Selasa, 17 Maret 2015

Bahasa Dalam Hikayat

Sastra hikayat merupakan salah satu khazanah kekayaan kebudayaan Indonesia dalam aspek sastra. Sastra hikayat merupakan salah satu bukti rekaman sejarah bangsa Melayu. Memahami sastra hikayat sama seperti mengungkap lukisan kehidupan bangsa Melayu dari kurun waktu yang telah lalu. Dari hikayat kita bisa mempelajari banyak hal, unsur kesejarahan bahasa, nilai moral orang Melayu di jaman dulu, dan pola berpikir mereka. Imaji yang dituliskan di dalam sebuah hikayat tak lekang oleh waktu dan selalu mampu menghadirkan warna-warna indah yang mampu membuat pembacanya takjub. Sastra hikayat mengandung nilai keindahan tak terkira dan sudah sepatutnya keindahan itu untuk dijaga, dilestarikan, dan diperkenalkan ke generasi lebih muda agar sastra hikayat tidak lekang digerus arus globalisasi saat ini.

Naskah merupakan salah satu alat rekam perkembangan bahasa. Rekaman bahasa itu berupa hikayat, dan dari hikayat bisa diketahui bahasa-bahasa yang telah berpengaruh di jaman hikayat tersebut dituliskan. Sebagai contoh Hikayat Malim Deman yang bahasanya telah dipengaruhi oleh beberapa bahasa dan tidak murni menggunakan bahasa Melayu. Berikut beberapa bahasa yang telah dipadupadankan dengan bahasa Melayu yang digunakan di Hikayat Malim Deman:
Pengaruh bahasa Arab
Pengaruh bahasa Arab tidak lepas dengan pengaruh Islam yang masuk ke wilayah Nusantara. Hal itu berpengaruh juga kepada penulisan Hikayat Malim Deman. Di awal cerita telah menggunakan kata pembuka dalam bahasa Arab. Selain itu, tidak sedikit kalimat tasbih dan lafadz Allah disebut di dalam hikayat tersebut. Sebagai contoh kutipan di bawah ini:
                        WA-BIHI NASTA’INU BI’LLAHI. Ini-lah warita orang dahulu-kala;
Pengaruh India
Pengaruh India di kebudayaan Melayu telah berlangsung sejak lama. Pengaruh tersebut bisa didapati di segala aspek kehidupan bangsa Melayu, tidak terkecuali bahasa. Penggunaan kata-kata Sansekerta, Tamil, Hindi, dan sebagainya telah banyak ditemukan di hikayat. Penggunaan kata-kata itu pun juga ditemukan di Hikayat Malim Deman.
Al-kisah, maka tersebut-lah konon sa-buah negeri bernama Bandar Muar, rajanya bernama Tuanku Gombang Malim Dewa, isteri-nya Tuan Puteri Lindongan Bulan.
Pengaruh Persi
Masuknya pengaruh agama Islam ke wilayah Nusantara tidak saja membawa kebudayaan Arab, namun masuk juga pengaruh Persi dalam bahasa Hikayat sebagian besar ditemukan di bidang kosa kata. Salah satu contoh penggunaannya di Hikayat Malim Deman adalah:
Mulut-nya meniup serunai.

Gaya bahasa yang digunakan di dalam hikayat juga menjadi alat yang pokok bagi pencipta karya dalam menggambarkan maksudnya di dalam karya-karyanya. Setiap pengarang bisa memakai bermacam-macam cara dalam menyatakan gubahannya. Dalam Hikayat Malim Deman, terdapat beberapa gaya bahasa yang digunakan oleh pengarangnya. Yaitu:

Paralelisme, yaitu kebiasaan mengulang-ulang cerita, lukisan cerita serta peristiwa-peristiwanya, bentuk penceritaan yang berulang. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan penegasan. Sebagai contoh kalimat di bawah ini:

Tempat jin yang banyak,
Tempat shaitan yang banyak ;
Repetisi, adalah gaya mengulang beberapa kata atau perkataan yang sudah disebutkan untuk memberi perhatian yang besar terhadap hal yang diulang. Sebagai contoh kalimat di bawah ini:
Sa-kali di-gosok-nya,
Dua tiga panau terchelek ;
Sa-kali di-gosok-nya,
Tiga empat panau terchelek ;
Metafora, yaitu gaya bercerita dengan memberikan perbandingan hal lain yang memiliki sifat yang sama. 
Maka Tuan Puteri Bungsu pun lalu-lah menangis terlalu amat sangat, ayer mata-nya seperti mutiara yang putus dari karangan-nya seraya bertanya pula, ‘Ayo-hai bapa, orang pengail, dengan sunggoh-nya kata-lah adakah menengok kain tadi.’

REFERENSI
Ana, Pawang dan Raja Haji Yahya. 1976. Hikayat Malim Deman. Kuala Lumpur: Fajar Bakti
SDN
Baried, St. Baroroh dkk. 1985. Memahami Hikayat Dalam Sastra Indonesia. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan.

