Tampilkan postingan dengan label Melayu. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Melayu. Tampilkan semua postingan

Minggu, 20 Agustus 2017

Palembang dalam Dunia Kesusasteraan Melayu Klasik

Kota Palembang disebut di dalam hikayat Sulalatus Salatin. Bukit Si Guntang dikisahkan menjadi tempat turunnya tiga anak Raja Suran keturunan Iskandar Zulkarnain dari sebuah negeri di dalam laut. Tiga anak Raja Suran ini bernama Nila Pahlawan, Krisyna Pandita, dan Nila Utama yang konon merupakan nenek moyang orang Melayu. Berdasarkan hikayat Sulalatus Salatin, Nila Pahlawan diangkat anak oleh Demang Lebar Daun, diminta oleh Patih Suatang dan diangkatlah ia menjadi raja di Minangkabau. Krisyna Pandita juga menjadi raja di Tanjung Pura, sedangkan Nila Utama yang masih berada di Palembang dirawat oleh Demang Lebar Daun dan menjadi raja yang bergelar Sri Tri Buana.

Menurut kesejarahan perkembangan sastra Melayu di Palembang, ada dugaan bahwa munculnya tradisi kesusasteraan di Palembang telah muncul sebelum masa Islam (abad ke-15 M), namun sejauh menyangkut kesusastreaannya, Palembang mengalami masa keemasannya setelah Islam datang (Mu’jizah dan Fathurrahman, 2008:95). Palembang merupakan salah satu pusat tumbuh suburnya berbagai pengetahuan keislaman di Dunia Melayu-Indonesia, baik yang berkaitan dengan sastra maupun agama. Beberapa naskah keagamaan banyak menyebutkan asal-usulnya berasal dari wilayah Palembang, baik ditulis maupun hanya diterjemahkan di Palembang. Umumnya berbagai karangan dan terjemahan yang dijumpai tersebut berasal dari periode pertengahan abad ke-18 hingga awal abad ke-19.

Pada awal abad ke-17, Kesultanan Palembang memberikan minat khusus pada bidang keagamaan dan hal ini mendorong tumbuhnya pengetahuan dan iklim keilmuan sehingga menjadi faktor penyebab mengaa Palembang menjadi salah satu pusat kebudayaan Islam di dunia Melayu (Azra via Mu’jizah, 2008:96). Para Sultan Palembang banyak menjadikan tokoh-tokoh agama sebagai patron keilmuan mereka dan menjadi sebuah gejala umum yang bisa terjadi sehingga pada gilirannya para Sultan yang berkuasa tersebut memberikan kontribusi atas terciptanya atmosfir keilmuan di wilayah Palembang. Antara abad ke-18 dan 19, Palembang telah melahirkan sejumlah ulama penting yang dalam hal penulisan naskah-naskah dan kitab-kitab keagamaan tergolong produktif di zamannya, seperti Syihabuddin bin Abdullah Muhammad, Muhammad Muhyiddin bin Syihabuddin, Kemas Fakhruddin, dan Muhammad Ma’ruf bin Abdullah Khatib Palembang. Selain itu ada pula Syaikh Abdussamad al-Palimbani yang cukup berpengaruh dengan karyanya antara lain Ratib Samman, Zuhrat al-Murid fi Bayan Kalimat at-Tauhid, Hidayat as-Salikin fi Suluk Maslak al-Muttaqin, Sair as-Solikin ila ‘Ibadat Rabb al-Alamin, Tuhfat ar-Ragibin, dan Zad al-Muttawin fi at-Tauhid Rabb al-Alamin (Liaw Yock Fang, 2011:420—424). Pengembangan keilmuan dimana ulama menjadi patron para sultan ini terjadi pada masa Kemas Fakhruddin yang menjadi ulama istana pada masa pemerintahan Sultan Ahmad Najmuddin hingga tahun 1774 dan berlanjut pada masa Sultan Muhammad Bahauddin (1774—1804). Selain itu, faktor yang melatarbelakangi munculnya tradisi penulisan kitab-kitab keagamaan di Palembang adalah karena adanya kontak intelektual dan menjadi transmisi keilmuan yang terjadi antara para ulama Melayu-Indonesia dan para ulama di pusat dunia Islam, khususnya Makkah dan Haramayn, Madinah.

Selain menghasilkan kitab-kitab keagamaan, tradisi kesusasteraan di Palembang juga menghasilkan sejumlah genre sastra lain, seperti karya-karya kesejarahan, hikayat, syair, prosa, dan pantun. Adapun sastrawan yang dikenal dari Palembang antara lain, Ahmad bin Abdullah, Sultan Mahmud Badaruddin, dan Pangeran Panembahan Bupati (Iskandar via Mu’jizah, 2008:98). Beberapa karya yang telah diindentifikasi adalah Hikayat Palembang (Kiai Rangga Sayandita Ahmad bin Kiai Ngabehi Mastung), Silsilah Raja-Raja di dalam Negeri Palembang (Demang Muhyiddin), Cerita Negeri Palembang, Cerita daripada Aturan Raja-Raja di dalam Negeri Palembang, Hikayat Mahmud Badaruddin (Pangeran Tumenggung Kartamenggala), Syair Perang Menteng, Syair Melayu, Syair Residen de Brauw, Hikayat Dewa Raja Agus Melila, Hikayat Raja Babi, dan Hikayat Raja Budak. Adapun naskah-naskah tersebut kebanyakan disimpan sebagai koleksi Perpustakaan Nasional, Jakarta.

REFERENSI

Ahmad, A. Samad. 1979. Sulalatus Salatin (Sejarah Melayu). Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pelajaran Malaysia.
Liaw Yock Fang. 2011. Sejarah Kesusasteraan Melayu Klasik. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Mu’Jizah dan Oman Fathurahman. 2008. “Tempat-Tempat Perkembangan Sastra Melayu: Palembang”. Dalam Sastra Melayu Lintas Daerah. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.

Minggu, 27 September 2015

Hikayat Hang Tuah (Jilid I)

Berikut ini merupakan ringkasan cerita dari Hikayat Hang Tuah Jilid I yang saya ambil dari terjemahan Hikayat Hang Tuah yang dilakukan oleh Muhammad Haji Salleh (2013). Hikayat Hang Tuah ini merupakan kisah petualangan pahlawan Nusantara yang diceritakan secara sastrawi nan heroik. Seperti judulnya, hikayat ini memiliki tokoh utama yang bernama Hang Tuah, seorang pahlawan budaya yang tidak tertandingi dan telah menjadi teladan sosial dan moral bagi penduduk Melayu, Malaysia, Indonesia, Singapura, Thailand (selatan), dan Brunei selama berabad-abad lamanya. Hang Tuah menjadi lambang dari pengorbanan diri, pencapaian, patriotisme, dan lambang kelangsungan hidup masyarakat, baik generasi muda, maupun generasi tua.


.::Selamat membaca::.


Pada permulaan kisah, hikayat ini menelusuri asal usul dinasti kerajaan Palembang hingga ke raja-raja langit, yang merupakan asal silsilah para raja Melayu yang biasanya seringkali ditemukan pada cerita-cerita sastra klasik.


Kisah ini kemudian berlanjut pada pernikahan keturunan raja keinderaan—negeri surga—yang bernama Sang Sapurba dengan putri bumi yang cantik jelita dan merupakan putri seorang raja yang agung, Ratna Kemala Pelinggam—yang putra mereka kemudian menikahi gadis yang lahir dari muntahan sapi suci. Mereka lalu dinobatkan menjadi raja dan ratu Bukit Seguntang, dan anak-anak mereka ditakdirkan menjadi raja-raja di Kepulauan Melayu. Setelah menobatkan dirinya sendiri sebagai seorang raja di Bukit Seguntang (Palembang), salah satu putra mereka menjadi Raja Bintan—sebuah pulau yang berada di timur Kepulauan Riau.


Hang Mahmud dan Dang Merdu—orang tua Hang Tuah—tinggal di Sungai Duyung—yang kemungkinan berada di Pulau Lingga, sebelah selatan Kepulauan Riau. Menjelang anak mereka lahir, Hang Mahmud bermimpi tentang sinar bulan yang lembut menerangi anaknya itu. Didorong oleh pertanda ini, mereka lalu pindah ke Bintan, dimana terdapat kerajaan yang telah mapan, dan Hang Mahmud menganggap akan lebih mudah mencari nafkah di tempat itu.


Dari tempat itulah, ketika Hang Tuah berusia sepuluh tahun, dia bersama keempat temannya yaitu Jebat, Kasturi, Lekir, dan Lekiu, berlayar dengan sampan kecil menuju utara Singapura. Selama perjalanan, mereka dikejar oleh bajak laut. Namun, dengan menggunakan strategi yang cerdik, mereka mampu mengalahkan bajak laut tersebut. Pada kesempatan yang lain, Hang Tuah membunuh seorang pengacau, dan kemudian bersama sahabatnya, mereka membunuh empat orang pengacau lainnya yang berniat mencelakai Bendahara (Wazir atau Perdana Menteri). Kabar mengenai dua perbuatan berani itu lalu sampailah ke telinga Sultan yang baru dan meminta Bendahara untuk menjadikan kelimanya sebagai pesuruh di istananya.


Kelima sahabat itu datang ke kerajaan ketika kerajaan masih dalam kondisi berjuang untuk membangun istana dan kerajaan yang stabil, dan melakukan perdagangan dengan kerajaan lain untuk meningkatkan ekonomi kerajaan.


Dengan ditemani oleh keempat temannya, Tuah belajar seni bela diri dan ilmu sihir kepada Aria Putra, seorang guru terkenal.


Tuah digambarkan sebagai seorang pemuda cakap yang menguasai dua belas bahasa diusianya yang masih sangat muda—hal ini karena penulis hikayat mempersiapkan dia sebagai pahlawan dari negara maritim yang letaknya strategis dalam perdagangan internasional yang jalurnya melalui Selat Malaka.


Karena Raja sedang mencari tempat yang lebih strategis untuk kerajaan di semenanjung tersebut, maka dikirimlah sebuah ekspedisi. Ekspedisi itu kemudian menemukan tempat yang baik, dimana seekor kancil dengan beraninya menyerang dan mengalahkan seekor anjing pemburu di dekat sebuah pohon ‘Malaka’. Istana dan benteng kemudian dibangun mengelilingi pulau. Dan karena lokasinya bagus, Malaka dengan cepat berkembang menjadi kerajaan dan pelabuhan yang maju pesat.


Kini Hang Tuah telah menjadi seorang pemuda kesayangan Sultan. Ia pun dikirim ke Majapahit—yang merupakan kerajaan terhebat di Asia Tenggara pada saat itu—sebagai wakil Sultan untuk menikahi putri Betara yang bernama Raden Galuh Cendera Kirana. Keberanian, kedisiplinan, dan kesantunan Hang Tuah dalam pergaulan kemudian diuji, dan dia berhasil melewati semua ujian tersebut dengan sangat baik. Ketika dia kembali lagi ke Majapahit untuk mengawal Raja guna melakukan upacara pernikahan, tantangan yang dihadapinya justru menjadi lebih berat dan sulit untuk ditaklukan. Dia dan para sahabatnya diserang oleh para pengacau yang memperdaya mereka dengan berbagai macam cara. Namun Hang Tuah dan sahabat-sahabatnya menang.


Ditengah hingar-bingar dan kegembiraan pesta pernikahan, Hang Tuah dan sahabat-sahabatnya melarikan diri ke pegunungan untuk belajar dengan Sang Persata Nala, yang sangat terkenal kemampuan seni bela diri dan sihirnya.


Selama perjalanan menuju Majapahit ini, Hang Tuah juga mampu mengalahkan seorang kesatria pengembara bernama Taming Sari—yang diutus oleh Patih Gadjah Mada untuk membunuhnya—dan pada akhirnya Betara memberikan keris sakti Taming Sari kepada Hang Tuah.


Ketika mereka kembali ke Malaka, para pembesar kerajaan yang iri—karena Hang Tuah menjadi kesayangan Raja—di kerajaan merencanakan sesuatu. Dikepalai oleh Patih Kerma Wijaya—menteri yang diasingkan dari Lasem di Jawa—para pembesar itu melaporkan kepada Raja bahwa mereka telah melihat Hang Tuah berbicara dengan selir kesayangan Raja. Nuansa perselingkuhan di kerajaan merupakan tindakan pengkhianatan di dalam istana dewaraja ini, dan hal itu menyebabkan Raja menjadi sangat murka.


Terbakar amarah dan kekecewaan, serta tanpa melakukan penyelidikan terlebih dahulu terhadap tuduhan tersebut, Raja memerintahkan Bendahara untuk menyingkirkan Hang Tuah dari Malaka, dengan kata lain membunuhnya. Namun Bendahara merupakan menteri yang bijaksana yang dapat melihat rencana jahat tersebut. Oleh karena itu, dia meminta agar terdakwa diperbolehkan pergi menuju Inderapura untuk meminta perlindungan di sana. Bendahara melakukan hal ini semata-mata untuk merencanakan beberapa cara untuk mengembalikan kepercayaan Raja kepada Hang Tuah. Dengan menggunakan perpaduan antara tipu-muslihat dan ramuan cinta, Hang Tuah mampu membawa pulang Tun Teja yang cantik untuk menemui Rajanya, serta mendapatkan kembali kepercayaan dan kemurahan hati Raja.


Para pembesar yang iri kemudian kembali merencanakan rencana jahat lain yang juga bernuansa percintaan lagi. Mereka menyatakan bahwa telah menyaksikan Hang Tuah memiliki hubungan gelap dengan wanita di Istana.


Hang Tuah dihukum mati lagi. Kali ini Bendahara menyembunyikannya di kebun buah-buahan miliknya, jauh dari pengawasan orang-orang Malaka. Hang Jebat kemudian ditunjuk menggantikan posisi Hang Tuah dan tak lama kemudian dia pun menjadi kesayangan Raja juga. Sementara itu, Jebat memanfaatkan kesempatan ini tidak hanya untuk meningkatkan martabatnya, namun juga untuk membalas kematian Tuah.


Jebat merebut istana beserta dayang-dayangnya, yang beberapa di antaranya merupakan kesayangan Raja. Di dalam istana feodal Melayu, hal ini dianggap sebagai sebuah pengkhianatan besar.


Raja memutuskan untuk meninggalkan istana yang ternoda tersebut. Dia merasa malu dan tak dihormati, sehingga dia menyesal telah membunuh Hang Tuah tanpa menyelidiki tuduhan pengecut dari para pembesar yang iri terlebih dahulu. Bendahara kembali menyelamatkan Raja dengan mengungkapkan bahwa dia tidak membunuh Tuah, namun menyembunyikannya di hulu Sungai Malaka. Maka Hang Tuah pun dipanggil pulang untuk menyingkirkan Jebat dari Malaka. Meskipun Jebat adalah teman dan sahabat terbaiknya, namun di mata Hang Tuah sekarang Jebat tidak lain merupakan seorang pengkhianat kerajaan. Inilah klimaks yang tragis dan menyedihkan dari cerita ini.


Ketika bertarung sebagai saudara dan teman, mereka mengetahui kewajiban mereka kepada Raja dan sahabat masing-masing, sehingga mereka berbicara, berdiskusi, dan berdebat. Di dalam benaknya, Tuah tahu bahwa dia harus membunuh Jebat. Namun Jebat juga tahu bahwa dia tidak akan terbunuh selama dia memiliki keris Taming Sari yang diberikan kepadanya setelah Hang Tuah dihukum mati. Oleh karena itu, untuk memperoleh keris itu kembali, Hang Tuah harus menipunya. Dia mencuri keris itu menggunakan cara yang kurang terhormat. Dengan memiliki keris itu, Hang Tuah dapat melukai Jebat dengan meninggalkannya berdarah-darah hingga mati. Dengan darah yang terus mengalir keluar, Jebat membunuh ribuan orang untuk membalas dendam terhadap Sultan dan takdirnya.


Pada klimaks cerita ini, orang Melayu harus memilih antara pencari keadilan yang setia dan tabah, dan pemberontak yang menginginkan keadilan. Di satu sisi, mereka berdua hanya mewakili dua sisi kepribadian dan karakter orang Melayu yang merupakan abdi yang setia serta pemberontak.


Setelah kematian Jebat yang tragis, Malaka menjadi stabil. Pedagang dan santri dari seluruh dunia menjejali pelabuhan itu. Berbagai isi dari istana lain diterima. Untuk membalas kunjungan diplomatik, maka Hang Tuah diangkat sebagai utusan ke istana Keling dan Cina.


.::Jilid I selesai::.


Sumber pustaka:


Salleh, Muhammad Haji. 2013. Hikayat Hang Tuah Jilid I. Jakarta: Ufuk Publishing House

Rabu, 27 Agustus 2014

Legenda Kerajaan Pulau Halimun



Ya. Saya menulis salah satu dongeng aetiologis lagi. Cerita ini salah satu bagian dari Hikayat Saija’an dan Ikan Todak yang pernah saya baca buku cetaknya saat SMA dulu. Saya tidak tahu, apakah Hikayat ini memang benar-benar hikayat dan pernah disebutkan di dalam Hikayat Banjar dan Kotawaringin atau tidak karena sejauh yang saya baca, saya belum menemukan hikayat Saija’an ini di Hikayat Banjar dan Kotawaringin. Untuk sementara, kebenaran bahwa cerita ini adalah sebuah hikayat belum bisa saya pastikan dan masih saya pelajari. Namun yang jelas, dongeng ini adalah cerita rakyat Kabupaten Kotabaru yang mungkin saja hidup sejak jaman dulu dan wajib diketahui oleh putra-putri daerah.

Saya sendiri bukan putra-putri daerah tanah Saija’an, karena saya pernah tinggal di sana hanya tiga tahun. Pernah sekali saya membaca buku yang menarik perhatian saya, Hikayat Saija’an dan Ikan Todak ini, dan ceritanya terus menerus menempel di pikiran saya. Dan sejak pemilihan presiden 2014 lalu, ingatan itu secara tiba-tiba terus mencuat ke atas dan saya ingin membaca cerita itu lagi. Namun, saya tidak lagi berada di tanah Kotabaru. Pun, saya tak memiliki bukunya. Alhasil, saya harus  bergantung pada Go*gle. Setelah mencari-cari dengan susah payah (karena saya lupa judul buku pun ceritanya), akhirnya saya dapatkan jua. Berikut cerita Kerajaan Pulau Halimun, salah satu cerita rakyat yang ada di buku Hikayat Saija’an dan Ikan Todak. Sumber cerita dari Ambin Sayup. Diceritakan kembali oleh Clan Leader.

.
Legenda Kerajaan Pulau Halimun



Disebutlah sebuah kerajaan di Pulau Halimun, pulau yang terletak paling utara tanah luas Borneo. Kerajaan Pulau Halimun tersebut dipimpin oleh seorang raja yang bernama Raja Pakurindang, yang memiliki dua orang putera yang gagah perkasa dan tampan rupawan. Si sulung yang bernama Sambu Batung, dan yang bungsu diberi nama Sambu Ranjana.

Sambu Batung dan Sambu Ranjana memiliki sifat yang saling bertolak belakang satu sama lain, layaknya bumi dan langit. Sambu Batung amatlah lincah dan mudah bergaul. Kepribadian yang terbuka dan senang dengan hal-hal yang baru. Sangat berbeda dengan Sambu Ranjana yang justru sangat pendiam, tertutup, tidak suka bergaul dan keramaian, dan sangat apa adanya.

Selama Kerajaan Pulau Halimun dipimpin oleh Raja Pakurindang, seluruh rakyat di pulau tersebut hidup dengan rukun, makmur, aman, dan sentausa. Mereka suka bergotong royong dan selalu berbagi dalam kebersamaan. Kebutuhan sandang dan pangan mereka hasilkan sendiri. Hidup di satu pulau yang sama, tidak membuat mereka saling acuh tak acuh. Seluruh pulau saling mengenal tetangga rumahnya, tetangga desanya, dan seluruh penduduk pulau tersebut. Tidak ada rahasia di antara mereka, karena semuanya layaknya satu keluarga yang sama. Yang saling berbagi kebahagiaan, maupun kesedihan.

Namun meski begitu, rakyat Kerajaan Pulau Halimun ini tidak pernah sekalipun berhubungan dengan penduduk pulau lain yang berada di luar pulau. Tak pernah ada satupun orang asing yang berasal dari pulau yang berbeda datang ke pulau tersebut, karena jika dilihat dari lautan bebas, pulau tersebut memang tak nampak. Hilang diselimuti kabut. Nelayan yang berasal dari pulau-pulau lain hanya melintasinya karena takut tersesat di tengah-tengah halimun (kabut) tebal yang ada di tengah laut tersebut.

Disuatu hari, Raja Pakurindang bertitah kepada seluruh aparatnya untuk berkumpul di istana. Dia berkeinginan untuk menyampaikan hal yang sangat penting.

“Karena rakyat sudah hidup dengan sejahtera,” sabdanya, “dan aku kian tua jua, sudah saatnya aku meninggalkan istana. Aku akan bertapa.”

Panglima Ranggas Kanibungan bersembah sujud di depan raja mereka dan bertanya dengan nada sopan, “Paduka akan bertapa dimana?”

Konon, Panglima Ranggas Kanibungan ini memiliki tubuh yang tinggi dan besar sekali. Setiap kali ia melangkah, tanah bergetar hebat. Dia memiliki senjata berupa kapak raksasa yang beratnya sama seperti seekor kerbau jantan. Kapak tersebut disandang olehnya di bahu.

“Di pulau ini jua,” jawab Sang Raja. “Di puncak gunung yang diselimuti mega.”

“Ampun maaf, Paduka.” Sambu Luan, penasihat raja bertanya sambil mengusap-usap kumisnya, “Jika Paduka Tuanku tak ada, siapa yang akan bertakhta? Siapa yang akan menggantikan posisi Tuanku?”

Raja Pakurindang tersenyum tipis. Dia sudah mengira akan mendapatkan pertanyaan seperti itu. Ujarnya, “Putraku, Sambu Batung akan bertakhta dan menjalankan pemerintahan. Tentu saja dengan bantuan kalian, para panglimaku, para punggawaku.”

Semua orang terdiam. Raja Pakurindang kembali berkata, “Namun, meskipun aku tiada lagi bermukim di sini, bukan berarti diriku ini menghilang sama sekali. Dari puncak gunung tempatku bertapa, aku bisa memantau semuanya. Sekali waktu, aku akan memberikan petunjuk dalam bentuk isyarat dan tanda-tanda.”

“Apa yang harus kami lakukan, Ayahanda?” tanya Sambu Batung.

“Jadilah pemimpin yang adil dan bijaksana, Putraku. Rukunlah dengan Sambu Ranjana. Kalian harus memberikan tauladan yang baik, agar mampu menjadi panutan bagi semua orang yang ada di pulau ini. Bukankah sebelum mangkat dulu, mendiang ibu kalian telah mengajarkan hal tersebut?”

Sambu Batung dan Sambu Ranjana mengangguk, menandakan bahwa mereka berdua mengerti dan mengingat ajaran ibunda mereka.

Tak ada kata tawar menawar lagi. Jamba Angan, wakil panglima yang semula hendak bicara kemudian mengurungkan niatnya. Ia sadar, jikalau Raja Pakurindang telah meninggalkan balai persidangan dan masuk ke kamar istana untuk mempersiapkan keperluan terakhir sebelum bertapa, itu artinya tak ada lagi yang dapat dilakukan oleh siapapun untuk mencegahnya, termasuk Jamba Angan sendiri.

Padahal, masalah yang ingin dia sampaikan kepada Raja Pakurindang sangat penting sekali.

Sebagai orang yang telah berumur, matanya yang jeli tahu bahwa Putri Sewangi, anak kandungnya, sangat mencintai Sambu Batung. Namun, Raja Pakurindang justru menjodohkan putrinya tersebut dengan sang bungsu, Sambu Ranjana. Sambu Ranjana pun telah menaruh hatinya pada Putri Sewangi.

Jamba Angan juga tahu, bahwa diam-diam anak Panglima Ranggas Kanibungan yang bernama Putri Perak, yang dicintai oleh Sambu Batung, menyukai Sambu Ranjana. Wakil panglima tersebut mengetahui konflik cinta keempat muda-mudi tersebut, dan merasa khawatir pada keberlangsungan hubungan persaudaraan Sambu Batung dan Sambu Ranjana.

Demi menguraikan benang kusut tersebut, dan menghindarkan kemungkinan terjadinya aib di kalangan bangsawan istana, Jamba Angan pernah mengadakan pertemuan rahasia dengan Sambu Luan untuk meminta nasihat. Ia terdorong untuk melakukan hal itu karena berkaitan dengan nasib putrinya sendiri, Putri Sewangi.

Kepada Sambu Luan, Jamba Angan mengatakan bahwa ia sering mendengar kasak kusuk di kalangan pengawal bahwa secara sembunyi-sembunyi Sambu Batung sering memaksa untuk bertemu dengan Putri Perak, dan pernah menerobos masuk ke Taman Putri. Dan tak ada satupun para pengawal yang berani untuk mengahalanginya.

Pada pertemuan rahasia di tengah malam itu, Jamba Angan tidak mendapat nasihat apa pun dari Sambu Luan. Sambu Luan seakan dihadapkan pada persoalan yang tak dapat dipecahkan oleh siapapun. Setelah mengusap-usap kumisnya yang beruban dan berpikir sekian lama, penasihat kerajaan itu mengangkat bahunya, ia tak bisa berbuat apa-apa.

Di keesokan harinya, seluruh aparat Kerajaan Pulau Halimun melepas keberangkatan Raja Pakurindang. Tetapi, iring-iringan kereta kencana dan prajurit berkuda itu hanya sampai di kaki gunung karena tak ada yang berani mendaki. Hal itu disebabkan karena gunung tersebut dianggap sangat angker. Menjadi hunian berbagai binatang buas, raksasa, siluman, dan makhluk-makhluk gaib. Hanya orang-orang sakti mandraguna yang berani mendaki hingga ke puncaknya.

Syahdan, setelah tiga hari tiga malam Raja Pakurindang bertapa, pohon-pohon yang tumbuh dalam jarak tiga meter di sekitarnya mulai merunduk ke arahnya, seakan-akan memberi hormat kepada raja besar tersbut. Setelah tujuh hari tujuh malam ia bertapa, semak belukar dan pepohonan besar yang berjarak tujuh meter melakukan yang serupa. Hal tersebut berlangsung terus menerus, hingga pepohonan yang berjarak 99999 meter. Semuanya merunduk seakan bersembah sujud dan menyatakan takluk. Di kejauhan, semak belukar dan pepohonan itu berbentuk pegunungan yang diselimuti awan.

Seperti kala Raja Pakurindang memimpin, di bawah takhta Sambu Batung pun rakyat pulau Halimun hidup tentram, damai, aman, makmur, dan sentausa. Sebagai pendamping hidupnya, disuntinglah Putri Perak. Pesta perkawinan berlangsung dengan meriah dan dirayakan oleh seluruh rakyat kerajaan.

Beberapa tahun kemudian, suatu peristiwa genting terjadi. Di dalam sidang di istana yang dihadiri oleh seluruh aparat kerajaan, terjadi pertengkaran sengit antara Sambu Batung dan Sambu Ranjana. Mereka berbeda pendapat dalam mengatasi suatu persoalan. Dari seluruh penjuru desa, aparat kerajaan mendapat laporan tentang terjadinya peristiwa yang mengancam keberlangsungan hidup para warga.

Sidang berlangsung dengan suasana tegang. Hanya beberapa orang yang berani berbicara, yakni Panglima Ranggas Kanibungan dan Sambu Luan.

Usul Sambu Luan, “Ananda berdua, pamanda harap sudahilah pertengkaran ini. Lebih baik kita mencari cara untuk mengatasinya.”

“Tidak, Pamanda!” tolak Sambu Ranjana dengan suara nyaring, “Kanda Sambu Batung harus bertanggung jawab atas masalah ini!”

Jamba Angan dan Sambu Lantar mengangguk, mereka mengiyakan. Sambu Ranjana menambahkan lagi, “Di kerajaan ini, tak ada yang mampu membuka rahasia mantra penyibak halimun, terkecuali dia orang yang memiliki pengaruh besar dan sakti mandraguna. Jelas, dia ingin merusak tatanan dan kedamaian dengan memasukkan budaya luar!”

Melihat keadaan kian genting, peserta sidang mulai berdiri satu persatu. Mereka memecah diri menjadi dua kelompok. Satu kelompok mendukung Sambu Batung, dan yang lainnya memihak kepada Sambu Ranjana.

“Dalam keadaan genting seperti ini, kita seharusnya jangan terpecah belah.” Panglima Ranggas Kanibungan berusaha menengahi, “Tuduhan ananda Sambu Ranjana itu tidak berdasar. Pamanda harap—”

“Cukup, Pamanda!” bentak Sambu Ranjana. “Pamanda tentu saja tak mau menyalahkan menantumu sendiri. Kalian telah bersekongkol! Kalian ingin menjual negeri kita kepada orang asing dengan membuka diri kepada kerajaan lain!”

Mendengar perkataan sang adik yang dianggapnya tidak sopan dan sudah keterlaluan, Sambu Batung tak mampu lagi menahan amarahnya. Terlebih lagi saat jelas-jelas Sambu Ranjana menujukan kata-kata kasar itu kepada mertuanya, sekaligus guru yang ia hormati.

Jeritan istrinya, Putri Perak, tak lagi ia hiraukan. Dengan sekali lompat, Sambu batung sudah berdiri di hadapan Sambu Ranjana. Berhadap-hadapan dia dengan adik satu-satunya tersebut, dan dia berkeinginan untuk berteriak di depan wajah si bungsu. Tatkala ia akan membuka mulut, semua orang dikejutkan oleh suara gemuruh keras yang kemudian disusul guncangan besar. Udara yang tiba-tiba menjadi terasa panas menyengat, dan suasana di sana menjadi kacau balau dalam seketika.

Setelah guncangan mereda, kecemasan tergambar jelas di wajah masing-masing aparat kerajaan kala melihat segerombolan warga berdesakan untuk memasuki balai sidang.

“Mohon ampun, Paduka. Sudah sejak tadi kami ingin menyampaikan hal ini, namun kami tak bisa masuk karena harus menyelamatkan diri.”

Diiringi isak tangis, mereka melapor kembali mengenai hewan ternak mereka yang mati mendadak tanpa sebab musabab yang jelas. Tanaman, pepohonan, sawah, ladang, dan kebun menjadi kering kerontang, dan air tak mengalir lagi.

“Kami mohon perlindungan, Paduka. Bencana telah melanda tanah ini.” Dalam ketakutan, para warga bersembah sujud, “Tanda-tanda dan isyarat telah terlihat. Di gunung pertapaan Raja Pakurindang telah berkibar bendera merah.”

Sambu Batung beserta seluruh aparat kerajaan terkejut. Mereka tertegun, tenggelam dalam ketakutan di pikiran mereka masing-masing. Mereka masih mengingat jelas amanat dari Raja Pakurindang bahwasanya jika di puncak gunung berkibar bendera putih, itu pertanda bahwa kedamaian dan kemakmuran datang di tanah mereka. Apabila yang berkibar adalah bendera kuning, merupakan pertanda bahwa kekeringan dan penyakitlah yang datang. Jikalau bendera merahlah yang berkibar, itu adalah tanda-tanda bahwa bencana dan malapetaka akan datang.

Melihat Sambu Batung diam mematung, Punggawa Sembilan segera menghaturkan sembah sujud. Mereka memohon agar junjungannya melakukan tindakan nyata untuk melindungi rakyat, memberikan bantuan dan pertolongan.

Namun Sambu Batung tetap diam membisu.

Sebuah guncangan dahsyat dan hawa panas tiba-tiba datang lagi dan mereka rasakan kembali. Lebih kuat, lebih panas, dan lebih mengerikan daripada yang pertama kali terjadi. Di antara suara gemuruh dan hawa panas yang menyengat itu, lantai, dinding, dan pilar-pilar istana retak-retak dan roboh satu persatu. Sambu Ranjana berteriak, “Sambu Batung! Kau pengkhianat! Kau telah melanggar wasiat leluhur! Semua ini salahmu!”

“Paduka, tolong jangan bertengkar lagi.” Panglima Ranggas Kanibungan menengahi, “Mari kita bersatu untuk mengatasi masalah ini.”

Bersama dengan Punggawa Sembilan, ia berpegangan tangan satu sama lain. Mereka berdiri di antara pilar-pilar istana yang retak. “Mari kita bulatkan tekad, satukan hati, untuk mengusir kekuatan jahat ini!”

Kata-kata Panglima Ranggas Kanibungan itu seolah menjadi sebuah perintah. Sambu Batung dan Sambu Ranjana terpaksa mengalah dan menggabungkan diri ke dalam barisan. Namun, mereka tak mau bergandengan tangan. Alhasil, Sambu Batung di ujung barisan sebelah kiri, Sambu Ranjana di kanan, dan Panglima Ranggas Kanibungan berada di tengah.

Dipimpin Panglima Ranggas Kanibungan yang berbadan besar, sesaat mereka memejamkan mata. Menghimpun kekuatan batin mereka, dan menyalurkannya melalui tangan amsing-masing dan serempak memukulkannya sekuat tenaga sambil berteriak. Sasaran pukulan mereka adalah arus panas berapi yang berpusar di hadapan, berpusar layaknya angin puting beliung. Apapun yang dilintasi olehnya akan roboh dan tergulung.

Namun bukannya berhenti, arus panas berapi tersebut justru berbalik dan memantulkan pukulan yang mereka lancarkan. Mereka semua terlempar, jauh sekali. Terpencar-pencar dan jatuh dengan pakaian hangus dan tubuh lecet. Kapak besar Ranggas Kanibungan pun terpental jauh. Kelak, ia menjadi Pulau Kapak.

Setelah bertarung melawan bencana tersebut selama tujuh hari tujuh malam dengan mengerahkan seluruh kesaktian, mereka sadar bahwa tak mungkin bagi mereka semua mengalahkan kekuatan jahat tersebut. Saat itulah, ketika angin mendadak gelap dan hujan di angkasa terdengar suara yang amat mereka kenal. Suara Raja Pakurindang.

“Wahai warga Pulau Halimun. Percuma kalian melawan, karena ini sudah takdir kalian. Tak ada yang harus disalahkan. Dan kalian, anak-anakku, dengarkanlah titahku ini!”

“Hamba, Ayahanda.” Sambu Batung dan Sambu Ranjana serempak menyahut. Suara mereka sangat lemah dan bergetar. Tubuh mereka gemetaran.

“Sambu Batung, engkau dan Putri Perak tinggallah di utara pulau ini. Teruskan keinginanmu membuka diri dan membaur di alam nyata.” Suara itu terdengar bijaksana, seperti yang selama ini mereka selalu dengar. Ujar suara itu lagi, “Dan engkau, Sambu Ranjana! Tinggallah di selatan. Lanjutkan niatmu menutup diri. Aku merestui jalan hidup yang kalian inginkan masing-masing. Namun ingatlah, meskipun hidup di alam berbeda, kalian harus tetap rukun. Harus tetap saling membantu dan saling mengingatkan.”

“Pesan Ayahanda akan selalu kami ingat dan kami junjung.” Sambu Batung dan Sambu Ranjana serempak menyahut.

Bersamaan dengan itu, gelegar guntur, kilat, dan petir membelah angkasa. Hujan turun sangat deras, menciptakan banjir besar. Dari puncak gunung, air turun bagai ditumpahkan. Melongsorkan tanah, bebatuan, hewan-hewan, dan pepohonan. Pohon-pohon besar tumbang disambar petir, hingga tercabut hingga akarnya. Dihanyutkan oleh air, dan dengan cepat meluncur ke pemukiman penduduk. Melanda istana, menerjang segala sesuatu yang menghalangi jalannya.

Pun Putri Sewangi dihanyutkan pula oleh banjir besar tersebut. Dia menangis sedih berkepanjangan karena cinta kasihnya yang tak pernah sampai kepada Sambu Batung. Ia berserah diri kepada banjir yang membawanya. Arus air menghanyutkannya ke laut, dan dalam gemuruh guntur, petir, angin, hujan, dan badai, Putri Sewangi terus menangis tanpa henti.

Dengan hati penuh sesal, dilemparkannya serudungnya yang basah oleh air mata. Serudung itu diterbangkan oleh angin ke tempat yang sangat jauh sekali. Dan kelak tempat jatuhnya serudung itu menjadi Pulau Serudung. Dalam duka dan nestapa, Putri Sewangi bersumpah takkan pernah bersuami dan akan mengasingkan diri.

Karena sumpahnya itu, Putri Sewangi menjelma menjadi sebuah pulau tersendiri, Pulau Sewangi. Dipisahkan oleh laut dan berada di sebelah barat Kerajaan Pulau Halimun. Ia masih dapat memandang ayahandanya, Jamba Angan, yang berubah menjadi gunung Jambangan. Gunung Jambangan masih berdekatan dengan Gunung Saranjana yang merupakan perubahan wujud Sambu Ranjana. Gunung Saranjana dipenuhi dengan misteri dan teka-teki. Sedangkan Sambu Batung menjadi Gunung Sebatung, berdampingan dengan Gunung Perak.

Banjir besar itu juga menghanyutkan Sambu Lantar. Setelah sekian lama hanyut oleh air, ia terdampar di tempat yang kemudian menjadi Desa Lontar. Punggawa Sembilan, yaitu Marsiri, Mardapan, Margalap, Marbatuan, Marmalikan, Mardanawan, dan Markalambahu turut hanyut dan terbawa ke tempat paling jauh dan menjadi Pulau Sembilan. Seluruh kesaktian yang mereka miliki melebur menjadi satu menjadi Pulau Sebuku.

.::END::.
.
.

Kenapa saya tertarik pada cerita ini dibandingkan delapan cerita yang lain di buku yang sama? Karena kata Bung Karno, “Jangan sekali-kali melupakan sejarah!”

Seperti kata Bung Karno, haram rasanya jika kita melupakan sejarah. Dari sejarah (meskipun sifatnya fiksi), kita bisa mempelajari sesuatu. Sesuatu yang bisa menjadi bahan pembelajaran kita di masa ini dan masa depan. Saya pernah mendengar seseorang berkata, “Barangsiapa yang melupakan sejarah, akan mengalami sejarah itu sendiri.”

Rasanya di Indonesia sendiri sering terulang peristiwa-peristiwa yang sama yang pernah terjadi di masa lalu. Apakah itu karena banyak yang mulai melupakan sejarah bangsanya sendiri? Entahlah, siapa yang tahu.

Selain itu, kenapa saya juga memilih cerita ini. Hm… mungkin karena pikiran absurd, “Orang-orang di tanah Borneo jauh lebih hebat daripada orang di tanah Jawa. Di Jawa, orang-orang cuman jadi candi (Roro Jonggrang), gunung (Sangkuriang). Kalau di Borneo orang-orang bisa berubah jadi pulau.” /abaikan pikiran konyol saya ini/

Dibandingkan alasan absurd saya di atas, ada hal lain penyebab saya sangat menyukai cerita ini. Cerita ini seakan menceritakan sesuatu yang Indonesia banget. Apa yang Indonesia banget itu? Laut dan kepulauan. Indonesia negara yang bukan dataran, tapi negara kepulauan. Tak ada dataran di Indonesia. Hanya ada daratan pulau. Dan yang menghubungkan semua pulau-pulau itu adalah laut. Uhm… jadi intinya gini, saya suka laut. Dan saya suka kepulauan. Karena itulah saya suka dengan cerita yang berbau laut dan kepulauan. /oke, ini tambah absurd/

Oh ya, sekali lagi, mengenai keberadaan legenda dan hikayat ini sendiri masih saya pelajari. Pasti ada setidaknya naskah yang menuliskan hikayat ini, karena jujur saja, cerita-cerita di dalamnya terasa sangat terstruktur sekali. Untuk saat ini, saya memulai untuk membaca Hikayat Banjar dan Kotawaringin (meskipun bukan naskah asli atau terjemahan yang benar-benar dituliskan berdasarkan naskah asli). Semoga skripsi saya nanti memakai judul ini /heh.

Referensi:

Liaw Yock Fang. 2011. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik. Jakarta: YOI

Najam, M. Sulaiman, M. Syukri Munas, dan Eko Suryadi WS. 2008. Hikayat Sa'ijaan Dan Ikan Todak. Kotabaru: KSI Kotabaru