tragis
dan menyedihkan dari cerita ini.
Ketika
bertarung sebagai saudara dan teman, mereka mengetahui kewajiban
mereka kepada Raja dan sahabat masing-masing, sehingga mereka
berbicara, berdiskusi, dan berdebat. Di dalam benaknya, Tuah tahu
bahwa dia harus membunuh Jebat. Namun Jebat juga tahu bahwa dia tidak
akan terbunuh selama dia memiliki keris Taming Sari yang diberikan
kepadanya setelah Hang Tuah dihukum mati. Oleh karena itu, untuk
memperoleh keris itu kembali, Hang Tuah harus menipunya. Dia mencuri
keris itu menggunakan cara yang kurang terhormat. Dengan memiliki
keris itu, Hang Tuah dapat melukai Jebat dengan meninggalkannya
berdarah-darah hingga mati. Dengan darah yang terus mengalir keluar,
Jebat membunuh ribuan orang untuk membalas dendam terhadap Sultan dan
takdirnya.
Pada
klimaks cerita ini, orang Melayu harus memilih antara pencari
keadilan yang setia dan tabah, dan pemberontak yang menginginkan
keadilan. Di satu sisi, mereka berdua hanya mewakili dua sisi
kepribadian dan karakter orang Melayu yang merupakan abdi yang setia
serta pemberontak.
Setelah
kematian Jebat yang tragis, Malaka menjadi stabil. Pedagang dan
santri dari seluruh dunia menjejali pelabuhan itu. Berbagai isi dari
istana lain diterima. Untuk membalas kunjungan diplomatik, maka Hang
Tuah diangkat sebagai utusan ke istana Keling dan Cina.
.::Jilid
I selesai::.
Sumber
pustaka:
Salleh,
Muhammad Haji. 2013. Hikayat
Hang Tuah Jilid I.
Jakarta: Ufuk Publishing House