Rabu, 11 Maret 2015

Keindahan Dan Motif Hikayat Malim Deman


Salah satu fungsi karya sastra adalah menghibur. Karena itulah, karya sastra yang diciptakan untuk menghibur harus memiliki sifat menggoda reaksi pembaca, sentimental, stereotip, dan yang terpenting dalam karya sastra tersebut adalah keindahan di dalamnya. Keindahan sebuah karya sastra tercermin di dalam sistem imaji maupun susunan kata-katanya.

Menurut Klinkert (1947:77), kata ‘indah’ memiliki arti bagus, berharga, menarik, tidak biasa, aneh, penting, dan sangat bagus. Kata ‘indah’ berhubungan dengan sifat objek yang dinyatakan secara visual, audibel, taktikel, dan olfaktori. Kata tersebut juga berhubungan dengan sifat-sifat imanen yang dimiliki oleh ke-indahan itu sendiri, yaitu sesuatu yang luar biasa yang dapat membangkitkan heran, takjub, dan tamasya.

Motif adalah istilah yang digunakan untuk melukiskan karakter, peristiwa, atau konsep yang sering diulang-ulang, yang ada dalam cerita rakyat atau kesusastraan (Abrams, 1966). Berpijak dari adanya unsur yang telah disebutkan di pengertian tersebut, akan dibicarakan motif-motif apa saja yang dapat dijumpai di perhelatan perkawinan dalam memahami Hikayat Malim Deman. Motif-motif itulah yang kemudian menjadi salah satu unsur keindahan di dalam Hikayat Malim Deman.
 
              Hikayat Malim Deman diciptakan oleh pengarang anonim. Tokoh utama yang ada di Hikayat ini dan merupakan fokus pentingnya adalah Malim Deman dan Putri Bungsu. Sosok Malim Deman digambarkan sebagai seorang tokoh yang rupawan, pandai, berbudi pekerti baik, dan mahir berkesenian. Namun, ketika kedua orang tuanya meninggal dan dia diangkat menjadi raja, dia menjadi seorang yang suka berjudi dan lalai pada tugasnya. Hal itu menyebabkan Putri Bungsu mashgul hatinya dan meninggalkan Malim Deman sebelum akhirnya dia menyadari kesalahannya dan kembali menjadi orang yang seperti diamanatkan oleh kedua orang tuanya. Putri Bungsu adalah istri dari Malim Deman dan merupakan salah satu putri raja di kayangan yang memiliki kecantikan luar biasa dan sangat mencintai Malim Deman.

        Jika menggunakan macam-macam sudut pandang pencerita menurut Saleh, maka dalam penceritaan Hikayat Malim Deman, sudut tinjauan yang digunakan adalah pengarang menjadi seorang pengamat, yang menuturkan ceritanya dari luar sebagai seorang observer.
Hikayat Malim Deman bertempat di sebuah negeri imaji yang bernama negeri Bandar Muar. Selain di negeri itu, ada dua tempat lagi yang sering disebut di dalam hikayat ini, yaitu di rumah Nenek Kebayan yang berada di hulu negeri Bandar Muar, dan kahyangan yang menjadi tempat asal Putri Bungsu.
Medan-nya indah bukan kepalang,
Rantau-nya luas bagai di-bentang,
Tebing-nya tinggi bagai di-raut,
Pasir-nya serong bentok taji,
Batu-nya ada besar dan kechil,
Yang kechil pelontar balam,
Jika untong kena ka-balam,
Jikalau tidak kena ka-tanah;
Menderu selawat ibu ayam,
Elang di-sambar punai tanah.

Fakta Cerita Di Dalam Hikayat Malim Deman

Setiap cerita harus dan pasti memiliki tema atau dasar. Tema merupakan bagian yang sangat penting dalam penyusunan cerita, karena jika suatu cerita tidak memiliki dasar pijakan, cerita tersebut tidak akan memiliki arti sama sekali alias tidak berguna. Tema yang menjadi dasar cerita hikayat ini adalah kepahlawanan Malim Deman. Hal itu bisa diketahui di kutipan berikut ini:
Maka Tuanku Malim Deman pun melangkah berangkat turun dari anjong perak, di-iringkan oleh Bujang Selamat dan Si-Kumbang dengan segala orang besar2, ra’yat tentera, terlalu amat ramai-nya menuju ka-hulu Bandar Muar ;
Tempat jin yang banyak,
Tempat shaitan yang banyak;
Masok hutan keluar hutan,
Masok padang keluar padang,
Masok rimba keluar rimba;
Bertemu changkat di-daki-nya,
Bertemu lurah sama di-turuni,
Habis hari berganti hari,
Habis malam berganti malam,
Habis bulan berganti bulan,
Habis tahun berganti tahun;
Bukan menchari buruan,
Gajah di-jumpa tiada di-tembak,
Rusa di-jumpa tiada di-kejar,
Badak di-jumpa tiada di-turut,
Selain tema kepahlawanan, Hikayat Malim Deman juga mengangkat tema percintaan. Dari kedua tema tersebut, dapat kemukakan masalah-masalah yang dapat disebutkan secara tradisonal. Masalah dalam Hikayat Malim Deman tersebut adalah:
(1)   Mimpi yang menjadi awal mula petualangan Malim Deman dalam mencari cintanya.
(2)   Pelanggaran janji karena lupa pada amanah dan kewajiban sebagai seorang suami dan pemimpin negeri.
(3)   Perjuangan merebut kembali yang tercinta.
     
            Dari masalah-masalah yang telah disebutkan di atas, maka terbentuklah sebuah alur yang memiliki berbagai motif-motif yang kurang lebih mirip seperti motif-motif yang bisa ditemukan di hikayat-hikayat Melayu lainnya. 
                  
            Motif perjodohan/perkawinan
Bermula dari sebuah mimpi yang kemudian menjadi awal mula petualangan Malim Deman dalam mencari Putri Bungsu. Malim Deman, yang merupakan keturunan raja besar, rupawan, dan diberi karunia ilmu yang lebih tinggi dari yang lain, dinikahkan dengan Putri Bungsu yang merupakan putri bungsu seorang raja di kahyangan. Putri Bungsu digambarkan sebagai wanita tercantik yang tiada tandingannya di dunia.

            Motif sayembara
Dalam Hikayat Malim Deman, Putri Bungsu melakukan syarat bahwa siapapun yang menemukan cincin yang telah ditalikan dengan sehelai rambutnya akan menjadi suaminya. Cincin itupun dihanyutkan di sungai yang kemudian ditemukan oleh Malim Deman.

            Motif pelanggaran janji
Ketika Malim Deman dan Putri Bungsu akhirnya telah menjadi suami-istri, dan diangkat menjadi raja Bandar Muar, Malim Deman dikisahkan menjadi seorang yang suka berjudi dan main perempuan. Bahkan dia melupakan kewajibannya sebagai seorang suami saat Putri Bungsu telah hamil tua. Hal itulah yang menyebabkan Putri Bungsu meninggalkannya. 

Motif poligami
Di akhir cerita, Malim Deman menjadikan Putri Terus Mata sebagai istri keduanya karena janjinya terhadap Raja jin Islam yang telah membantunya dalam usahanya menemui Putri Bungsu. 


KEINDAHAN PERKAWINAN DALAM HIKAYAT MALIM DEMAN


Keindahan perkawinan di dalam Hikayat Malim Deman tidak luput dari penggunaan motif-motif dan gaya bahasa paralelisme. Motif yang sering ditemukan di dalam hikayat adalah bahwa seorang pangeran yang berasal dari keturunan baik-baik, memiliki rupa yang menawan, dan berilmu selalu mendapatkan pasangan seorang yang berasal dari keturunan baik-baik pula, serta memiliki wajah yang tak kalah cantiknya.
Karena kedua mempelai berasal dari keturunan baik-baik dan putra-putri seorang raja, maka sudah menjadi hal yang biasa jika perkawinan mereka dilangsungkan dengan cara yang tidak biasa dan bahkan mengikut sertakan para dewa.
Tuanku Malim Deman pun pergi-lah ka-taman bersiram lalu kembali ka-rumah Nenek Kebayan. Maka Tuan Puteri Bungsu dengan Nenek Kebayan pun bangun lalu bersiram juga ; lepas bersiram kembali ka-rumah itu. Maka Nenek Kebayan pun bersiap-lah betapa adat kawin anak raja besar2 juga di-atas kadar-nya. Maka di-persilakan si-raja dewa Tuanku Betara Guru menikahkan Tuanku Malim Deman dengan Tuan Puteri Bungsu serta raja mambang sekalian. Maka berjamu-lah Nenek Kebayan akan raja2 itu, lepas santap masing2 kembali ka-keyangan.
Selain itu, pesta besar-besaran pun dilakukan meskipun persiapannya memerlukan waktu berbulan-bulan. Pesta pernikahan tersebut melibatkan seluruh golongan masyarakat.
Telah genap sa-bulan, maka anakanda kedua laki-isteri pun di-naikkan oleh baginda dengan orang besar2 ka-atas mongkor, tujoh kali berarak berkeliling kota istana, kemudian lalu di-siramkan di-atas balai panchapersada naga berjuang ; baginda kedua laki-isteri menyiramkan anakanda kedua laki-isteri dengan ayer tolak bala dan do’a selamat. Telah bersiram itu, maka baginda pun berangkatlah membawa perarakan anakanda baginda kembali ka-istana, di-iringkan oleh orang besar2, ra’yat hina dina sekalian-nya. Maka baginda pun bertitah menyurohkan jamu raja2 dan orang besar2, ra’yat hina dina sekalian serta orang yang ta’lok jajahan. Maka hidangan pun beribu-ribu di-ator-lah oleh bentara. Maka bentara pun berseru-lah dengan nyaring suara-nya, mengatakan, ‘Silakan sekalian, inilah ayapan yang telah di-karuniai oleh baginda melepaskan nazar putera-nya.’
REFERENSI:
Ana, Pawang dan Raja Haji Yahya. 1976. Hikayat Malim Deman. Kuala Lumpur: Fajar Bakti
SDN
Baried, St. Baroroh dkk. 1985. Memahami Hikayat Dalam Sastra Indonesia. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan.