Kamis, 12 Juli 2018

Standar cantik memang berbeda-beda. Masing-masing generasi, setiap negara, wanita cantik itu tidak sama. Tapi di Indonesia, cantik itu diasosiasikan dengan rambut panjang. Sejak jaman Roro Jonggrang belum dijadikan batu hingga kata 'syantik' di perebutkan oleh Siti Badriyah dan Syahrini, standar itu tetap. Iklan-iklan sampo wanita tentulah menjual wanita berambut panjang. Wanita berambut pendek selalu dianggap tomboy, menyerupa lelaki, dan segala hal yang jauh dari kata cantik. Bolehlah ditilik baik dari kesusastraan klasik Nusantara yang kebanyakan mendeskripsikan bahwa putri-putri yang cantiknya serupa bidadari hingga bidadari sendiri pun selalu sama.
"Badannya ramping sebagai pohon pinang;
rambutnya sebagai mayang terurai;
mukanya berseri sebagai bulan 14 hari; (HB Jassin, 1968:142)"
Sejak dulu kecantikan wanita bentuk pemujaannya berupa epos-epos baik syair, prosa, dan lagu, hingga kini. Lagu-lagu cinta tak bisa lepas mengenai kekaguman terhadap wanita. seperti pada lirik lagu A. Rafieq;
"Jangan, jangan samakan dia dengan yang lain. Bibirnya yang merah dan senyumnya menawan. Rambutnya terurai, hitam, dan bergelombang; (Rafieq, 1979)"
Ebiet G Ade yang bahkan dari judulnya sajapun sudah mengindikasikan kecantikan seorang wanita berambut panjang pada lagunya yang berjudul, "Anak Manis Berambut Panjang" yang ia perkenalkan pada masyarakat Indonesia setahun setelah lagunya A Rafiq rilis, tahun 1980.

Bahkan meski milenial berganti pun, wanita berambut panjang tetap menjadi ikon kecantikan seorang wanita. Seperti pada lagu Surat Cinta Untuk Starla yang dinyanyikan oleh Virgoun dan menjadi salah satu anthem cinta terbaik di kalangan anak muda meskipun telah dua tahun dari perilisannya pertama kali.
"Tetap cantik rambut panjangmu, meskipun nanti tak hitam lagi; (Virgoun, 2016)."
Belum ditambah dengan berbagai kecaman dan ancaman dari dien agama masing-masing serta pelabelan lainnya terhadap wanita. Wanita cantik itu adalah wanita yang berambut panjang. Wanita berambut pendek adalah wanita yang menyerupai laki-laki, tomboy, tidak feminim. Belum lagi fitnah kejam bahwa wanita berambut pendek sudah pasti berkutu, rambutnya tak terawat, pemalas, dan lebih parah lagi adalah wanita berambut pendek adalah seorang yang tidak waras.
 
 Benarkah begitu?

Minggu, 20 Agustus 2017

Palembang dalam Dunia Kesusasteraan Melayu Klasik

Kota Palembang disebut di dalam hikayat Sulalatus Salatin. Bukit Si Guntang dikisahkan menjadi tempat turunnya tiga anak Raja Suran keturunan Iskandar Zulkarnain dari sebuah negeri di dalam laut. Tiga anak Raja Suran ini bernama Nila Pahlawan, Krisyna Pandita, dan Nila Utama yang konon merupakan nenek moyang orang Melayu. Berdasarkan hikayat Sulalatus Salatin, Nila Pahlawan diangkat anak oleh Demang Lebar Daun, diminta oleh Patih Suatang dan diangkatlah ia menjadi raja di Minangkabau. Krisyna Pandita juga menjadi raja di Tanjung Pura, sedangkan Nila Utama yang masih berada di Palembang dirawat oleh Demang Lebar Daun dan menjadi raja yang bergelar Sri Tri Buana.

Menurut kesejarahan perkembangan sastra Melayu di Palembang, ada dugaan bahwa munculnya tradisi kesusasteraan di Palembang telah muncul sebelum masa Islam (abad ke-15 M), namun sejauh menyangkut kesusastreaannya, Palembang mengalami masa keemasannya setelah Islam datang (Mu’jizah dan Fathurrahman, 2008:95). Palembang merupakan salah satu pusat tumbuh suburnya berbagai pengetahuan keislaman di Dunia Melayu-Indonesia, baik yang berkaitan dengan sastra maupun agama. Beberapa naskah keagamaan banyak menyebutkan asal-usulnya berasal dari wilayah Palembang, baik ditulis maupun hanya diterjemahkan di Palembang. Umumnya berbagai karangan dan terjemahan yang dijumpai tersebut berasal dari periode pertengahan abad ke-18 hingga awal abad ke-19.

