Rabu, 27 Agustus 2014

Legenda Kerajaan Pulau Halimun



Ya. Saya menulis salah satu dongeng aetiologis lagi. Cerita ini salah satu bagian dari Hikayat Saija’an dan Ikan Todak yang pernah saya baca buku cetaknya saat SMA dulu. Saya tidak tahu, apakah Hikayat ini memang benar-benar hikayat dan pernah disebutkan di dalam Hikayat Banjar dan Kotawaringin atau tidak karena sejauh yang saya baca, saya belum menemukan hikayat Saija’an ini di Hikayat Banjar dan Kotawaringin. Untuk sementara, kebenaran bahwa cerita ini adalah sebuah hikayat belum bisa saya pastikan dan masih saya pelajari. Namun yang jelas, dongeng ini adalah cerita rakyat Kabupaten Kotabaru yang mungkin saja hidup sejak jaman dulu dan wajib diketahui oleh putra-putri daerah.

Saya sendiri bukan putra-putri daerah tanah Saija’an, karena saya pernah tinggal di sana hanya tiga tahun. Pernah sekali saya membaca buku yang menarik perhatian saya, Hikayat Saija’an dan Ikan Todak ini, dan ceritanya terus menerus menempel di pikiran saya. Dan sejak pemilihan presiden 2014 lalu, ingatan itu secara tiba-tiba terus mencuat ke atas dan saya ingin membaca cerita itu lagi. Namun, saya tidak lagi berada di tanah Kotabaru. Pun, saya tak memiliki bukunya. Alhasil, saya harus  bergantung pada Go*gle. Setelah mencari-cari dengan susah payah (karena saya lupa judul buku pun ceritanya), akhirnya saya dapatkan jua. Berikut cerita Kerajaan Pulau Halimun, salah satu cerita rakyat yang ada di buku Hikayat Saija’an dan Ikan Todak. Sumber cerita dari Ambin Sayup. Diceritakan kembali oleh Clan Leader.

.
Legenda Kerajaan Pulau Halimun



Disebutlah sebuah kerajaan di Pulau Halimun, pulau yang terletak paling utara tanah luas Borneo. Kerajaan Pulau Halimun tersebut dipimpin oleh seorang raja yang bernama Raja Pakurindang, yang memiliki dua orang putera yang gagah perkasa dan tampan rupawan. Si sulung yang bernama Sambu Batung, dan yang bungsu diberi nama Sambu Ranjana.

Sambu Batung dan Sambu Ranjana memiliki sifat yang saling bertolak belakang satu sama lain, layaknya bumi dan langit. Sambu Batung amatlah lincah dan mudah bergaul. Kepribadian yang terbuka dan senang dengan hal-hal yang baru. Sangat berbeda dengan Sambu Ranjana yang justru sangat pendiam, tertutup, tidak suka bergaul dan keramaian, dan sangat apa adanya.

Selama Kerajaan Pulau Halimun dipimpin oleh Raja Pakurindang, seluruh rakyat di pulau tersebut hidup dengan rukun, makmur, aman, dan sentausa. Mereka suka bergotong royong dan selalu berbagi dalam kebersamaan. Kebutuhan sandang dan pangan mereka hasilkan sendiri. Hidup di satu pulau yang sama, tidak membuat mereka saling acuh tak acuh. Seluruh pulau saling mengenal tetangga rumahnya, tetangga desanya, dan seluruh penduduk pulau tersebut. Tidak ada rahasia di antara mereka, karena semuanya layaknya satu keluarga yang sama. Yang saling berbagi kebahagiaan, maupun kesedihan.

Namun meski begitu, rakyat Kerajaan Pulau Halimun ini tidak pernah sekalipun berhubungan dengan penduduk pulau lain yang berada di luar pulau. Tak pernah ada satupun orang asing yang berasal dari pulau yang berbeda datang ke pulau tersebut, karena jika dilihat dari lautan bebas, pulau tersebut memang tak nampak. Hilang diselimuti kabut. Nelayan yang berasal dari pulau-pulau lain hanya melintasinya karena takut tersesat di tengah-tengah halimun (kabut) tebal yang ada di tengah laut tersebut.

Disuatu hari, Raja Pakurindang bertitah kepada seluruh aparatnya untuk berkumpul di istana. Dia berkeinginan untuk menyampaikan hal yang sangat penting.

“Karena rakyat sudah hidup dengan sejahtera,” sabdanya, “dan aku kian tua jua, sudah saatnya aku meninggalkan istana. Aku akan bertapa.”

Panglima Ranggas Kanibungan bersembah sujud di depan raja mereka dan bertanya dengan nada sopan, “Paduka akan bertapa dimana?”

Konon, Panglima Ranggas Kanibungan ini memiliki tubuh yang tinggi dan besar sekali. Setiap kali ia melangkah, tanah bergetar hebat. Dia memiliki senjata berupa kapak raksasa yang beratnya sama seperti seekor kerbau jantan. Kapak tersebut disandang olehnya di bahu.

“Di pulau ini jua,” jawab Sang Raja. “Di puncak gunung yang diselimuti mega.”

“Ampun maaf, Paduka.” Sambu Luan, penasihat raja bertanya sambil mengusap-usap kumisnya, “Jika Paduka Tuanku tak ada, siapa yang akan bertakhta? Siapa yang akan menggantikan posisi Tuanku?”

Raja Pakurindang tersenyum tipis. Dia sudah mengira akan mendapatkan pertanyaan seperti itu. Ujarnya, “Putraku, Sambu Batung akan bertakhta dan menjalankan pemerintahan. Tentu saja dengan bantuan kalian, para panglimaku, para punggawaku.”

Semua orang terdiam. Raja Pakurindang kembali berkata, “Namun, meskipun aku tiada lagi bermukim di sini, bukan berarti diriku ini menghilang sama sekali. Dari puncak gunung tempatku bertapa, aku bisa memantau semuanya. Sekali waktu, aku akan memberikan petunjuk dalam bentuk isyarat dan tanda-tanda.”

“Apa yang harus kami lakukan, Ayahanda?” tanya Sambu Batung.

“Jadilah pemimpin yang adil dan bijaksana, Putraku. Rukunlah dengan Sambu Ranjana. Kalian harus memberikan tauladan yang baik, agar mampu menjadi panutan bagi semua orang yang ada di pulau ini. Bukankah sebelum mangkat dulu, mendiang ibu kalian telah mengajarkan hal tersebut?”

Sambu Batung dan Sambu Ranjana mengangguk, menandakan bahwa mereka berdua mengerti dan mengingat ajaran ibunda mereka.

Tak ada kata tawar menawar lagi. Jamba Angan, wakil panglima yang semula hendak bicara kemudian mengurungkan niatnya. Ia sadar, jikalau Raja Pakurindang telah meninggalkan balai persidangan dan masuk ke kamar istana untuk mempersiapkan keperluan terakhir sebelum bertapa, itu artinya tak ada lagi yang dapat dilakukan oleh siapapun untuk mencegahnya, termasuk Jamba Angan sendiri.

Padahal, masalah yang ingin dia sampaikan kepada Raja Pakurindang sangat penting sekali.

Sebagai orang yang telah berumur, matanya yang jeli tahu bahwa Putri Sewangi, anak kandungnya, sangat mencintai Sambu Batung. Namun, Raja Pakurindang justru menjodohkan putrinya tersebut dengan sang bungsu, Sambu Ranjana. Sambu Ranjana pun telah menaruh hatinya pada Putri Sewangi.

Jamba Angan juga tahu, bahwa diam-diam anak Panglima Ranggas Kanibungan yang bernama Putri Perak, yang dicintai oleh Sambu Batung, menyukai Sambu Ranjana. Wakil panglima tersebut mengetahui konflik cinta keempat muda-mudi tersebut, dan merasa khawatir pada keberlangsungan hubungan persaudaraan Sambu Batung dan Sambu Ranjana.

Demi menguraikan benang kusut tersebut, dan menghindarkan kemungkinan terjadinya aib di kalangan bangsawan istana, Jamba Angan pernah mengadakan pertemuan rahasia dengan Sambu Luan untuk meminta nasihat. Ia terdorong untuk melakukan hal itu karena berkaitan dengan nasib putrinya sendiri, Putri Sewangi.

Kepada Sambu Luan, Jamba Angan mengatakan bahwa ia sering mendengar kasak kusuk di kalangan pengawal bahwa secara sembunyi-sembunyi Sambu Batung sering memaksa untuk bertemu dengan Putri Perak, dan pernah menerobos masuk ke Taman Putri. Dan tak ada satupun para pengawal yang berani untuk mengahalanginya.

Pada pertemuan rahasia di tengah malam itu, Jamba Angan tidak mendapat nasihat apa pun dari Sambu Luan. Sambu Luan seakan dihadapkan pada persoalan yang tak dapat dipecahkan oleh siapapun. Setelah mengusap-usap kumisnya yang beruban dan berpikir sekian lama, penasihat kerajaan itu mengangkat bahunya, ia tak bisa berbuat apa-apa.

Di keesokan harinya, seluruh aparat Kerajaan Pulau Halimun melepas keberangkatan Raja Pakurindang. Tetapi, iring-iringan kereta kencana dan prajurit berkuda itu hanya sampai di kaki gunung karena tak ada yang berani mendaki. Hal itu disebabkan karena gunung tersebut dianggap sangat angker. Menjadi hunian berbagai binatang buas, raksasa, siluman, dan makhluk-makhluk gaib. Hanya orang-orang sakti mandraguna yang berani mendaki hingga ke puncaknya.

Syahdan, setelah tiga hari tiga malam Raja Pakurindang bertapa, pohon-pohon yang tumbuh dalam jarak tiga meter di sekitarnya mulai merunduk ke arahnya, seakan-akan memberi hormat kepada raja besar tersbut. Setelah tujuh hari tujuh malam ia bertapa, semak belukar dan pepohonan besar yang berjarak tujuh meter melakukan yang serupa. Hal tersebut berlangsung terus menerus, hingga pepohonan yang berjarak 99999 meter. Semuanya merunduk seakan bersembah sujud dan menyatakan takluk. Di kejauhan, semak belukar dan pepohonan itu berbentuk pegunungan yang diselimuti awan.

Seperti kala Raja Pakurindang memimpin, di bawah takhta Sambu Batung pun rakyat pulau Halimun hidup tentram, damai, aman, makmur, dan sentausa. Sebagai pendamping hidupnya, disuntinglah Putri Perak. Pesta perkawinan berlangsung dengan meriah dan dirayakan oleh seluruh rakyat kerajaan.

Beberapa tahun kemudian, suatu peristiwa genting terjadi. Di dalam sidang di istana yang dihadiri oleh seluruh aparat kerajaan, terjadi pertengkaran sengit antara Sambu Batung dan Sambu Ranjana. Mereka berbeda pendapat dalam mengatasi suatu persoalan. Dari seluruh penjuru desa, aparat kerajaan mendapat laporan tentang terjadinya peristiwa yang mengancam keberlangsungan hidup para warga.

Sidang berlangsung dengan suasana tegang. Hanya beberapa orang yang berani berbicara, yakni Panglima Ranggas Kanibungan dan Sambu Luan.

Usul Sambu Luan, “Ananda berdua, pamanda harap sudahilah pertengkaran ini. Lebih baik kita mencari cara untuk mengatasinya.”

“Tidak, Pamanda!” tolak Sambu Ranjana dengan suara nyaring, “Kanda Sambu Batung harus bertanggung jawab atas masalah ini!”

Jamba Angan dan Sambu Lantar mengangguk, mereka mengiyakan. Sambu Ranjana menambahkan lagi, “Di kerajaan ini, tak ada yang mampu membuka rahasia mantra penyibak halimun, terkecuali dia orang yang memiliki pengaruh besar dan sakti mandraguna. Jelas, dia ingin merusak tatanan dan kedamaian dengan memasukkan budaya luar!”

Melihat keadaan kian genting, peserta sidang mulai berdiri satu persatu. Mereka memecah diri menjadi dua kelompok. Satu kelompok mendukung Sambu Batung, dan yang lainnya memihak kepada Sambu Ranjana.

“Dalam keadaan genting seperti ini, kita seharusnya jangan terpecah belah.” Panglima Ranggas Kanibungan berusaha menengahi, “Tuduhan ananda Sambu Ranjana itu tidak berdasar. Pamanda harap—”

“Cukup, Pamanda!” bentak Sambu Ranjana. “Pamanda tentu saja tak mau menyalahkan menantumu sendiri. Kalian telah bersekongkol! Kalian ingin menjual negeri kita kepada orang asing dengan membuka diri kepada kerajaan lain!”

Mendengar perkataan sang adik yang dianggapnya tidak sopan dan sudah keterlaluan, Sambu Batung tak mampu lagi menahan amarahnya. Terlebih lagi saat jelas-jelas Sambu Ranjana menujukan kata-kata kasar itu kepada mertuanya, sekaligus guru yang ia hormati.

Jeritan istrinya, Putri Perak, tak lagi ia hiraukan. Dengan sekali lompat, Sambu batung sudah berdiri di hadapan Sambu Ranjana. Berhadap-hadapan dia dengan adik satu-satunya tersebut, dan dia berkeinginan untuk berteriak di depan wajah si bungsu. Tatkala ia akan membuka mulut, semua orang dikejutkan oleh suara gemuruh keras yang kemudian disusul guncangan besar. Udara yang tiba-tiba menjadi terasa panas menyengat, dan suasana di sana menjadi kacau balau dalam seketika.

Setelah guncangan mereda, kecemasan tergambar jelas di wajah masing-masing aparat kerajaan kala melihat segerombolan warga berdesakan untuk memasuki balai sidang.

“Mohon ampun, Paduka. Sudah sejak tadi kami ingin menyampaikan hal ini, namun kami tak bisa masuk karena harus menyelamatkan diri.”

Diiringi isak tangis, mereka melapor kembali mengenai hewan ternak mereka yang mati mendadak tanpa sebab musabab yang jelas. Tanaman, pepohonan, sawah, ladang, dan kebun menjadi kering kerontang, dan air tak mengalir lagi.

“Kami mohon perlindungan, Paduka. Bencana telah melanda tanah ini.” Dalam ketakutan, para warga bersembah sujud, “Tanda-tanda dan isyarat telah terlihat. Di gunung pertapaan Raja Pakurindang telah berkibar bendera merah.”

Sambu Batung beserta seluruh aparat kerajaan terkejut. Mereka tertegun, tenggelam dalam ketakutan di pikiran mereka masing-masing. Mereka masih mengingat jelas amanat dari Raja Pakurindang bahwasanya jika di puncak gunung berkibar bendera putih, itu pertanda bahwa kedamaian dan kemakmuran datang di tanah mereka. Apabila yang berkibar adalah bendera kuning, merupakan pertanda bahwa kekeringan dan penyakitlah yang datang. Jikalau bendera merahlah yang berkibar, itu adalah tanda-tanda bahwa bencana dan malapetaka akan datang.

Melihat Sambu Batung diam mematung, Punggawa Sembilan segera menghaturkan sembah sujud. Mereka memohon agar junjungannya melakukan tindakan nyata untuk melindungi rakyat, memberikan bantuan dan pertolongan.

Namun Sambu Batung tetap diam membisu.

Sebuah guncangan dahsyat dan hawa panas tiba-tiba datang lagi dan mereka rasakan kembali. Lebih kuat, lebih panas, dan lebih mengerikan daripada yang pertama kali terjadi. Di antara suara gemuruh dan hawa panas yang menyengat itu, lantai, dinding, dan pilar-pilar istana retak-retak dan roboh satu persatu. Sambu Ranjana berteriak, “Sambu Batung! Kau pengkhianat! Kau telah melanggar wasiat leluhur! Semua ini salahmu!”

“Paduka, tolong jangan bertengkar lagi.” Panglima Ranggas Kanibungan menengahi, “Mari kita bersatu untuk mengatasi masalah ini.”

Bersama dengan Punggawa Sembilan, ia berpegangan tangan satu sama lain. Mereka berdiri di antara pilar-pilar istana yang retak. “Mari kita bulatkan tekad, satukan hati, untuk mengusir kekuatan jahat ini!”

Kata-kata Panglima Ranggas Kanibungan itu seolah menjadi sebuah perintah. Sambu Batung dan Sambu Ranjana terpaksa mengalah dan menggabungkan diri ke dalam barisan. Namun, mereka tak mau bergandengan tangan. Alhasil, Sambu Batung di ujung barisan sebelah kiri, Sambu Ranjana di kanan, dan Panglima Ranggas Kanibungan berada di tengah.

Dipimpin Panglima Ranggas Kanibungan yang berbadan besar, sesaat mereka memejamkan mata. Menghimpun kekuatan batin mereka, dan menyalurkannya melalui tangan amsing-masing dan serempak memukulkannya sekuat tenaga sambil berteriak. Sasaran pukulan mereka adalah arus panas berapi yang berpusar di hadapan, berpusar layaknya angin puting beliung. Apapun yang dilintasi olehnya akan roboh dan tergulung.

Namun bukannya berhenti, arus panas berapi tersebut justru berbalik dan memantulkan pukulan yang mereka lancarkan. Mereka semua terlempar, jauh sekali. Terpencar-pencar dan jatuh dengan pakaian hangus dan tubuh lecet. Kapak besar Ranggas Kanibungan pun terpental jauh. Kelak, ia menjadi Pulau Kapak.

Setelah bertarung melawan bencana tersebut selama tujuh hari tujuh malam dengan mengerahkan seluruh kesaktian, mereka sadar bahwa tak mungkin bagi mereka semua mengalahkan kekuatan jahat tersebut. Saat itulah, ketika angin mendadak gelap dan hujan di angkasa terdengar suara yang amat mereka kenal. Suara Raja Pakurindang.

“Wahai warga Pulau Halimun. Percuma kalian melawan, karena ini sudah takdir kalian. Tak ada yang harus disalahkan. Dan kalian, anak-anakku, dengarkanlah titahku ini!”

“Hamba, Ayahanda.” Sambu Batung dan Sambu Ranjana serempak menyahut. Suara mereka sangat lemah dan bergetar. Tubuh mereka gemetaran.

“Sambu Batung, engkau dan Putri Perak tinggallah di utara pulau ini. Teruskan keinginanmu membuka diri dan membaur di alam nyata.” Suara itu terdengar bijaksana, seperti yang selama ini mereka selalu dengar. Ujar suara itu lagi, “Dan engkau, Sambu Ranjana! Tinggallah di selatan. Lanjutkan niatmu menutup diri. Aku merestui jalan hidup yang kalian inginkan masing-masing. Namun ingatlah, meskipun hidup di alam berbeda, kalian harus tetap rukun. Harus tetap saling membantu dan saling mengingatkan.”

“Pesan Ayahanda akan selalu kami ingat dan kami junjung.” Sambu Batung dan Sambu Ranjana serempak menyahut.

Bersamaan dengan itu, gelegar guntur, kilat, dan petir membelah angkasa. Hujan turun sangat deras, menciptakan banjir besar. Dari puncak gunung, air turun bagai ditumpahkan. Melongsorkan tanah, bebatuan, hewan-hewan, dan pepohonan. Pohon-pohon besar tumbang disambar petir, hingga tercabut hingga akarnya. Dihanyutkan oleh air, dan dengan cepat meluncur ke pemukiman penduduk. Melanda istana, menerjang segala sesuatu yang menghalangi jalannya.

Pun Putri Sewangi dihanyutkan pula oleh banjir besar tersebut. Dia menangis sedih berkepanjangan karena cinta kasihnya yang tak pernah sampai kepada Sambu Batung. Ia berserah diri kepada banjir yang membawanya. Arus air menghanyutkannya ke laut, dan dalam gemuruh guntur, petir, angin, hujan, dan badai, Putri Sewangi terus menangis tanpa henti.

Dengan hati penuh sesal, dilemparkannya serudungnya yang basah oleh air mata. Serudung itu diterbangkan oleh angin ke tempat yang sangat jauh sekali. Dan kelak tempat jatuhnya serudung itu menjadi Pulau Serudung. Dalam duka dan nestapa, Putri Sewangi bersumpah takkan pernah bersuami dan akan mengasingkan diri.

Karena sumpahnya itu, Putri Sewangi menjelma menjadi sebuah pulau tersendiri, Pulau Sewangi. Dipisahkan oleh laut dan berada di sebelah barat Kerajaan Pulau Halimun. Ia masih dapat memandang ayahandanya, Jamba Angan, yang berubah menjadi gunung Jambangan. Gunung Jambangan masih berdekatan dengan Gunung Saranjana yang merupakan perubahan wujud Sambu Ranjana. Gunung Saranjana dipenuhi dengan misteri dan teka-teki. Sedangkan Sambu Batung menjadi Gunung Sebatung, berdampingan dengan Gunung Perak.

Banjir besar itu juga menghanyutkan Sambu Lantar. Setelah sekian lama hanyut oleh air, ia terdampar di tempat yang kemudian menjadi Desa Lontar. Punggawa Sembilan, yaitu Marsiri, Mardapan, Margalap, Marbatuan, Marmalikan, Mardanawan, dan Markalambahu turut hanyut dan terbawa ke tempat paling jauh dan menjadi Pulau Sembilan. Seluruh kesaktian yang mereka miliki melebur menjadi satu menjadi Pulau Sebuku.

.::END::.
.
.

Kenapa saya tertarik pada cerita ini dibandingkan delapan cerita yang lain di buku yang sama? Karena kata Bung Karno, “Jangan sekali-kali melupakan sejarah!”

Seperti kata Bung Karno, haram rasanya jika kita melupakan sejarah. Dari sejarah (meskipun sifatnya fiksi), kita bisa mempelajari sesuatu. Sesuatu yang bisa menjadi bahan pembelajaran kita di masa ini dan masa depan. Saya pernah mendengar seseorang berkata, “Barangsiapa yang melupakan sejarah, akan mengalami sejarah itu sendiri.”

Rasanya di Indonesia sendiri sering terulang peristiwa-peristiwa yang sama yang pernah terjadi di masa lalu. Apakah itu karena banyak yang mulai melupakan sejarah bangsanya sendiri? Entahlah, siapa yang tahu.

Selain itu, kenapa saya juga memilih cerita ini. Hm… mungkin karena pikiran absurd, “Orang-orang di tanah Borneo jauh lebih hebat daripada orang di tanah Jawa. Di Jawa, orang-orang cuman jadi candi (Roro Jonggrang), gunung (Sangkuriang). Kalau di Borneo orang-orang bisa berubah jadi pulau.” /abaikan pikiran konyol saya ini/

Dibandingkan alasan absurd saya di atas, ada hal lain penyebab saya sangat menyukai cerita ini. Cerita ini seakan menceritakan sesuatu yang Indonesia banget. Apa yang Indonesia banget itu? Laut dan kepulauan. Indonesia negara yang bukan dataran, tapi negara kepulauan. Tak ada dataran di Indonesia. Hanya ada daratan pulau. Dan yang menghubungkan semua pulau-pulau itu adalah laut. Uhm… jadi intinya gini, saya suka laut. Dan saya suka kepulauan. Karena itulah saya suka dengan cerita yang berbau laut dan kepulauan. /oke, ini tambah absurd/

Oh ya, sekali lagi, mengenai keberadaan legenda dan hikayat ini sendiri masih saya pelajari. Pasti ada setidaknya naskah yang menuliskan hikayat ini, karena jujur saja, cerita-cerita di dalamnya terasa sangat terstruktur sekali. Untuk saat ini, saya memulai untuk membaca Hikayat Banjar dan Kotawaringin (meskipun bukan naskah asli atau terjemahan yang benar-benar dituliskan berdasarkan naskah asli). Semoga skripsi saya nanti memakai judul ini /heh.

Referensi:

Liaw Yock Fang. 2011. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik. Jakarta: YOI

Najam, M. Sulaiman, M. Syukri Munas, dan Eko Suryadi WS. 2008. Hikayat Sa'ijaan Dan Ikan Todak. Kotabaru: KSI Kotabaru

Jumat, 11 Juli 2014

Hikayat Pelanduk Jenaka


Menurut Werndly di dalam buku Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik milik Liaw Yock Fang, hikayat Pelanduk Jenaka ini termasuk hikayat yang agak tua usianya. Disebutkan oleh Werndly sejak tahun 1736. Nah, menurut Van der Tuuk, kata ‘Jenaka’ atau ‘Jainaka’ ditafsirkan berasal dari kata Sansekerta ‘jainaka’, yaitu seorang pendeta agama Jaina yang selalu ditertawakan orang. Beda lagi pendapat C.A. Mess, yang pernah menerjemahkan hikayat ini ke dalam bahasa Belanda. Dia mengartikan bahwa kata ‘jinaka’ mungkin berarti keramat atau suci. Dia menunjukkan bahwa dalam Hikayat Pelanduk Jenaka yang diterbitkan oleh H.C. Klinkert pada tahun 1885, dimana si Pelanduk sering bertapa di bukit atau pungsu, dan tempat itu disebut pungsu jantaka atau pertapaan dan indrakila di tempat lain. Nah, sedangkan indrakila itu tidak lain dari tempat pertapaan Arjuna, dan katanya sih, Arjuna juga sering disebut Arjuna Janaka atau Jenaka. Banyak lagi pendapat dari sarjana-sarjana yang lain, namun penulis hanya menerangkan dua pendapat ahli di atas aja, ya. Mau lebih lengkapnya, silakan lihat buku Liaw Yock Fang. Hehehe

Hikayat ini tuh dulu dua kali pernah diterbitkan. Yang pertama di tahun 1885 dan yang kedua di tahun 1893. Yang menerbitkannya H.C. Klinkert, seorang sarjana Belanda. Dua terbitan tentang cerita pelanduk ini agak beda sih, soalnya yang terbitan pertama tuh ada 10 buah cerita, tapi yang kedua hanya ada 7 buah cerita. Tapi plotnya tetap sama.

Berikut ringkasan cerita dari kedua terbitan tersebut:



Diceritakan seekor Pelanduk yang kecil tetapi sangat cerdik, bisa menewaskan segala binatang dan menjadi Syah Alam di rimba. Mula-mula diceritakan bagaimana Pelanduk memperoleh kekuatannya; (diterbitan pertama, Pelanduk menggosok badan dengan getah dari pohon ara; terbitan kedua, Pelanduk berguling di dalam serbuk lalang). Seterusnya, Pelanduk diceritakan mampu mendamaikan Kambing dengan Harimau yang bermusuhan. Nama Pelanduk lalu semakin masyhur.

Binatang-binatang di rimba datang meminta bantuan karena gangguan seorang raksasa. Dengan tipu daya, raksasa itu dibunuh oleh Pelanduk. Semua binatang takluk kepada Pelanduk dan masing-masing membawa persembahan kepadanya. Namun, Kera tidak mau takluk dan ketika dikejar, ia meminta bantuan kepada Gajah, Singa, dan Buaya. Gajah, Singa, dan Buaya semuanya ditewaskan oleh Pelanduk. Akhirnya, untuk menghukum Kera, Pelanduk menipu Kera sehingga dia pergi menerjang sarang lebah. Kera pun disengat hingga bengkak-bengkak tubuhnya. Pelanduk kemudian mengumumkan bahwa barang siapa yang tidak mau tunduk kepadanya, pasti akan mendapatkan hukuman seperti yang didapat oleh Kera sekarang. Dan tetaplah si Pelanduk di atas singgasananya.


Nah, kan di terbitan 1885 ada 10 cerita, berikut 3 buah cerita yang terdapat di terbitan pertama dan tidak terdapat di terbitan kedua alias hikayat yang diterbitkan tahun 1893:

1. Pelanduk bertanding meminum air sungai dengan binatang

2. Pelanduk menangkap gergasi yang memakan ikan-ikan yang ditangkap oleh para binatang.

3. Pelanduk membakar Semut yang telah membunuh Gajah.

Akhirnya semua binatang tunduk kepada Pelanduk.

Nah, menurut J. Brandes, versi pendek alias versi 1893 lebih asli, lebih tua, dan lebih penting karena dari penjelasan di atas, plot terbitan 1893 lebih terpelihara daripada plot terbitan 1885. Pendapat J. Brandes juga telah disetujui oleh Winstedt yang menunjukkan bahwa juga ada pengaruh-pengaruh Jawa terdapat di dalam versi tersebut. 

Hikayat Pelanduk ini ternyata juga pernah diterbitkan dalam bentuk syair di Singapura pada tahun 1301 H, yaitu tahun 1883/84 Masehi. Syair ini menyerupai yang versi panjang alias terbitan 1885, tapi hanya mengandung 8 cerita saja.

Juga ada dua kumpulan cerita pelanduk yang diterjemahkan dari bahasa Jawa. Yang pertama diterjemahkan oleh Winter dan diberi judul: Riwayat dengan Segala Perihal Kancil, dengan gambaran 12 warna, dan tersalin dari bahasa Jawa. Yang kedua ialah Cerita Kancil yang Cerdik oleh Ng. Wirapustaka, terbitan Balai Pustaka.

Hikayat Sang Kancil sangat populer di Semenanjung Tanah Melayu, dan hikayat ini bersama-sama diterbitkan dengan Hikayat Pelanduk Jenaka Dengan Anak Memerang dengan judul Hikayat Pelanduk dalam Malay Literature Series 13.

Referensi:

Liaw Yock Fang. 2011. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik. Jakarta: YOI

Rabu, 18 Juni 2014

Hikayat Sri Rama (Ramayana Versi Melayu)

Hikayat Sri Rama adalah bahasa Melayu untuk cerita Rama. Hikayat ini memiliki dua versi yang agak berbeda. Versi yang diterbitkan oleh Roorda Van Eysinga, dan versi yang diterbitkan oleh W. G. Shellabear. Versi Roorda diduga sebagai naskah yang tertua dalam bahasa Melayu, dan plotnya masih mendekati Ramayana Walmiki, meskipun memiliki banyak episode yang tidak terdapat dalam Walmiki. Sedangkan versi Shellabear sudah nampak pengaruh Islam yang kuat, dan sudah agak jauh menyimpang dari Ramayana Walmiki. Namun dari dua versi ini kita dapat menyusun cerita yang agak organis, yang mempunyai plot.
Dua versi ini dianggap versi sastra, karena masih ada dua versi yang dianggap cerita penglipur lara (rhapsodist version).

Berikut adalah ringkasan cerita Hikayat Sri Rama berdasarkan versi Roorda dan Shellabear.

Maharaja Rawana dibuang ke Bukit Serendib. Di bukit itu ia bertapa dengan cara yang paling hebat sekali, kakinya digantung, kepalanya ke bawah. Selama dua belas tahun ia bertapa. Tuhan lalu mengasihaninya dan mengirim Nabi Adam untuk menanyai apa kehendaknya. Rawana memohon empat kerajaan pada Tuhan; satu kerajaan dalam dunia, satu kerajaan pada keindraan, satu kerajaan di dalam bumi, dan satu lagi di dalam laut. Permohonan Rawana disetujui Tuhan dengan syarat bahwa Rawana harus memerintah dengan adil, jangan mengerjakan pekerjaan haram. Dalam naskah lain disebut juga, jangan mengganggu anak-istri orang.

                Di kerajaannya di keindraan, Rawana kawin dengan putri Nila Utama dan beranakkan Indra Jat. Genap dua belas tahun, Indra Jat dirajakan dalam keindraan. Di kerajaannya yang di bumi, Rawana kawin dengan putri Pertiwi Dewi dan beranakkan Patala Maharayan. Sesudah genap umur, Patala Maharayan dirajakan di bumi. Di kerajaannya yang di dalam laut, Rawana kawin dengan Gangga Maha Dewi dan beranakkan Gangga Maha Suri. Sesudah genap umur, anak ini dirajakan di dalam laut. Di dunia, Rawana membuat sebuah negeri yang sangat indah. Negeri itu ialah Langkapuri. Maka Rawana pun menjadi raja yang adil di Langkapuri. Semua kerajaan di dalam dunia takluk kepada hukumnya. Yang masih belum takluk hanya empat buah negeri saja, yaitu Indrapuri, Biruhasa, Lekor Katakina, dan Aspaha.

                Tersebutlah perkataan negeri Indrapuri. Berma Raja, nenek Rawana, sudah mangkat. Yang menjadi raja ialah Badanul, anaknya yang sulung. Sesudahnya Citra-Baha mempunyai tiga orang putra, seorang bernama Kamba Kama, seorang bernama (Vibhishana) Bibusanam, dan seorang lagi anak perempuan, Sura Pandaki namanya. Sesudah Citra-Baha, Naranda adik Jama Mantri, anak Badanul menjadi raja. Sesudahnya Mantri Sakhsah naik kerajaan.
               
                Maharaja Balikasa, raja Biruhasa Purwa, bersiap-siap untuk melanggar negeri Indrapuri, karena negerinya pernah dikalahkan oleh Citra-Baha dan ayahnya dibunuh oleh Citra-Baha juga. Seorang raksasa yang sakti dikirim ke negeri Indrapuri. Banyak rakyat dan menteri Indrapuri yang dibunuh oleh raksasa itu. Terjadilah peperangan antara Maharaja Balikasa dan Mantri Sakhsa. Rawana pun tetaplah dalam kerajaan di Langkapuri. Jama Mantri menjadi mangkubumi, Kamba Kama menjadi penghulu hulubalang, Bibusanam menjadi penghulu ahli nujumm, sastrawan dan alim mualim. Barga Singa, anak Rawana menjadi seorang menafahus (memeriksa, menguasai (?)) seluruh dunia (Cerita tentang masa muda Rawana ini hanya terdapat dalam versi Shellabear).

                Dasarata Maharaja, seorang raja yang gagah, pahlawan di negeri Isafa, tidak mempunyai putra. Atas nasihat seorang Brahmana baginda mengadakan upacara pemujaan Homam. Tidak lama kemudian kedua permaisuri baginda pun hamillah (Dalam Shellabear karena memakan biji geliga yang diberikan oleh seorang Brahmana). Mandudari, putri yang lahir dari buluh betung beranakkan Rama dan Laksmana. Baliadari, beranakkan Bardan, Citradan, dan seorang anak perempuan Kikewi Dewi namanya (Anak perempuan ini tak disebut dalam Shellabear).

                Sri Rama adalah seorang anak raja yang terlalu elok parasnya dan gagah berani, tetapi nakal. Karena kenakalannya itu, sekalian menteri lebih senang kalau anak Baliadari, Baradan atau Citradan yang dirajakan dalam negeri. Dasarata sendiri juga pernah dua kali berjanji akan merajakan anak-anak Baliadari dalam negeri, karena jasa-jasa gundiknya ini.

                Rawana mendengar bahwa Dasarata sudah memperistri seorang putri yang sangat elok parasnya. Timbul keinginan untuk memilikinya (putri itu). Rawana lalu datang dan meminta putri itu kepada Dasarata. Dasarata tidak keberatan. Mandudari segera diberitahu hal ini. Mandudari masuk ke suatu bilik. Tidak lama kemudian keluarlah seorang putri yang serupa dengan Mandudari, Mandudaki namanya. Putri itu lalu dibawa pulang oleh Rawana. Seketika itu juga keluarlah Mandudari dari biliknya dan menjelaskan apa yang sudah terjadi. Putri yang dibawa Rawana bukanlah dirinya sendiri, melainkan putri yang dijadikannya dari memuja daki. Dasarata sangat gembira, sebab istrinya tetap ada. Di samping itu, ia meminta seorang perempuan tua membawanya ke istana Rawana. Pada malam hari ia meniduri putri itu dan dengan demikian menjadi ayah, dari anak Rawana.

                Setelah beberapa lamanya, Mandudaki pun hamillah dan melahirkan seorang putri yang sangat elok parasnya. Putri itu ialah Sita Dewi. Menurut ramalan ahli nujum, suami Sita Dewilah kelak yang akan membunuh Rawana. Rawana amat murka, mau rasanya membunuh Sita Dewi ketika itu juga. Atas rayuan Mandudaki, Sita Dewi ditaruh dalam peti besi dan dihanyutkan ke laut.

                Sekali peristiwa Maharesi Kali, raja negeri Darwati Purwa, bertapa di laut dan mendapatkan peti besi yang dihanyutkan oleh Rawana. Sita Dewi diselamatkannya dan dipelihara dengan baik. Tak lama kemudian, masyhurlah kepada segala alam bahwa Maharesi Kali mempunyai seorang putri yang sangat elok parasnya. Setelah umur Sita Dewi genap dua belas tahun, Maharesi Kali mengadakan sayembara untuk memilih menantu: barangsiapa yang dapat mengangkat panah yang ada di halaman rumahnya dan dapat pula memanah pohon lontar dengan sekali panah atas empat puluh pohon, dia akan diterima menjadi suami Sita Dewi.

                Banyaklah sudah anak raja yang besar-besar berkumpul di negeri Maharesi Kali. Yang tidak datang hanyalah anak-anak Dasarata. Maharesi lalu pergi menjemput anak-anak Dasarata. Dengan hati yang berat, Dasarata melepaskan Sri Rama dan Laksamana pergi mengikuti Maharesi Kali ke negeri Darwati Purwa. Dalam perjalanan, Rama sudah menunjukkan keberaniannya. Raksasa Jagina (Shellabear: Jekin), badak, naga (ular) yang selalu menggangu perjalanan manusia habis ditewaskannya.

                Sayembara dimulai. Tetapi tidak seorang pun anak raja yang dapat dengan sekali panah, menerusi empat puluh pohon lontar. Rawana sendiri hanya dapat menerusi tiga puluh delapan pohon saja (hanya dalam versi Roorda). Akhirnya dengan tenang Rama masuk ke dalam gelanggang sayembara. Dengan sekali panah saja, keempat puluh pohon lontar kenalah semuanya. Bukan main terkejutnya anak-anak raja yang berkumpul di situ. Dengan demikian Rama pun beroleh Sita Dewi sebagai istri.

                Untuk mencoba kearifan Rama, Maharesi Kali menyembunyikan Sita Dewi dalam rumah berhala pula. Ia mengatakan kepada Rama bahwa Sita sudah hilang. Dengan mudah saja, Rama menemukan Sita kembali. Dalam perjalanan pulang pula, ada empat orang anak raja yang putus asa mencoba menghalangi Rama. Tetapi semuanya dikalahkan oleh Rama.

                Segala persiapan sedang diadakan untuk menabalkan Rama dalam negeri.  Si Budak Bungkuk menghasut Baliadari menuntut Dasarata supaya menunaikan janjinya, yaitu menabalkan anak-anak Baliadari. Apa daya, kata raja tak dapat diubah, maka terpaksalah Dasarata mengabulkan permohonan Baliadari. Rama dan Sita, bersama-sama Laksamana lalu meninggalkan negeri dan pergi bertapa di dalam hutan.

                Maka berjalanlah Sri Rama dan Laksamana di dalam hutan belantara. Dalam perjalanan, mereka bertemu dengan beberapa orang Maharesi yag baik kepada mereka. Anggasa Dewa, Kikukan, dan Wirata Sakti menjamu mereka dan mengajak Sri Rama bertapa bersama-sama dengan mereka. Rama menolak dan meneruskan perjalanan hingga sampailah di bukit Indra Pawanam. Di sini ada seorang raksasa Purba Ita mencoba melarikan Sita. Raksasa itu dibunuh oleh Rama. Maka Rama pun membuat tempat pertapaan di bukit ini.

                Menurut Shellabear, sesudah mengalahkan keempat anak raja yang mencoba menghalanginya, Rama mengambil keputusan tak akan pulang ke negeri, karena ayahnya telah memilih Baradan sebagai pengganti raja. Rama dan Sita, bersama-sama dengan Laksamana lalu masuk ke hutan belantara, mencari tempat yang sesuai untuk bertapa. Mereka bertemu dengan seorang pertapa, Maharesi Astana namanya, yang memberitahu Laksamana tentang dua kolam aneh yang terdapat dalam hutan itu. Suatu kolam airnya jernih, tetapi barang siapa yang mandi di dalamnya akan menjadi kera. Sebuah lagi airnya keruh. Rama dan Sita mandi di kolam jernih dan mereka menjadi kera seketika itu juga. Untunglah ada Laksamana yang sempat menyelamatkan mereka. Sesudahnya, Rama pun menyuruh mengurut kerongkongan Sita Dewi yang segera memuntahkan maninya. Mani itu dibawa oleh Bayu Bata dan dimasukkan ke dalam mulut Dewi Anjani yang sedang ternganga. Dewi Anjani bunting dan melahirkan Hanoman. Kemudian Rama bertapa dalam suatu tempat yang baik dalam hutan itu.

Rawana hendak menyerang matahari, karena sang matahari selalu menggangu kesenangannya. Sekembali dari usahanya yang sia-sia itu, dilihatnya kotanya dikawal oleh binatang semacam ular. Binatang itu ditetaknya. Kemudian ternyata yang ditetak itu bukanlah ular, melainkan lidah saudaranya, Berga Singa. Sura Pandaki takut anaknya dibunuh oleh Rawana, lalu membawa anaknya ke hutan dan menyuruhnya bertapa dalam buluh betung. Di dalam rumpun buluh inilah Dasra Singa terbunuh oleh Laksamana. Sura Pandaki sangat marah dan mau membalas dendam. Ia lalu mengubah dirinya sebagai seorang perempuan yang cantik dan mendekati Rama, dengan maksud menangkap Rama. Rama menolaknya, ketika ia menghampiri Laksamana, Laksamana mengerat hidungnya.

Saudaranya, Darkalah Sina, menyerang Rama, juga tidak berhasil. Sura Pandaki lalu menghasut Rawana menyerang Rama dan Laksamana. Dengan dua orang raksasa yang sakti, Rawana datang ke hutan pertapaan Rama. Seorang raksasa menjadikan diri sebagai kijang emas, seorang lagi sebagai kijang perak. Sita Dewi yang melihat kedua kijang itu tergerak hatinya hendak memiliki kedua-dua kijang tersebut, lalu meminta dengan sangat supaya Rama menangkap kijang-kijang itu hidup-hidup. Pergilah Rama menangkap kijang itu.

Tidak lama kemudian terdengar pula suara Rama meminta tolong. Sita mendesak Laksamana pergi menolong Rama. Ketika Laksamana menolak, Sita menuduh Laksamana. Dikatakannya bahwa Laksamana ingin memilikinya seandainya Rama mati. Oleh karena tuduhan itu, maka terpaksalah Laksamana pergi. Sebelum ia pergi, ia menggores tanah dengan telunjuknya. Maksudnya, barang siapa yang melangkahi goresan itu akan kena tangkap.

Kemudian muncullah Rawana sebagai seorang Brahmana yang miskin, dan meminta sedekah dari Sita. Sita yang tidak tahu apa-apa telah keluar dari goresan itu untuk memberi sedekah kepada Brahmana palsu itu. Dengan seketika itu juga Sita dilarikan Rawana. Burung Jentayu berusaha menolong Sita. Tetapi tidak berhasil, malah dirinya sendiri terbunuh.

Ketika Rama dan Laksamana kembali, mereka bukan main kaget. Didapati mereka Sita sudah hilang. Rama rebah dan jatuh di tempat duduk Sita sampai beberapa hari tidak sadarkan diri. Sesudah Rama sadar kembali, mereka lalu pergi mencari Sita.

Mula-mula mereka bertemu dengan kakak burung Jentayu yang memberitahu mereka bahwa Sita sudah diculik oleh Rawana. Kemudian mereka bertemu dengan Sugriwa yang diusir dari kerajaan oleh saudaranya Balya. Rama dan Laksamana menolong Sugriwa merebut kerajaan kembali. Sebelum meninggal, Balya meminta Rama menjaga istri dan kedua orang anaknya yang masing-masing bernama Anggada dan Anila. Balya memberitahu Rama bahwa yang dapat menolong Rama merebut Sita kembali ialah anak saudaranya yang bernama Hanoman.

Setelah berpisah dengan Rama dan mendengar pula Rama kehilangan istrinya, Mandudari sangat sedih dan wafat (Shellabear: Dasarata yang wafat). Beradan dan Citradan pergi mencari Rama dan meminta Rama kembali menjadi raja dalam negeri. Rama menolak dan bersedia memberikan kaus kepada saudaranya. Kiasnya, Ramalah yang menjadi raja dalam negeri.

Sugriwa mengumpulkan semua rakyat keranya. Tetapi tidak ada satu pun yang sanggup melompat ke Pulau Langka. Hanoman sanggup melakukan tugas itu asal dibenarkan makan sehelai daun dengan Rama. Rama tidak keberatan makan sehelai daun dengan Hanoman, asal Hanoman mandi di laut dulu. Sesudah makan, Rama memberikan sebentuk cincin kepada Hanoman untuk dibawa kepada Sita Dewi sebagai tanda.

Hanoman menyamar sebagai seorang Maharesi dan menemui Sita Dewi di istana Rawana. Hanoman menceritakan asal-usulnya dan Sita mengakuinya sebagai anaknya. Kemudian Hanoman memakan habis buah mempelam yang di dalam istana. Karena hal ini, dia ditangkap dan mau dibakar. Tetapi Hanoman melompat ke sana-sini, menyebabkan kebakaran yang besar. Hanoman juga mau membawa Sita Dewi ke tempat Rama. Sita Dewi menolak. Pertama, karena ia tidak mau dijamah oleh laki-laki lain melainkan Rama; kedua, karena ia mau kehormatan menyelamatkannya diberikan kepada Rama.

Sementara itu, pembangunan jembatan (titian) hampir selesai. Gangga Mahasura, anak Rawana, berusaha membinasakan titian itu. Tetapi semua ikan dan ketam yang dikirimkan untuk melaksanakan tugas itu, habis dibinasakan Hanoman. Rawana mulai gentar dan berunding dengan saudara dan menteri-menterinya tentang serangan Rama yang bakal datang itu. Bibusanam, menteri yang tua, mengusulkan supaya Sita dikembalikan kepada Rama. Rawana marah dan mau membunuh Bibusanam yang terpaksa melarikan diri dan menyerah kepada Rama. Anak-anak Rawana, Indra Jat dan Kumbakarna juga menganjurkan supaya Sita dikembalikan saja. Rawana tetap berkeras. Akhirnya peperangan pun berlangsung. Anak-anak Rawana satu demi satu gugur di medan perang. Mula-mula Buta Bisa, kemudian Patala Maharayan, kemudian Indra Jat dan akhirnya Mula Patani. Selepas itu keluarlah Rawana sendiri. Sesudah peperangan sengit, berpanah-panahan, akhirnya Rawana tewas juga. Dengan demikian berakhirlah peperangan antara Rama dengan Rawana.

Masuklah Rama ke dalam kota Langkapuri. Rama tidak mau menerima Sita kembali, takut kalau-kalau Sita sudah diperkosa oleh Rawana. Sita membuktikan kesuciannya dengan duduk di dalam api yang menyala. Akhirnya berkumpullah Rama dan Sita kembali. Banyaklah anak raja yang besar-besar datang mengunjungi Rama di Langkapuri. Demikian juga saudara-saudara Rama yang bernama Beradan dan Citradan.

Maharesi Kala juga datang dan menceritakan asal-usul Sita. Tahulah Sita, Mandudaki adalah ibunya, dan Rawana ayahnya sendiri. Tidak lama kemudian, Rama membuat negeri di atas bukit. Negeri itu ialah Durja Pura Negara.

Sesudah makan obat yang diberikan Maharesi Kala, Sita pun hamil. Semasa Sita hamil, Kikewi Dewi, saudara perempuan Rama, datang pada Sita dan meminta Sita melukiskan rupa Rawana di atas kipas. Kipas itu kemudian didapati oleh Rama. Kikewi berbohong dan berkata Sitalah yang melukis kipas itu dan dibawanya beradu. Rama marah dan mengusir Sita dari istana. Maka pergilah Sita ke tempat Maharesi Kala. Sebelum berangkat Sita bersumpah, barang siapa yang berkata bohong, dia takkan dapat berkata-kata lagi. Dan kalau ia benar, sesudah ia kelua dari negeri, binatang-binatang akan berada dalam dukacita.

Di tempat Maharesi Kala, Sita melahirkan seorang anak, Tilawi (Shellabear: Lawa) namanya. Sekali peristiwa, Maharesi Kala membawa Tilawi berjalan-jalan. Tilawi tersesat jalan dan kembali sendiri ke tempat ibunya. Maharesi Kala takut kalau-kalau Tilawi sudah hilang, lalu memuja lalang. Dengan seketika terjadilah seorang anak laki-laki yang mirip dengan Tiwali. Anak tersebut diberi nama Kusa. Sesudah besar, Tiwali dan Kusa jadi anak muda yang gagah berani. Banyak raksasa yang mereka bunuh.

Sesudah beberapa lama, Rama pun sadar akan kesalahannya dan meminta Sita kembali. Setelah Sita Dewi pulang, segala margasatwa pun berbunyi kembali dan Kikewi Dewi datang meminta ampun kepada Sita. Tilawi dikawinkan dengan Putri Indra Kusuma Dewi, anak Indra Jat, dan dirajakan di dalam negeri Durja Pura. Kusa dikawinkan dengan Gangga Surani Dewi, anak Gangga Mahasura, dan dirajakan di dalam negeri Langkapuri.

Setelah beberapa lama, Rama membuat negeri di tempat orang bertapa. Negeri itu dinamai Ayodhya Pura Negara. Sesudah empat puluh tahun lamanya hidup bersuka-suka dengan Sita dalam pertapaan, maka Sri Rama pun kembalilah dari negeri yang fana ke negeri yang baka.

Demikianlah cerita Hikayat Sri Rama, menurut naskah Roorda dan Shellabear.

Referensi:

Liaw Yock Fang. 2011. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik. Jakarta: YOI

Selasa, 10 Juni 2014

Ringkasan Beberapa Dongeng Aetilogis


Berikut adalah ringkasan dongeng aetiologis. Semua cerita yang dituliskan di sini diambil dari buku Sejarah Kesusastraan Melayu yang ditulis oleh Liaw Yock Fang.


Kenapa di tepi sungai hutan rimba banyak terdapat pohon yang tinggi?


Pada suatu masa dahulu telah hidup dalam hutan rimba Malaya sebangsa raksasa, Kelembai nama bangsa raksasa itu. Bangsa raksasa ini bisa menyihir manusia menjadi batu atau kayu. Jumlah mereka sangat banyak, sehingga orang-orang Melayu merasa terancam dan membuat rencana untuk mengusir mereka. Beruntung, para Kelembai ini sangat tolol. Orang Melayu memotong ujung bambu dan membiarkannya tegak kembali. Kelembai menyangka bahwa hanya raksasalah yang dapat memotong ujung bambu. Kemudian, seorang kakek yang tua dibaringkan dalam buaian. Bila melihat kakek yang tidak bergigi itu, Kelembai menyangka mungkin itulah bayi yang baru dilahirkan. Timbullah ketakutan dalam hati Kelembai. Akhirnya sisir tanah dianggap sisir manusia; penyu-penyu disangka kutu. Tidak berani lagi mereka tinggal dalam hutan rimba itu. Mereka melarikan diri ke kaki langit. Semua orang yang dijumpai waktu berlari, diajak berlari bersama-sama. Siapa yang enggak ikut, disihir menjadi pohon. Itulah sebabnya di tepi-tepi sungai di hutan rimba Malaya banyak terdapat pohon-pohon yang tinggi dan besar.


Mengapa tongkol jagung berlubang?


Sekali peristiwa, jagung berkata dengan sombongnya bahwa jika tiada padi lagi, ia sanggup memberi makanan kepada manusia. Dagun (sejenis akar) dan Gadung (sejenis tumbuhan melilit yang umbinya mengandung racun) juga mendakwa demikian. Maka mereka pun pergilah mengadu kepada Nabi Sulaiman. Nabi Sulaiman memenangkan jagung. Dagun dan Gadung marah dan pergi mencari duri peram. Jagung mengetahui hal ini dan meracuni dagun. Ini sebabnya dagun masih beracun sampai hari ini. Gadung juga berhasil menusuk jaging dengan duri. Inilah sebabya tongkol jagung masih berlubang sampai hari ini. Perkara ini lalu dibawa kepada Nabi Ilias yang menyuruh mereka kembali kepada Nabi Sulaiman. Nabi Sulaiman menyuruh mereka berkelahi untuk menentukan siapa yang benar. Dua minggu lamanya mereka berkelahi. Pohon mata-lembu melihat perkelahian itu dari dekat sehingga kulitnya rusak; sampai hari ini masih tampak lukanya. Pohon peracak sangat takut dan berlari dengan berjingkat. Itulah sebabnya pohon peracak sampai hari ini masih begitu panjang dan langsing rupanya.


Asal-usul seekor buaya putih.


Pada masa dahulu ada seorang nakhoda, Nakhoda Ragam namanya, yang berlayar dari Jering dengan istrinya yang cantik, Cik Siti. Dalam pelayaran itu, Nakhoda Ragam begitu sering hendak memeluk istrinya sehingga istrinya mengingatkan supaya berhati-hati, karena dia sedang menjahit. Nakhoda Ragam tidak menghiraukan amarah istrinya dan tertusuk oleh istrinya dengan jarum lalu meninggal. Mayatnya disembunyikan dan baru kemudian ditanamkan di Banggor; tetapi rohnya masuk ke dalam tubuh seekor buaya tua. Apabila seekor buaya muncul di perairan di daerah itu, orang yang dalam pelayaran segera berkata, “Nakhoda Ragam, cucumu minta izin untuk lalu.” Buaya lalu hilang dari permukaan air.

Cerita Si Kantan

Pada suatu masa dahulu, di negeri Panai di Sumatera Timur, tinggallah seorang miskin tiga beranak. Anaknya yang bernama Si Kantan itu sudah berumur 16 tahun. Pada suatu hari, bapak Si Kantan masuk mengambil kayu api dalam hutan dan terjumpa sebuah tongkat semambu yang sangat mahal harganya. Tongkat itu, disuruhnya anaknya Si Kantan menjualnya di Pulau Pinang.

Tersebut pula perkataan Si Kantan mendapat uang ringgit yang banyak sekali, karena menjual tongkat semambu. Maka Si Kantan pun hiduplah seperti orang kaya di Pulau Pinang. Hatta ia pun kawin dengan seorang gadis, anak perempuan seorang saudagar kaya. Selang berapa lamanya, ia pun berlayar pulang ke negeri Panai bersama-sama dengan istrinya.

Kabar kedatangan Si Kantan dengan perahunya yang berisi barang-barang yang berharga pun terbetiklah ke seluruh negeri Panai. Ibu Si Kantan juga pergi berjumpa dengan anaknya. Tetapi Si Kantan tidak mau mengakui ibunya. Pikirannya dalam hati, baiklah orang itu jangan kukatakan lagi orangtuaku, malu aku kepada istriku yang seperti bulan penuh itu rupanya. Patutkah orang yang sudah semulia dan sekaya aku mempunyai orang tua yang seburuk dan sekotor itu?

Berkali-kali ibu Si Kantan mencoba bertemu dengan anaknya, tetapi sia-sia saja. Akhirnya ibu Si Kantan berseru, “Ya Allah, Ya Tuhanku. Kalau benar ia anakku yang sudah mendurhaka kepadaku, barang dibalaskan Allah juga kiranya dosanya kepadaku itu.”

Maka dengan takdir Allah, turunlah hujan dan angin badai, air di sungai itu pun menggunung, besar gelombangnya. Perahu Si Kantan itu pun diambung dan diempaskan ombak sehingga tenggelam. Setelah itu, hujan dan angin pun berhentilah. Demi ombak dan gelombang itu berhenti, maka dengan sekonyong-konyong timbullah perahu Si Kantan yang karam itu menjadi sebuah pulau, lalu dinamai Pulau Kantan. Di atas pulau itu ada seekor beruk putih diam, yang disangka orang kejadian dari istri Si Kantan. Hingga sampai pada masa ini, pulau itu kelihatan terang dari negeri Panai.

Referensi:

Liaw Yock Fang. 2011. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik. Jakarta: YOI