Rabu, 18 Juni 2014

Hikayat Sri Rama (Ramayana Versi Melayu)

Hikayat Sri Rama adalah bahasa Melayu untuk cerita Rama. Hikayat ini memiliki dua versi yang agak berbeda. Versi yang diterbitkan oleh Roorda Van Eysinga, dan versi yang diterbitkan oleh W. G. Shellabear. Versi Roorda diduga sebagai naskah yang tertua dalam bahasa Melayu, dan plotnya masih mendekati Ramayana Walmiki, meskipun memiliki banyak episode yang tidak terdapat dalam Walmiki. Sedangkan versi Shellabear sudah nampak pengaruh Islam yang kuat, dan sudah agak jauh menyimpang dari Ramayana Walmiki. Namun dari dua versi ini kita dapat menyusun cerita yang agak organis, yang mempunyai plot.
Dua versi ini dianggap versi sastra, karena masih ada dua versi yang dianggap cerita penglipur lara (rhapsodist version).

Berikut adalah ringkasan cerita Hikayat Sri Rama berdasarkan versi Roorda dan Shellabear.

Maharaja Rawana dibuang ke Bukit Serendib. Di bukit itu ia bertapa dengan cara yang paling hebat sekali, kakinya digantung, kepalanya ke bawah. Selama dua belas tahun ia bertapa. Tuhan lalu mengasihaninya dan mengirim Nabi Adam untuk menanyai apa kehendaknya. Rawana memohon empat kerajaan pada Tuhan; satu kerajaan dalam dunia, satu kerajaan pada keindraan, satu kerajaan di dalam bumi, dan satu lagi di dalam laut. Permohonan Rawana disetujui Tuhan dengan syarat bahwa Rawana harus memerintah dengan adil, jangan mengerjakan pekerjaan haram. Dalam naskah lain disebut juga, jangan mengganggu anak-istri orang.

                Di kerajaannya di keindraan, Rawana kawin dengan putri Nila Utama dan beranakkan Indra Jat. Genap dua belas tahun, Indra Jat dirajakan dalam keindraan. Di kerajaannya yang di bumi, Rawana kawin dengan putri Pertiwi Dewi dan beranakkan Patala Maharayan. Sesudah genap umur, Patala Maharayan dirajakan di bumi. Di kerajaannya yang di dalam laut, Rawana kawin dengan Gangga Maha Dewi dan beranakkan Gangga Maha Suri. Sesudah genap umur, anak ini dirajakan di dalam laut. Di dunia, Rawana membuat sebuah negeri yang sangat indah. Negeri itu ialah Langkapuri. Maka Rawana pun menjadi raja yang adil di Langkapuri. Semua kerajaan di dalam dunia takluk kepada hukumnya. Yang masih belum takluk hanya empat buah negeri saja, yaitu Indrapuri, Biruhasa, Lekor Katakina, dan Aspaha.

                Tersebutlah perkataan negeri Indrapuri. Berma Raja, nenek Rawana, sudah mangkat. Yang menjadi raja ialah Badanul, anaknya yang sulung. Sesudahnya Citra-Baha mempunyai tiga orang putra, seorang bernama Kamba Kama, seorang bernama (Vibhishana) Bibusanam, dan seorang lagi anak perempuan, Sura Pandaki namanya. Sesudah Citra-Baha, Naranda adik Jama Mantri, anak Badanul menjadi raja. Sesudahnya Mantri Sakhsah naik kerajaan.
               
                Maharaja Balikasa, raja Biruhasa Purwa, bersiap-siap untuk melanggar negeri Indrapuri, karena negerinya pernah dikalahkan oleh Citra-Baha dan ayahnya dibunuh oleh Citra-Baha juga. Seorang raksasa yang sakti dikirim ke negeri Indrapuri. Banyak rakyat dan menteri Indrapuri yang dibunuh oleh raksasa itu. Terjadilah peperangan antara Maharaja Balikasa dan Mantri Sakhsa. Rawana pun tetaplah dalam kerajaan di Langkapuri. Jama Mantri menjadi mangkubumi, Kamba Kama menjadi penghulu hulubalang, Bibusanam menjadi penghulu ahli nujumm, sastrawan dan alim mualim. Barga Singa, anak Rawana menjadi seorang menafahus (memeriksa, menguasai (?)) seluruh dunia (Cerita tentang masa muda Rawana ini hanya terdapat dalam versi Shellabear).

                Dasarata Maharaja, seorang raja yang gagah, pahlawan di negeri Isafa, tidak mempunyai putra. Atas nasihat seorang Brahmana baginda mengadakan upacara pemujaan Homam. Tidak lama kemudian kedua permaisuri baginda pun hamillah (Dalam Shellabear karena memakan biji geliga yang diberikan oleh seorang Brahmana). Mandudari, putri yang lahir dari buluh betung beranakkan Rama dan Laksmana. Baliadari, beranakkan Bardan, Citradan, dan seorang anak perempuan Kikewi Dewi namanya (Anak perempuan ini tak disebut dalam Shellabear).

                Sri Rama adalah seorang anak raja yang terlalu elok parasnya dan gagah berani, tetapi nakal. Karena kenakalannya itu, sekalian menteri lebih senang kalau anak Baliadari, Baradan atau Citradan yang dirajakan dalam negeri. Dasarata sendiri juga pernah dua kali berjanji akan merajakan anak-anak Baliadari dalam negeri, karena jasa-jasa gundiknya ini.

                Rawana mendengar bahwa Dasarata sudah memperistri seorang putri yang sangat elok parasnya. Timbul keinginan untuk memilikinya (putri itu). Rawana lalu datang dan meminta putri itu kepada Dasarata. Dasarata tidak keberatan. Mandudari segera diberitahu hal ini. Mandudari masuk ke suatu bilik. Tidak lama kemudian keluarlah seorang putri yang serupa dengan Mandudari, Mandudaki namanya. Putri itu lalu dibawa pulang oleh Rawana. Seketika itu juga keluarlah Mandudari dari biliknya dan menjelaskan apa yang sudah terjadi. Putri yang dibawa Rawana bukanlah dirinya sendiri, melainkan putri yang dijadikannya dari memuja daki. Dasarata sangat gembira, sebab istrinya tetap ada. Di samping itu, ia meminta seorang perempuan tua membawanya ke istana Rawana. Pada malam hari ia meniduri putri itu dan dengan demikian menjadi ayah, dari anak Rawana.

                Setelah beberapa lamanya, Mandudaki pun hamillah dan melahirkan seorang putri yang sangat elok parasnya. Putri itu ialah Sita Dewi. Menurut ramalan ahli nujum, suami Sita Dewilah kelak yang akan membunuh Rawana. Rawana amat murka, mau rasanya membunuh Sita Dewi ketika itu juga. Atas rayuan Mandudaki, Sita Dewi ditaruh dalam peti besi dan dihanyutkan ke laut.

                Sekali peristiwa Maharesi Kali, raja negeri Darwati Purwa, bertapa di laut dan mendapatkan peti besi yang dihanyutkan oleh Rawana. Sita Dewi diselamatkannya dan dipelihara dengan baik. Tak lama kemudian, masyhurlah kepada segala alam bahwa Maharesi Kali mempunyai seorang putri yang sangat elok parasnya. Setelah umur Sita Dewi genap dua belas tahun, Maharesi Kali mengadakan sayembara untuk memilih menantu: barangsiapa yang dapat mengangkat panah yang ada di halaman rumahnya dan dapat pula memanah pohon lontar dengan sekali panah atas empat puluh pohon, dia akan diterima menjadi suami Sita Dewi.

                Banyaklah sudah anak raja yang besar-besar berkumpul di negeri Maharesi Kali. Yang tidak datang hanyalah anak-anak Dasarata. Maharesi lalu pergi menjemput anak-anak Dasarata. Dengan hati yang berat, Dasarata melepaskan Sri Rama dan Laksamana pergi mengikuti Maharesi Kali ke negeri Darwati Purwa. Dalam perjalanan, Rama sudah menunjukkan keberaniannya. Raksasa Jagina (Shellabear: Jekin), badak, naga (ular) yang selalu menggangu perjalanan manusia habis ditewaskannya.

                Sayembara dimulai. Tetapi tidak seorang pun anak raja yang dapat dengan sekali panah, menerusi empat puluh pohon lontar. Rawana sendiri hanya dapat menerusi tiga puluh delapan pohon saja (hanya dalam versi Roorda). Akhirnya dengan tenang Rama masuk ke dalam gelanggang sayembara. Dengan sekali panah saja, keempat puluh pohon lontar kenalah semuanya. Bukan main terkejutnya anak-anak raja yang berkumpul di situ. Dengan demikian Rama pun beroleh Sita Dewi sebagai istri.

                Untuk mencoba kearifan Rama, Maharesi Kali menyembunyikan Sita Dewi dalam rumah berhala pula. Ia mengatakan kepada Rama bahwa Sita sudah hilang. Dengan mudah saja, Rama menemukan Sita kembali. Dalam perjalanan pulang pula, ada empat orang anak raja yang putus asa mencoba menghalangi Rama. Tetapi semuanya dikalahkan oleh Rama.

                Segala persiapan sedang diadakan untuk menabalkan Rama dalam negeri.  Si Budak Bungkuk menghasut Baliadari menuntut Dasarata supaya menunaikan janjinya, yaitu menabalkan anak-anak Baliadari. Apa daya, kata raja tak dapat diubah, maka terpaksalah Dasarata mengabulkan permohonan Baliadari. Rama dan Sita, bersama-sama Laksamana lalu meninggalkan negeri dan pergi bertapa di dalam hutan.

                Maka berjalanlah Sri Rama dan Laksamana di dalam hutan belantara. Dalam perjalanan, mereka bertemu dengan beberapa orang Maharesi yag baik kepada mereka. Anggasa Dewa, Kikukan, dan Wirata Sakti menjamu mereka dan mengajak Sri Rama bertapa bersama-sama dengan mereka. Rama menolak dan meneruskan perjalanan hingga sampailah di bukit Indra Pawanam. Di sini ada seorang raksasa Purba Ita mencoba melarikan Sita. Raksasa itu dibunuh oleh Rama. Maka Rama pun membuat tempat pertapaan di bukit ini.

                Menurut Shellabear, sesudah mengalahkan keempat anak raja yang mencoba menghalanginya, Rama mengambil keputusan tak akan pulang ke negeri, karena ayahnya telah memilih Baradan sebagai pengganti raja. Rama dan Sita, bersama-sama dengan Laksamana lalu masuk ke hutan belantara, mencari tempat yang sesuai untuk bertapa. Mereka bertemu dengan seorang pertapa, Maharesi Astana namanya, yang memberitahu Laksamana tentang dua kolam aneh yang terdapat dalam hutan itu. Suatu kolam airnya jernih, tetapi barang siapa yang mandi di dalamnya akan menjadi kera. Sebuah lagi airnya keruh. Rama dan Sita mandi di kolam jernih dan mereka menjadi kera seketika itu juga. Untunglah ada Laksamana yang sempat menyelamatkan mereka. Sesudahnya, Rama pun menyuruh mengurut kerongkongan Sita Dewi yang segera memuntahkan maninya. Mani itu dibawa oleh Bayu Bata dan dimasukkan ke dalam mulut Dewi Anjani yang sedang ternganga. Dewi Anjani bunting dan melahirkan Hanoman. Kemudian Rama bertapa dalam suatu tempat yang baik dalam hutan itu.

Rawana hendak menyerang matahari, karena sang matahari selalu menggangu kesenangannya. Sekembali dari usahanya yang sia-sia itu, dilihatnya kotanya dikawal oleh binatang semacam ular. Binatang itu ditetaknya. Kemudian ternyata yang ditetak itu bukanlah ular, melainkan lidah saudaranya, Berga Singa. Sura Pandaki takut anaknya dibunuh oleh Rawana, lalu membawa anaknya ke hutan dan menyuruhnya bertapa dalam buluh betung. Di dalam rumpun buluh inilah Dasra Singa terbunuh oleh Laksamana. Sura Pandaki sangat marah dan mau membalas dendam. Ia lalu mengubah dirinya sebagai seorang perempuan yang cantik dan mendekati Rama, dengan maksud menangkap Rama. Rama menolaknya, ketika ia menghampiri Laksamana, Laksamana mengerat hidungnya.

Saudaranya, Darkalah Sina, menyerang Rama, juga tidak berhasil. Sura Pandaki lalu menghasut Rawana menyerang Rama dan Laksamana. Dengan dua orang raksasa yang sakti, Rawana datang ke hutan pertapaan Rama. Seorang raksasa menjadikan diri sebagai kijang emas, seorang lagi sebagai kijang perak. Sita Dewi yang melihat kedua kijang itu tergerak hatinya hendak memiliki kedua-dua kijang tersebut, lalu meminta dengan sangat supaya Rama menangkap kijang-kijang itu hidup-hidup. Pergilah Rama menangkap kijang itu.

Tidak lama kemudian terdengar pula suara Rama meminta tolong. Sita mendesak Laksamana pergi menolong Rama. Ketika Laksamana menolak, Sita menuduh Laksamana. Dikatakannya bahwa Laksamana ingin memilikinya seandainya Rama mati. Oleh karena tuduhan itu, maka terpaksalah Laksamana pergi. Sebelum ia pergi, ia menggores tanah dengan telunjuknya. Maksudnya, barang siapa yang melangkahi goresan itu akan kena tangkap.

Kemudian muncullah Rawana sebagai seorang Brahmana yang miskin, dan meminta sedekah dari Sita. Sita yang tidak tahu apa-apa telah keluar dari goresan itu untuk memberi sedekah kepada Brahmana palsu itu. Dengan seketika itu juga Sita dilarikan Rawana. Burung Jentayu berusaha menolong Sita. Tetapi tidak berhasil, malah dirinya sendiri terbunuh.

Ketika Rama dan Laksamana kembali, mereka bukan main kaget. Didapati mereka Sita sudah hilang. Rama rebah dan jatuh di tempat duduk Sita sampai beberapa hari tidak sadarkan diri. Sesudah Rama sadar kembali, mereka lalu pergi mencari Sita.

Mula-mula mereka bertemu dengan kakak burung Jentayu yang memberitahu mereka bahwa Sita sudah diculik oleh Rawana. Kemudian mereka bertemu dengan Sugriwa yang diusir dari kerajaan oleh saudaranya Balya. Rama dan Laksamana menolong Sugriwa merebut kerajaan kembali. Sebelum meninggal, Balya meminta Rama menjaga istri dan kedua orang anaknya yang masing-masing bernama Anggada dan Anila. Balya memberitahu Rama bahwa yang dapat menolong Rama merebut Sita kembali ialah anak saudaranya yang bernama Hanoman.

Setelah berpisah dengan Rama dan mendengar pula Rama kehilangan istrinya, Mandudari sangat sedih dan wafat (Shellabear: Dasarata yang wafat). Beradan dan Citradan pergi mencari Rama dan meminta Rama kembali menjadi raja dalam negeri. Rama menolak dan bersedia memberikan kaus kepada saudaranya. Kiasnya, Ramalah yang menjadi raja dalam negeri.

Sugriwa mengumpulkan semua rakyat keranya. Tetapi tidak ada satu pun yang sanggup melompat ke Pulau Langka. Hanoman sanggup melakukan tugas itu asal dibenarkan makan sehelai daun dengan Rama. Rama tidak keberatan makan sehelai daun dengan Hanoman, asal Hanoman mandi di laut dulu. Sesudah makan, Rama memberikan sebentuk cincin kepada Hanoman untuk dibawa kepada Sita Dewi sebagai tanda.

Hanoman menyamar sebagai seorang Maharesi dan menemui Sita Dewi di istana Rawana. Hanoman menceritakan asal-usulnya dan Sita mengakuinya sebagai anaknya. Kemudian Hanoman memakan habis buah mempelam yang di dalam istana. Karena hal ini, dia ditangkap dan mau dibakar. Tetapi Hanoman melompat ke sana-sini, menyebabkan kebakaran yang besar. Hanoman juga mau membawa Sita Dewi ke tempat Rama. Sita Dewi menolak. Pertama, karena ia tidak mau dijamah oleh laki-laki lain melainkan Rama; kedua, karena ia mau kehormatan menyelamatkannya diberikan kepada Rama.

Sementara itu, pembangunan jembatan (titian) hampir selesai. Gangga Mahasura, anak Rawana, berusaha membinasakan titian itu. Tetapi semua ikan dan ketam yang dikirimkan untuk melaksanakan tugas itu, habis dibinasakan Hanoman. Rawana mulai gentar dan berunding dengan saudara dan menteri-menterinya tentang serangan Rama yang bakal datang itu. Bibusanam, menteri yang tua, mengusulkan supaya Sita dikembalikan kepada Rama. Rawana marah dan mau membunuh Bibusanam yang terpaksa melarikan diri dan menyerah kepada Rama. Anak-anak Rawana, Indra Jat dan Kumbakarna juga menganjurkan supaya Sita dikembalikan saja. Rawana tetap berkeras. Akhirnya peperangan pun berlangsung. Anak-anak Rawana satu demi satu gugur di medan perang. Mula-mula Buta Bisa, kemudian Patala Maharayan, kemudian Indra Jat dan akhirnya Mula Patani. Selepas itu keluarlah Rawana sendiri. Sesudah peperangan sengit, berpanah-panahan, akhirnya Rawana tewas juga. Dengan demikian berakhirlah peperangan antara Rama dengan Rawana.

Masuklah Rama ke dalam kota Langkapuri. Rama tidak mau menerima Sita kembali, takut kalau-kalau Sita sudah diperkosa oleh Rawana. Sita membuktikan kesuciannya dengan duduk di dalam api yang menyala. Akhirnya berkumpullah Rama dan Sita kembali. Banyaklah anak raja yang besar-besar datang mengunjungi Rama di Langkapuri. Demikian juga saudara-saudara Rama yang bernama Beradan dan Citradan.

Maharesi Kala juga datang dan menceritakan asal-usul Sita. Tahulah Sita, Mandudaki adalah ibunya, dan Rawana ayahnya sendiri. Tidak lama kemudian, Rama membuat negeri di atas bukit. Negeri itu ialah Durja Pura Negara.

Sesudah makan obat yang diberikan Maharesi Kala, Sita pun hamil. Semasa Sita hamil, Kikewi Dewi, saudara perempuan Rama, datang pada Sita dan meminta Sita melukiskan rupa Rawana di atas kipas. Kipas itu kemudian didapati oleh Rama. Kikewi berbohong dan berkata Sitalah yang melukis kipas itu dan dibawanya beradu. Rama marah dan mengusir Sita dari istana. Maka pergilah Sita ke tempat Maharesi Kala. Sebelum berangkat Sita bersumpah, barang siapa yang berkata bohong, dia takkan dapat berkata-kata lagi. Dan kalau ia benar, sesudah ia kelua dari negeri, binatang-binatang akan berada dalam dukacita.

Di tempat Maharesi Kala, Sita melahirkan seorang anak, Tilawi (Shellabear: Lawa) namanya. Sekali peristiwa, Maharesi Kala membawa Tilawi berjalan-jalan. Tilawi tersesat jalan dan kembali sendiri ke tempat ibunya. Maharesi Kala takut kalau-kalau Tilawi sudah hilang, lalu memuja lalang. Dengan seketika terjadilah seorang anak laki-laki yang mirip dengan Tiwali. Anak tersebut diberi nama Kusa. Sesudah besar, Tiwali dan Kusa jadi anak muda yang gagah berani. Banyak raksasa yang mereka bunuh.

Sesudah beberapa lama, Rama pun sadar akan kesalahannya dan meminta Sita kembali. Setelah Sita Dewi pulang, segala margasatwa pun berbunyi kembali dan Kikewi Dewi datang meminta ampun kepada Sita. Tilawi dikawinkan dengan Putri Indra Kusuma Dewi, anak Indra Jat, dan dirajakan di dalam negeri Durja Pura. Kusa dikawinkan dengan Gangga Surani Dewi, anak Gangga Mahasura, dan dirajakan di dalam negeri Langkapuri.

Setelah beberapa lama, Rama membuat negeri di tempat orang bertapa. Negeri itu dinamai Ayodhya Pura Negara. Sesudah empat puluh tahun lamanya hidup bersuka-suka dengan Sita dalam pertapaan, maka Sri Rama pun kembalilah dari negeri yang fana ke negeri yang baka.

Demikianlah cerita Hikayat Sri Rama, menurut naskah Roorda dan Shellabear.

Referensi:

Liaw Yock Fang. 2011. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik. Jakarta: YOI

Selasa, 10 Juni 2014

Ringkasan Beberapa Dongeng Aetilogis


Berikut adalah ringkasan dongeng aetiologis. Semua cerita yang dituliskan di sini diambil dari buku Sejarah Kesusastraan Melayu yang ditulis oleh Liaw Yock Fang.


Kenapa di tepi sungai hutan rimba banyak terdapat pohon yang tinggi?


Pada suatu masa dahulu telah hidup dalam hutan rimba Malaya sebangsa raksasa, Kelembai nama bangsa raksasa itu. Bangsa raksasa ini bisa menyihir manusia menjadi batu atau kayu. Jumlah mereka sangat banyak, sehingga orang-orang Melayu merasa terancam dan membuat rencana untuk mengusir mereka. Beruntung, para Kelembai ini sangat tolol. Orang Melayu memotong ujung bambu dan membiarkannya tegak kembali. Kelembai menyangka bahwa hanya raksasalah yang dapat memotong ujung bambu. Kemudian, seorang kakek yang tua dibaringkan dalam buaian. Bila melihat kakek yang tidak bergigi itu, Kelembai menyangka mungkin itulah bayi yang baru dilahirkan. Timbullah ketakutan dalam hati Kelembai. Akhirnya sisir tanah dianggap sisir manusia; penyu-penyu disangka kutu. Tidak berani lagi mereka tinggal dalam hutan rimba itu. Mereka melarikan diri ke kaki langit. Semua orang yang dijumpai waktu berlari, diajak berlari bersama-sama. Siapa yang enggak ikut, disihir menjadi pohon. Itulah sebabnya di tepi-tepi sungai di hutan rimba Malaya banyak terdapat pohon-pohon yang tinggi dan besar.


Mengapa tongkol jagung berlubang?


Sekali peristiwa, jagung berkata dengan sombongnya bahwa jika tiada padi lagi, ia sanggup memberi makanan kepada manusia. Dagun (sejenis akar) dan Gadung (sejenis tumbuhan melilit yang umbinya mengandung racun) juga mendakwa demikian. Maka mereka pun pergilah mengadu kepada Nabi Sulaiman. Nabi Sulaiman memenangkan jagung. Dagun dan Gadung marah dan pergi mencari duri peram. Jagung mengetahui hal ini dan meracuni dagun. Ini sebabnya dagun masih beracun sampai hari ini. Gadung juga berhasil menusuk jaging dengan duri. Inilah sebabya tongkol jagung masih berlubang sampai hari ini. Perkara ini lalu dibawa kepada Nabi Ilias yang menyuruh mereka kembali kepada Nabi Sulaiman. Nabi Sulaiman menyuruh mereka berkelahi untuk menentukan siapa yang benar. Dua minggu lamanya mereka berkelahi. Pohon mata-lembu melihat perkelahian itu dari dekat sehingga kulitnya rusak; sampai hari ini masih tampak lukanya. Pohon peracak sangat takut dan berlari dengan berjingkat. Itulah sebabnya pohon peracak sampai hari ini masih begitu panjang dan langsing rupanya.


Asal-usul seekor buaya putih.


Pada masa dahulu ada seorang nakhoda, Nakhoda Ragam namanya, yang berlayar dari Jering dengan istrinya yang cantik, Cik Siti. Dalam pelayaran itu, Nakhoda Ragam begitu sering hendak memeluk istrinya sehingga istrinya mengingatkan supaya berhati-hati, karena dia sedang menjahit. Nakhoda Ragam tidak menghiraukan amarah istrinya dan tertusuk oleh istrinya dengan jarum lalu meninggal. Mayatnya disembunyikan dan baru kemudian ditanamkan di Banggor; tetapi rohnya masuk ke dalam tubuh seekor buaya tua. Apabila seekor buaya muncul di perairan di daerah itu, orang yang dalam pelayaran segera berkata, “Nakhoda Ragam, cucumu minta izin untuk lalu.” Buaya lalu hilang dari permukaan air.

Cerita Si Kantan

Pada suatu masa dahulu, di negeri Panai di Sumatera Timur, tinggallah seorang miskin tiga beranak. Anaknya yang bernama Si Kantan itu sudah berumur 16 tahun. Pada suatu hari, bapak Si Kantan masuk mengambil kayu api dalam hutan dan terjumpa sebuah tongkat semambu yang sangat mahal harganya. Tongkat itu, disuruhnya anaknya Si Kantan menjualnya di Pulau Pinang.

Tersebut pula perkataan Si Kantan mendapat uang ringgit yang banyak sekali, karena menjual tongkat semambu. Maka Si Kantan pun hiduplah seperti orang kaya di Pulau Pinang. Hatta ia pun kawin dengan seorang gadis, anak perempuan seorang saudagar kaya. Selang berapa lamanya, ia pun berlayar pulang ke negeri Panai bersama-sama dengan istrinya.

Kabar kedatangan Si Kantan dengan perahunya yang berisi barang-barang yang berharga pun terbetiklah ke seluruh negeri Panai. Ibu Si Kantan juga pergi berjumpa dengan anaknya. Tetapi Si Kantan tidak mau mengakui ibunya. Pikirannya dalam hati, baiklah orang itu jangan kukatakan lagi orangtuaku, malu aku kepada istriku yang seperti bulan penuh itu rupanya. Patutkah orang yang sudah semulia dan sekaya aku mempunyai orang tua yang seburuk dan sekotor itu?

Berkali-kali ibu Si Kantan mencoba bertemu dengan anaknya, tetapi sia-sia saja. Akhirnya ibu Si Kantan berseru, “Ya Allah, Ya Tuhanku. Kalau benar ia anakku yang sudah mendurhaka kepadaku, barang dibalaskan Allah juga kiranya dosanya kepadaku itu.”

Maka dengan takdir Allah, turunlah hujan dan angin badai, air di sungai itu pun menggunung, besar gelombangnya. Perahu Si Kantan itu pun diambung dan diempaskan ombak sehingga tenggelam. Setelah itu, hujan dan angin pun berhentilah. Demi ombak dan gelombang itu berhenti, maka dengan sekonyong-konyong timbullah perahu Si Kantan yang karam itu menjadi sebuah pulau, lalu dinamai Pulau Kantan. Di atas pulau itu ada seekor beruk putih diam, yang disangka orang kejadian dari istri Si Kantan. Hingga sampai pada masa ini, pulau itu kelihatan terang dari negeri Panai.

Referensi:

Liaw Yock Fang. 2011. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik. Jakarta: YOI