Pada awal abad ke-17, Kesultanan Palembang memberikan minat khusus pada bidang keagamaan dan hal ini mendorong tumbuhnya pengetahuan dan iklim keilmuan sehingga menjadi faktor penyebab mengaa Palembang menjadi salah satu pusat kebudayaan Islam di dunia Melayu (Azra via Mu’jizah, 2008:96). Para Sultan Palembang banyak menjadikan tokoh-tokoh agama sebagai patron keilmuan mereka dan menjadi sebuah gejala umum yang bisa terjadi sehingga pada gilirannya para Sultan yang berkuasa tersebut memberikan kontribusi atas terciptanya atmosfir keilmuan di wilayah Palembang. Antara abad ke-18 dan 19, Palembang telah melahirkan sejumlah ulama penting yang dalam hal penulisan naskah-naskah dan kitab-kitab keagamaan tergolong produktif di zamannya, seperti Syihabuddin bin Abdullah Muhammad, Muhammad Muhyiddin bin Syihabuddin, Kemas Fakhruddin, dan Muhammad Ma’ruf bin Abdullah Khatib Palembang. Selain itu ada pula Syaikh Abdussamad al-Palimbani yang cukup berpengaruh dengan karyanya antara lain Ratib Samman, Zuhrat al-Murid fi Bayan Kalimat at-Tauhid, Hidayat as-Salikin fi Suluk Maslak al-Muttaqin, Sair as-Solikin ila ‘Ibadat Rabb al-Alamin, Tuhfat ar-Ragibin, dan Zad al-Muttawin fi at-Tauhid Rabb al-Alamin (Liaw Yock Fang, 2011:420—424). Pengembangan keilmuan dimana ulama menjadi patron para sultan ini terjadi pada masa Kemas Fakhruddin yang menjadi ulama istana pada masa pemerintahan Sultan Ahmad Najmuddin hingga tahun 1774 dan berlanjut pada masa Sultan Muhammad Bahauddin (1774—1804). Selain itu, faktor yang melatarbelakangi munculnya tradisi penulisan kitab-kitab keagamaan di Palembang adalah karena adanya kontak intelektual dan menjadi transmisi keilmuan yang terjadi antara para ulama Melayu-Indonesia dan para ulama di pusat dunia Islam, khususnya Makkah dan Haramayn, Madinah.

Selain menghasilkan kitab-kitab keagamaan, tradisi kesusasteraan di Palembang juga menghasilkan sejumlah genre sastra lain, seperti karya-karya kesejarahan, hikayat, syair, prosa, dan pantun. Adapun sastrawan yang dikenal dari Palembang antara lain, Ahmad bin Abdullah, Sultan Mahmud Badaruddin, dan Pangeran Panembahan Bupati (Iskandar via Mu’jizah, 2008:98). Beberapa karya yang telah diindentifikasi adalah Hikayat Palembang (Kiai Rangga Sayandita Ahmad bin Kiai Ngabehi Mastung), Silsilah Raja-Raja di dalam Negeri Palembang (Demang Muhyiddin), Cerita Negeri Palembang, Cerita daripada Aturan Raja-Raja di dalam Negeri Palembang, Hikayat Mahmud Badaruddin (Pangeran Tumenggung Kartamenggala), Syair Perang Menteng, Syair Melayu, Syair Residen de Brauw, Hikayat Dewa Raja Agus Melila, Hikayat Raja Babi, dan Hikayat Raja Budak. Adapun naskah-naskah tersebut kebanyakan disimpan sebagai koleksi Perpustakaan Nasional, Jakarta.

REFERENSI

Ahmad, A. Samad. 1979. Sulalatus Salatin (Sejarah Melayu). Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pelajaran Malaysia.
Liaw Yock Fang. 2011. Sejarah Kesusasteraan Melayu Klasik. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Mu’Jizah dan Oman Fathurahman. 2008. “Tempat-Tempat Perkembangan Sastra Melayu: Palembang”. Dalam Sastra Melayu Lintas Daerah. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.

Minggu, 27 September 2015

Hikayat Hang Tuah (Jilid I)

Berikut ini merupakan ringkasan cerita dari Hikayat Hang Tuah Jilid I yang saya ambil dari terjemahan Hikayat Hang Tuah yang dilakukan oleh Muhammad Haji Salleh (2013). Hikayat Hang Tuah ini merupakan kisah petualangan pahlawan Nusantara yang diceritakan secara sastrawi nan heroik. Seperti judulnya, hikayat ini memiliki tokoh utama yang bernama Hang Tuah, seorang pahlawan budaya yang tidak tertandingi dan telah menjadi teladan sosial dan moral bagi penduduk Melayu, Malaysia, Indonesia, Singapura, Thailand (selatan), dan Brunei selama berabad-abad lamanya. Hang Tuah menjadi lambang dari pengorbanan diri, pencapaian, patriotisme, dan lambang kelangsungan hidup masyarakat, baik generasi muda, maupun generasi tua.


.::Selamat membaca::.


Pada permulaan kisah, hikayat ini menelusuri asal usul dinasti kerajaan Palembang hingga ke raja-raja langit, yang merupakan asal silsilah para raja Melayu yang biasanya seringkali ditemukan pada cerita-cerita sastra klasik.


Kisah ini kemudian berlanjut pada pernikahan keturunan raja keinderaan—negeri surga—yang bernama Sang Sapurba dengan putri bumi yang cantik jelita dan merupakan putri seorang raja yang agung, Ratna Kemala Pelinggam—yang putra mereka kemudian menikahi gadis yang lahir dari muntahan sapi suci. Mereka lalu dinobatkan menjadi raja dan ratu Bukit Seguntang, dan anak-anak mereka ditakdirkan menjadi raja-raja di Kepulauan Melayu. Setelah menobatkan dirinya sendiri sebagai seorang raja di Bukit Seguntang (Palembang), salah satu putra mereka menjadi Raja Bintan—sebuah pulau yang berada di timur Kepulauan Riau.


Hang Mahmud dan Dang Merdu—orang tua Hang Tuah—tinggal di Sungai Duyung—yang kemungkinan berada di Pulau Lingga, sebelah selatan Kepulauan Riau. Menjelang anak mereka lahir, Hang Mahmud bermimpi tentang sinar bulan yang lembut menerangi anaknya itu. Didorong oleh pertanda ini, mereka lalu pindah ke Bintan, dimana terdapat kerajaan yang telah mapan, dan Hang Mahmud menganggap akan lebih mudah mencari nafkah di tempat itu.


Dari tempat itulah, ketika Hang Tuah berusia sepuluh tahun, dia bersama keempat temannya yaitu Jebat, Kasturi, Lekir, dan Lekiu, berlayar dengan sampan kecil menuju utara Singapura. Selama perjalanan, mereka dikejar oleh bajak laut. Namun, dengan menggunakan strategi yang cerdik, mereka mampu mengalahkan bajak laut tersebut. Pada kesempatan yang lain, Hang Tuah membunuh seorang pengacau, dan kemudian bersama sahabatnya, mereka membunuh empat orang pengacau lainnya yang berniat mencelakai Bendahara (Wazir atau Perdana Menteri). Kabar mengenai dua perbuatan berani itu lalu sampailah ke telinga Sultan yang baru dan meminta Bendahara untuk menjadikan kelimanya sebagai pesuruh di istananya.


Kelima sahabat itu datang ke kerajaan ketika kerajaan masih dalam kondisi berjuang untuk membangun istana dan kerajaan yang stabil, dan melakukan perdagangan dengan kerajaan lain untuk meningkatkan ekonomi kerajaan.


Dengan ditemani oleh keempat temannya, Tuah belajar seni bela diri dan ilmu sihir kepada Aria Putra, seorang guru terkenal.


Tuah digambarkan sebagai seorang pemuda cakap yang menguasai dua belas bahasa diusianya yang masih sangat muda—hal ini karena penulis hikayat mempersiapkan dia sebagai pahlawan dari negara maritim yang letaknya strategis dalam perdagangan internasional yang jalurnya melalui Selat Malaka.


Karena Raja sedang mencari tempat yang lebih strategis untuk kerajaan di semenanjung tersebut, maka dikirimlah sebuah ekspedisi. Ekspedisi itu kemudian menemukan tempat yang baik, dimana seekor kancil dengan beraninya menyerang dan mengalahkan seekor anjing pemburu di dekat sebuah pohon ‘Malaka’. Istana dan benteng kemudian dibangun mengelilingi pulau. Dan karena lokasinya bagus, Malaka dengan cepat berkembang menjadi kerajaan dan pelabuhan yang maju pesat.


Kini Hang Tuah telah menjadi seorang pemuda kesayangan Sultan. Ia pun dikirim ke Majapahit—yang merupakan kerajaan terhebat di Asia Tenggara pada saat itu—sebagai wakil Sultan untuk menikahi putri Betara yang bernama Raden Galuh Cendera Kirana. Keberanian, kedisiplinan, dan kesantunan Hang Tuah dalam pergaulan kemudian diuji, dan dia berhasil melewati semua ujian tersebut dengan sangat baik. Ketika dia kembali lagi ke Majapahit untuk mengawal Raja guna melakukan upacara pernikahan, tantangan yang dihadapinya justru menjadi lebih berat dan sulit untuk ditaklukan. Dia dan para sahabatnya diserang oleh para pengacau yang memperdaya mereka dengan berbagai macam cara. Namun Hang Tuah dan sahabat-sahabatnya menang.


Ditengah hingar-bingar dan kegembiraan pesta pernikahan, Hang Tuah dan sahabat-sahabatnya melarikan diri ke pegunungan untuk belajar dengan Sang Persata Nala, yang sangat terkenal kemampuan seni bela diri dan sihirnya.


Selama perjalanan menuju Majapahit ini, Hang Tuah juga mampu mengalahkan seorang kesatria pengembara bernama Taming Sari—yang diutus oleh Patih Gadjah Mada untuk membunuhnya—dan pada akhirnya Betara memberikan keris sakti Taming Sari kepada Hang Tuah.


Ketika mereka kembali ke Malaka, para pembesar kerajaan yang iri—karena Hang Tuah menjadi kesayangan Raja—di kerajaan merencanakan sesuatu. Dikepalai oleh Patih Kerma Wijaya—menteri yang diasingkan dari Lasem di Jawa—para pembesar itu melaporkan kepada Raja bahwa mereka telah melihat Hang Tuah berbicara dengan selir kesayangan Raja. Nuansa perselingkuhan di kerajaan merupakan tindakan pengkhianatan di dalam istana dewaraja ini, dan hal itu menyebabkan Raja menjadi sangat murka.


Terbakar amarah dan kekecewaan, serta tanpa melakukan penyelidikan terlebih dahulu terhadap tuduhan tersebut, Raja memerintahkan Bendahara untuk menyingkirkan Hang Tuah dari Malaka, dengan kata lain membunuhnya. Namun Bendahara merupakan menteri yang bijaksana yang dapat melihat rencana jahat tersebut. Oleh karena itu, dia meminta agar terdakwa diperbolehkan pergi menuju Inderapura untuk meminta perlindungan di sana. Bendahara melakukan hal ini semata-mata untuk merencanakan beberapa cara untuk mengembalikan kepercayaan Raja kepada Hang Tuah. Dengan menggunakan perpaduan antara tipu-muslihat dan ramuan cinta, Hang Tuah mampu membawa pulang Tun Teja yang cantik untuk menemui Rajanya, serta mendapatkan kembali kepercayaan dan kemurahan hati Raja.


Para pembesar yang iri kemudian kembali merencanakan rencana jahat lain yang juga bernuansa percintaan lagi. Mereka menyatakan bahwa telah menyaksikan Hang Tuah memiliki hubungan gelap dengan wanita di Istana.


Hang Tuah dihukum mati lagi. Kali ini Bendahara menyembunyikannya di kebun buah-buahan miliknya, jauh dari pengawasan orang-orang Malaka. Hang Jebat kemudian ditunjuk menggantikan posisi Hang Tuah dan tak lama kemudian dia pun menjadi kesayangan Raja juga. Sementara itu, Jebat memanfaatkan kesempatan ini tidak hanya untuk meningkatkan martabatnya, namun juga untuk membalas kematian Tuah.


Jebat merebut istana beserta dayang-dayangnya, yang beberapa di antaranya merupakan kesayangan Raja. Di dalam istana feodal Melayu, hal ini dianggap sebagai sebuah pengkhianatan besar.


Raja memutuskan untuk meninggalkan istana yang ternoda tersebut. Dia merasa malu dan tak dihormati, sehingga dia menyesal telah membunuh Hang Tuah tanpa menyelidiki tuduhan pengecut dari para pembesar yang iri terlebih dahulu. Bendahara kembali menyelamatkan Raja dengan mengungkapkan bahwa dia tidak membunuh Tuah, namun menyembunyikannya di hulu Sungai Malaka. Maka Hang Tuah pun dipanggil pulang untuk menyingkirkan Jebat dari Malaka. Meskipun Jebat adalah teman dan sahabat terbaiknya, namun di mata Hang Tuah sekarang Jebat tidak lain merupakan seorang pengkhianat kerajaan. Inilah klimaks yang tragis dan menyedihkan dari cerita ini.


Ketika bertarung sebagai saudara dan teman, mereka mengetahui kewajiban mereka kepada Raja dan sahabat masing-masing, sehingga mereka berbicara, berdiskusi, dan berdebat. Di dalam benaknya, Tuah tahu bahwa dia harus membunuh Jebat. Namun Jebat juga tahu bahwa dia tidak akan terbunuh selama dia memiliki keris Taming Sari yang diberikan kepadanya setelah Hang Tuah dihukum mati. Oleh karena itu, untuk memperoleh keris itu kembali, Hang Tuah harus menipunya. Dia mencuri keris itu menggunakan cara yang kurang terhormat. Dengan memiliki keris itu, Hang Tuah dapat melukai Jebat dengan meninggalkannya berdarah-darah hingga mati. Dengan darah yang terus mengalir keluar, Jebat membunuh ribuan orang untuk membalas dendam terhadap Sultan dan takdirnya.


Pada klimaks cerita ini, orang Melayu harus memilih antara pencari keadilan yang setia dan tabah, dan pemberontak yang menginginkan keadilan. Di satu sisi, mereka berdua hanya mewakili dua sisi kepribadian dan karakter orang Melayu yang merupakan abdi yang setia serta pemberontak.


Setelah kematian Jebat yang tragis, Malaka menjadi stabil. Pedagang dan santri dari seluruh dunia menjejali pelabuhan itu. Berbagai isi dari istana lain diterima. Untuk membalas kunjungan diplomatik, maka Hang Tuah diangkat sebagai utusan ke istana Keling dan Cina.


.::Jilid I selesai::.


Sumber pustaka:


Salleh, Muhammad Haji. 2013. Hikayat Hang Tuah Jilid I. Jakarta: Ufuk Publishing House

Selasa, 17 Maret 2015

Bahasa Dalam Hikayat

Sastra hikayat merupakan salah satu khazanah kekayaan kebudayaan Indonesia dalam aspek sastra. Sastra hikayat merupakan salah satu bukti rekaman sejarah bangsa Melayu. Memahami sastra hikayat sama seperti mengungkap lukisan kehidupan bangsa Melayu dari kurun waktu yang telah lalu. Dari hikayat kita bisa mempelajari banyak hal, unsur kesejarahan bahasa, nilai moral orang Melayu di jaman dulu, dan pola berpikir mereka. Imaji yang dituliskan di dalam sebuah hikayat tak lekang oleh waktu dan selalu mampu menghadirkan warna-warna indah yang mampu membuat pembacanya takjub. Sastra hikayat mengandung nilai keindahan tak terkira dan sudah sepatutnya keindahan itu untuk dijaga, dilestarikan, dan diperkenalkan ke generasi lebih muda agar sastra hikayat tidak lekang digerus arus globalisasi saat ini.

Naskah merupakan salah satu alat rekam perkembangan bahasa. Rekaman bahasa itu berupa hikayat, dan dari hikayat bisa diketahui bahasa-bahasa yang telah berpengaruh di jaman hikayat tersebut dituliskan. Sebagai contoh Hikayat Malim Deman yang bahasanya telah dipengaruhi oleh beberapa bahasa dan tidak murni menggunakan bahasa Melayu. Berikut beberapa bahasa yang telah dipadupadankan dengan bahasa Melayu yang digunakan di Hikayat Malim Deman:
Pengaruh bahasa Arab
Pengaruh bahasa Arab tidak lepas dengan pengaruh Islam yang masuk ke wilayah Nusantara. Hal itu berpengaruh juga kepada penulisan Hikayat Malim Deman. Di awal cerita telah menggunakan kata pembuka dalam bahasa Arab. Selain itu, tidak sedikit kalimat tasbih dan lafadz Allah disebut di dalam hikayat tersebut. Sebagai contoh kutipan di bawah ini:
                        WA-BIHI NASTA’INU BI’LLAHI. Ini-lah warita orang dahulu-kala;
Pengaruh India
Pengaruh India di kebudayaan Melayu telah berlangsung sejak lama. Pengaruh tersebut bisa didapati di segala aspek kehidupan bangsa Melayu, tidak terkecuali bahasa. Penggunaan kata-kata Sansekerta, Tamil, Hindi, dan sebagainya telah banyak ditemukan di hikayat. Penggunaan kata-kata itu pun juga ditemukan di Hikayat Malim Deman.
Al-kisah, maka tersebut-lah konon sa-buah negeri bernama Bandar Muar, rajanya bernama Tuanku Gombang Malim Dewa, isteri-nya Tuan Puteri Lindongan Bulan.
Pengaruh Persi
Masuknya pengaruh agama Islam ke wilayah Nusantara tidak saja membawa kebudayaan Arab, namun masuk juga pengaruh Persi dalam bahasa Hikayat sebagian besar ditemukan di bidang kosa kata. Salah satu contoh penggunaannya di Hikayat Malim Deman adalah:
Mulut-nya meniup serunai.

Gaya bahasa yang digunakan di dalam hikayat juga menjadi alat yang pokok bagi pencipta karya dalam menggambarkan maksudnya di dalam karya-karyanya. Setiap pengarang bisa memakai bermacam-macam cara dalam menyatakan gubahannya. Dalam Hikayat Malim Deman, terdapat beberapa gaya bahasa yang digunakan oleh pengarangnya. Yaitu:

Paralelisme, yaitu kebiasaan mengulang-ulang cerita, lukisan cerita serta peristiwa-peristiwanya, bentuk penceritaan yang berulang. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan penegasan. Sebagai contoh kalimat di bawah ini:

Tempat jin yang banyak,
Tempat shaitan yang banyak ;
Repetisi, adalah gaya mengulang beberapa kata atau perkataan yang sudah disebutkan untuk memberi perhatian yang besar terhadap hal yang diulang. Sebagai contoh kalimat di bawah ini:
Sa-kali di-gosok-nya,
Dua tiga panau terchelek ;
Sa-kali di-gosok-nya,
Tiga empat panau terchelek ;
Metafora, yaitu gaya bercerita dengan memberikan perbandingan hal lain yang memiliki sifat yang sama. 
Maka Tuan Puteri Bungsu pun lalu-lah menangis terlalu amat sangat, ayer mata-nya seperti mutiara yang putus dari karangan-nya seraya bertanya pula, ‘Ayo-hai bapa, orang pengail, dengan sunggoh-nya kata-lah adakah menengok kain tadi.’

REFERENSI
Ana, Pawang dan Raja Haji Yahya. 1976. Hikayat Malim Deman. Kuala Lumpur: Fajar Bakti
SDN
Baried, St. Baroroh dkk. 1985. Memahami Hikayat Dalam Sastra Indonesia. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan.

Rabu, 11 Maret 2015

Keindahan Dan Motif Hikayat Malim Deman


Salah satu fungsi karya sastra adalah menghibur. Karena itulah, karya sastra yang diciptakan untuk menghibur harus memiliki sifat menggoda reaksi pembaca, sentimental, stereotip, dan yang terpenting dalam karya sastra tersebut adalah keindahan di dalamnya. Keindahan sebuah karya sastra tercermin di dalam sistem imaji maupun susunan kata-katanya.

Menurut Klinkert (1947:77), kata ‘indah’ memiliki arti bagus, berharga, menarik, tidak biasa, aneh, penting, dan sangat bagus. Kata ‘indah’ berhubungan dengan sifat objek yang dinyatakan secara visual, audibel, taktikel, dan olfaktori. Kata tersebut juga berhubungan dengan sifat-sifat imanen yang dimiliki oleh ke-indahan itu sendiri, yaitu sesuatu yang luar biasa yang dapat membangkitkan heran, takjub, dan tamasya.

Motif adalah istilah yang digunakan untuk melukiskan karakter, peristiwa, atau konsep yang sering diulang-ulang, yang ada dalam cerita rakyat atau kesusastraan (Abrams, 1966). Berpijak dari adanya unsur yang telah disebutkan di pengertian tersebut, akan dibicarakan motif-motif apa saja yang dapat dijumpai di perhelatan perkawinan dalam memahami Hikayat Malim Deman. Motif-motif itulah yang kemudian menjadi salah satu unsur keindahan di dalam Hikayat Malim Deman.
 
              Hikayat Malim Deman diciptakan oleh pengarang anonim. Tokoh utama yang ada di Hikayat ini dan merupakan fokus pentingnya adalah Malim Deman dan Putri Bungsu. Sosok Malim Deman digambarkan sebagai seorang tokoh yang rupawan, pandai, berbudi pekerti baik, dan mahir berkesenian. Namun, ketika kedua orang tuanya meninggal dan dia diangkat menjadi raja, dia menjadi seorang yang suka berjudi dan lalai pada tugasnya. Hal itu menyebabkan Putri Bungsu mashgul hatinya dan meninggalkan Malim Deman sebelum akhirnya dia menyadari kesalahannya dan kembali menjadi orang yang seperti diamanatkan oleh kedua orang tuanya. Putri Bungsu adalah istri dari Malim Deman dan merupakan salah satu putri raja di kayangan yang memiliki kecantikan luar biasa dan sangat mencintai Malim Deman.

        Jika menggunakan macam-macam sudut pandang pencerita menurut Saleh, maka dalam penceritaan Hikayat Malim Deman, sudut tinjauan yang digunakan adalah pengarang menjadi seorang pengamat, yang menuturkan ceritanya dari luar sebagai seorang observer.
Hikayat Malim Deman bertempat di sebuah negeri imaji yang bernama negeri Bandar Muar. Selain di negeri itu, ada dua tempat lagi yang sering disebut di dalam hikayat ini, yaitu di rumah Nenek Kebayan yang berada di hulu negeri Bandar Muar, dan kahyangan yang menjadi tempat asal Putri Bungsu.
Medan-nya indah bukan kepalang,
Rantau-nya luas bagai di-bentang,
Tebing-nya tinggi bagai di-raut,
Pasir-nya serong bentok taji,
Batu-nya ada besar dan kechil,
Yang kechil pelontar balam,
Jika untong kena ka-balam,
Jikalau tidak kena ka-tanah;
Menderu selawat ibu ayam,
Elang di-sambar punai tanah.

Fakta Cerita Di Dalam Hikayat Malim Deman

Setiap cerita harus dan pasti memiliki tema atau dasar. Tema merupakan bagian yang sangat penting dalam penyusunan cerita, karena jika suatu cerita tidak memiliki dasar pijakan, cerita tersebut tidak akan memiliki arti sama sekali alias tidak berguna. Tema yang menjadi dasar cerita hikayat ini adalah kepahlawanan Malim Deman. Hal itu bisa diketahui di kutipan berikut ini:
Maka Tuanku Malim Deman pun melangkah berangkat turun dari anjong perak, di-iringkan oleh Bujang Selamat dan Si-Kumbang dengan segala orang besar2, ra’yat tentera, terlalu amat ramai-nya menuju ka-hulu Bandar Muar ;
Tempat jin yang banyak,
Tempat shaitan yang banyak;
Masok hutan keluar hutan,
Masok padang keluar padang,
Masok rimba keluar rimba;
Bertemu changkat di-daki-nya,
Bertemu lurah sama di-turuni,
Habis hari berganti hari,
Habis malam berganti malam,
Habis bulan berganti bulan,
Habis tahun berganti tahun;
Bukan menchari buruan,
Gajah di-jumpa tiada di-tembak,
Rusa di-jumpa tiada di-kejar,
Badak di-jumpa tiada di-turut,
Selain tema kepahlawanan, Hikayat Malim Deman juga mengangkat tema percintaan. Dari kedua tema tersebut, dapat kemukakan masalah-masalah yang dapat disebutkan secara tradisonal. Masalah dalam Hikayat Malim Deman tersebut adalah:
(1)   Mimpi yang menjadi awal mula petualangan Malim Deman dalam mencari cintanya.
(2)   Pelanggaran janji karena lupa pada amanah dan kewajiban sebagai seorang suami dan pemimpin negeri.
(3)   Perjuangan merebut kembali yang tercinta.
     
            Dari masalah-masalah yang telah disebutkan di atas, maka terbentuklah sebuah alur yang memiliki berbagai motif-motif yang kurang lebih mirip seperti motif-motif yang bisa ditemukan di hikayat-hikayat Melayu lainnya. 
                  
            Motif perjodohan/perkawinan
Bermula dari sebuah mimpi yang kemudian menjadi awal mula petualangan Malim Deman dalam mencari Putri Bungsu. Malim Deman, yang merupakan keturunan raja besar, rupawan, dan diberi karunia ilmu yang lebih tinggi dari yang lain, dinikahkan dengan Putri Bungsu yang merupakan putri bungsu seorang raja di kahyangan. Putri Bungsu digambarkan sebagai wanita tercantik yang tiada tandingannya di dunia.

            Motif sayembara
Dalam Hikayat Malim Deman, Putri Bungsu melakukan syarat bahwa siapapun yang menemukan cincin yang telah ditalikan dengan sehelai rambutnya akan menjadi suaminya. Cincin itupun dihanyutkan di sungai yang kemudian ditemukan oleh Malim Deman.

            Motif pelanggaran janji
Ketika Malim Deman dan Putri Bungsu akhirnya telah menjadi suami-istri, dan diangkat menjadi raja Bandar Muar, Malim Deman dikisahkan menjadi seorang yang suka berjudi dan main perempuan. Bahkan dia melupakan kewajibannya sebagai seorang suami saat Putri Bungsu telah hamil tua. Hal itulah yang menyebabkan Putri Bungsu meninggalkannya. 

Motif poligami
Di akhir cerita, Malim Deman menjadikan Putri Terus Mata sebagai istri keduanya karena janjinya terhadap Raja jin Islam yang telah membantunya dalam usahanya menemui Putri Bungsu. 


KEINDAHAN PERKAWINAN DALAM HIKAYAT MALIM DEMAN


Keindahan perkawinan di dalam Hikayat Malim Deman tidak luput dari penggunaan motif-motif dan gaya bahasa paralelisme. Motif yang sering ditemukan di dalam hikayat adalah bahwa seorang pangeran yang berasal dari keturunan baik-baik, memiliki rupa yang menawan, dan berilmu selalu mendapatkan pasangan seorang yang berasal dari keturunan baik-baik pula, serta memiliki wajah yang tak kalah cantiknya.
Karena kedua mempelai berasal dari keturunan baik-baik dan putra-putri seorang raja, maka sudah menjadi hal yang biasa jika perkawinan mereka dilangsungkan dengan cara yang tidak biasa dan bahkan mengikut sertakan para dewa.
Tuanku Malim Deman pun pergi-lah ka-taman bersiram lalu kembali ka-rumah Nenek Kebayan. Maka Tuan Puteri Bungsu dengan Nenek Kebayan pun bangun lalu bersiram juga ; lepas bersiram kembali ka-rumah itu. Maka Nenek Kebayan pun bersiap-lah betapa adat kawin anak raja besar2 juga di-atas kadar-nya. Maka di-persilakan si-raja dewa Tuanku Betara Guru menikahkan Tuanku Malim Deman dengan Tuan Puteri Bungsu serta raja mambang sekalian. Maka berjamu-lah Nenek Kebayan akan raja2 itu, lepas santap masing2 kembali ka-keyangan.
Selain itu, pesta besar-besaran pun dilakukan meskipun persiapannya memerlukan waktu berbulan-bulan. Pesta pernikahan tersebut melibatkan seluruh golongan masyarakat.
Telah genap sa-bulan, maka anakanda kedua laki-isteri pun di-naikkan oleh baginda dengan orang besar2 ka-atas mongkor, tujoh kali berarak berkeliling kota istana, kemudian lalu di-siramkan di-atas balai panchapersada naga berjuang ; baginda kedua laki-isteri menyiramkan anakanda kedua laki-isteri dengan ayer tolak bala dan do’a selamat. Telah bersiram itu, maka baginda pun berangkatlah membawa perarakan anakanda baginda kembali ka-istana, di-iringkan oleh orang besar2, ra’yat hina dina sekalian-nya. Maka baginda pun bertitah menyurohkan jamu raja2 dan orang besar2, ra’yat hina dina sekalian serta orang yang ta’lok jajahan. Maka hidangan pun beribu-ribu di-ator-lah oleh bentara. Maka bentara pun berseru-lah dengan nyaring suara-nya, mengatakan, ‘Silakan sekalian, inilah ayapan yang telah di-karuniai oleh baginda melepaskan nazar putera-nya.’
REFERENSI:
Ana, Pawang dan Raja Haji Yahya. 1976. Hikayat Malim Deman. Kuala Lumpur: Fajar Bakti
SDN
Baried, St. Baroroh dkk. 1985. Memahami Hikayat Dalam Sastra Indonesia. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan.