Tampilkan postingan dengan label Liaw Yock Fang. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Liaw Yock Fang. Tampilkan semua postingan

Selasa, 17 Maret 2015

Bahasa Dalam Hikayat

Sastra hikayat merupakan salah satu khazanah kekayaan kebudayaan Indonesia dalam aspek sastra. Sastra hikayat merupakan salah satu bukti rekaman sejarah bangsa Melayu. Memahami sastra hikayat sama seperti mengungkap lukisan kehidupan bangsa Melayu dari kurun waktu yang telah lalu. Dari hikayat kita bisa mempelajari banyak hal, unsur kesejarahan bahasa, nilai moral orang Melayu di jaman dulu, dan pola berpikir mereka. Imaji yang dituliskan di dalam sebuah hikayat tak lekang oleh waktu dan selalu mampu menghadirkan warna-warna indah yang mampu membuat pembacanya takjub. Sastra hikayat mengandung nilai keindahan tak terkira dan sudah sepatutnya keindahan itu untuk dijaga, dilestarikan, dan diperkenalkan ke generasi lebih muda agar sastra hikayat tidak lekang digerus arus globalisasi saat ini.

Naskah merupakan salah satu alat rekam perkembangan bahasa. Rekaman bahasa itu berupa hikayat, dan dari hikayat bisa diketahui bahasa-bahasa yang telah berpengaruh di jaman hikayat tersebut dituliskan. Sebagai contoh Hikayat Malim Deman yang bahasanya telah dipengaruhi oleh beberapa bahasa dan tidak murni menggunakan bahasa Melayu. Berikut beberapa bahasa yang telah dipadupadankan dengan bahasa Melayu yang digunakan di Hikayat Malim Deman:
Pengaruh bahasa Arab
Pengaruh bahasa Arab tidak lepas dengan pengaruh Islam yang masuk ke wilayah Nusantara. Hal itu berpengaruh juga kepada penulisan Hikayat Malim Deman. Di awal cerita telah menggunakan kata pembuka dalam bahasa Arab. Selain itu, tidak sedikit kalimat tasbih dan lafadz Allah disebut di dalam hikayat tersebut. Sebagai contoh kutipan di bawah ini:
                        WA-BIHI NASTA’INU BI’LLAHI. Ini-lah warita orang dahulu-kala;
Pengaruh India
Pengaruh India di kebudayaan Melayu telah berlangsung sejak lama. Pengaruh tersebut bisa didapati di segala aspek kehidupan bangsa Melayu, tidak terkecuali bahasa. Penggunaan kata-kata Sansekerta, Tamil, Hindi, dan sebagainya telah banyak ditemukan di hikayat. Penggunaan kata-kata itu pun juga ditemukan di Hikayat Malim Deman.
Al-kisah, maka tersebut-lah konon sa-buah negeri bernama Bandar Muar, rajanya bernama Tuanku Gombang Malim Dewa, isteri-nya Tuan Puteri Lindongan Bulan.
Pengaruh Persi
Masuknya pengaruh agama Islam ke wilayah Nusantara tidak saja membawa kebudayaan Arab, namun masuk juga pengaruh Persi dalam bahasa Hikayat sebagian besar ditemukan di bidang kosa kata. Salah satu contoh penggunaannya di Hikayat Malim Deman adalah:
Mulut-nya meniup serunai.

Gaya bahasa yang digunakan di dalam hikayat juga menjadi alat yang pokok bagi pencipta karya dalam menggambarkan maksudnya di dalam karya-karyanya. Setiap pengarang bisa memakai bermacam-macam cara dalam menyatakan gubahannya. Dalam Hikayat Malim Deman, terdapat beberapa gaya bahasa yang digunakan oleh pengarangnya. Yaitu:

Paralelisme, yaitu kebiasaan mengulang-ulang cerita, lukisan cerita serta peristiwa-peristiwanya, bentuk penceritaan yang berulang. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan penegasan. Sebagai contoh kalimat di bawah ini:

Tempat jin yang banyak,
Tempat shaitan yang banyak ;
Repetisi, adalah gaya mengulang beberapa kata atau perkataan yang sudah disebutkan untuk memberi perhatian yang besar terhadap hal yang diulang. Sebagai contoh kalimat di bawah ini:
Sa-kali di-gosok-nya,
Dua tiga panau terchelek ;
Sa-kali di-gosok-nya,
Tiga empat panau terchelek ;
Metafora, yaitu gaya bercerita dengan memberikan perbandingan hal lain yang memiliki sifat yang sama. 
Maka Tuan Puteri Bungsu pun lalu-lah menangis terlalu amat sangat, ayer mata-nya seperti mutiara yang putus dari karangan-nya seraya bertanya pula, ‘Ayo-hai bapa, orang pengail, dengan sunggoh-nya kata-lah adakah menengok kain tadi.’

REFERENSI
Ana, Pawang dan Raja Haji Yahya. 1976. Hikayat Malim Deman. Kuala Lumpur: Fajar Bakti
SDN
Baried, St. Baroroh dkk. 1985. Memahami Hikayat Dalam Sastra Indonesia. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan.

Rabu, 11 Maret 2015

Keindahan Dan Motif Hikayat Malim Deman


Salah satu fungsi karya sastra adalah menghibur. Karena itulah, karya sastra yang diciptakan untuk menghibur harus memiliki sifat menggoda reaksi pembaca, sentimental, stereotip, dan yang terpenting dalam karya sastra tersebut adalah keindahan di dalamnya. Keindahan sebuah karya sastra tercermin di dalam sistem imaji maupun susunan kata-katanya.

Menurut Klinkert (1947:77), kata ‘indah’ memiliki arti bagus, berharga, menarik, tidak biasa, aneh, penting, dan sangat bagus. Kata ‘indah’ berhubungan dengan sifat objek yang dinyatakan secara visual, audibel, taktikel, dan olfaktori. Kata tersebut juga berhubungan dengan sifat-sifat imanen yang dimiliki oleh ke-indahan itu sendiri, yaitu sesuatu yang luar biasa yang dapat membangkitkan heran, takjub, dan tamasya.

Motif adalah istilah yang digunakan untuk melukiskan karakter, peristiwa, atau konsep yang sering diulang-ulang, yang ada dalam cerita rakyat atau kesusastraan (Abrams, 1966). Berpijak dari adanya unsur yang telah disebutkan di pengertian tersebut, akan dibicarakan motif-motif apa saja yang dapat dijumpai di perhelatan perkawinan dalam memahami Hikayat Malim Deman. Motif-motif itulah yang kemudian menjadi salah satu unsur keindahan di dalam Hikayat Malim Deman.
 
              Hikayat Malim Deman diciptakan oleh pengarang anonim. Tokoh utama yang ada di Hikayat ini dan merupakan fokus pentingnya adalah Malim Deman dan Putri Bungsu. Sosok Malim Deman digambarkan sebagai seorang tokoh yang rupawan, pandai, berbudi pekerti baik, dan mahir berkesenian. Namun, ketika kedua orang tuanya meninggal dan dia diangkat menjadi raja, dia menjadi seorang yang suka berjudi dan lalai pada tugasnya. Hal itu menyebabkan Putri Bungsu mashgul hatinya dan meninggalkan Malim Deman sebelum akhirnya dia menyadari kesalahannya dan kembali menjadi orang yang seperti diamanatkan oleh kedua orang tuanya. Putri Bungsu adalah istri dari Malim Deman dan merupakan salah satu putri raja di kayangan yang memiliki kecantikan luar biasa dan sangat mencintai Malim Deman.

        Jika menggunakan macam-macam sudut pandang pencerita menurut Saleh, maka dalam penceritaan Hikayat Malim Deman, sudut tinjauan yang digunakan adalah pengarang menjadi seorang pengamat, yang menuturkan ceritanya dari luar sebagai seorang observer.
Hikayat Malim Deman bertempat di sebuah negeri imaji yang bernama negeri Bandar Muar. Selain di negeri itu, ada dua tempat lagi yang sering disebut di dalam hikayat ini, yaitu di rumah Nenek Kebayan yang berada di hulu negeri Bandar Muar, dan kahyangan yang menjadi tempat asal Putri Bungsu.
Medan-nya indah bukan kepalang,
Rantau-nya luas bagai di-bentang,
Tebing-nya tinggi bagai di-raut,
Pasir-nya serong bentok taji,
Batu-nya ada besar dan kechil,
Yang kechil pelontar balam,
Jika untong kena ka-balam,
Jikalau tidak kena ka-tanah;
Menderu selawat ibu ayam,
Elang di-sambar punai tanah.

Fakta Cerita Di Dalam Hikayat Malim Deman

Setiap cerita harus dan pasti memiliki tema atau dasar. Tema merupakan bagian yang sangat penting dalam penyusunan cerita, karena jika suatu cerita tidak memiliki dasar pijakan, cerita tersebut tidak akan memiliki arti sama sekali alias tidak berguna. Tema yang menjadi dasar cerita hikayat ini adalah kepahlawanan Malim Deman. Hal itu bisa diketahui di kutipan berikut ini:
Maka Tuanku Malim Deman pun melangkah berangkat turun dari anjong perak, di-iringkan oleh Bujang Selamat dan Si-Kumbang dengan segala orang besar2, ra’yat tentera, terlalu amat ramai-nya menuju ka-hulu Bandar Muar ;
Tempat jin yang banyak,
Tempat shaitan yang banyak;
Masok hutan keluar hutan,
Masok padang keluar padang,
Masok rimba keluar rimba;
Bertemu changkat di-daki-nya,
Bertemu lurah sama di-turuni,
Habis hari berganti hari,
Habis malam berganti malam,
Habis bulan berganti bulan,
Habis tahun berganti tahun;
Bukan menchari buruan,
Gajah di-jumpa tiada di-tembak,
Rusa di-jumpa tiada di-kejar,
Badak di-jumpa tiada di-turut,
Selain tema kepahlawanan, Hikayat Malim Deman juga mengangkat tema percintaan. Dari kedua tema tersebut, dapat kemukakan masalah-masalah yang dapat disebutkan secara tradisonal. Masalah dalam Hikayat Malim Deman tersebut adalah:
(1)   Mimpi yang menjadi awal mula petualangan Malim Deman dalam mencari cintanya.
(2)   Pelanggaran janji karena lupa pada amanah dan kewajiban sebagai seorang suami dan pemimpin negeri.
(3)   Perjuangan merebut kembali yang tercinta.
     
            Dari masalah-masalah yang telah disebutkan di atas, maka terbentuklah sebuah alur yang memiliki berbagai motif-motif yang kurang lebih mirip seperti motif-motif yang bisa ditemukan di hikayat-hikayat Melayu lainnya. 
                  
            Motif perjodohan/perkawinan
Bermula dari sebuah mimpi yang kemudian menjadi awal mula petualangan Malim Deman dalam mencari Putri Bungsu. Malim Deman, yang merupakan keturunan raja besar, rupawan, dan diberi karunia ilmu yang lebih tinggi dari yang lain, dinikahkan dengan Putri Bungsu yang merupakan putri bungsu seorang raja di kahyangan. Putri Bungsu digambarkan sebagai wanita tercantik yang tiada tandingannya di dunia.

            Motif sayembara
Dalam Hikayat Malim Deman, Putri Bungsu melakukan syarat bahwa siapapun yang menemukan cincin yang telah ditalikan dengan sehelai rambutnya akan menjadi suaminya. Cincin itupun dihanyutkan di sungai yang kemudian ditemukan oleh Malim Deman.

            Motif pelanggaran janji
Ketika Malim Deman dan Putri Bungsu akhirnya telah menjadi suami-istri, dan diangkat menjadi raja Bandar Muar, Malim Deman dikisahkan menjadi seorang yang suka berjudi dan main perempuan. Bahkan dia melupakan kewajibannya sebagai seorang suami saat Putri Bungsu telah hamil tua. Hal itulah yang menyebabkan Putri Bungsu meninggalkannya. 

Motif poligami
Di akhir cerita, Malim Deman menjadikan Putri Terus Mata sebagai istri keduanya karena janjinya terhadap Raja jin Islam yang telah membantunya dalam usahanya menemui Putri Bungsu. 


KEINDAHAN PERKAWINAN DALAM HIKAYAT MALIM DEMAN


Keindahan perkawinan di dalam Hikayat Malim Deman tidak luput dari penggunaan motif-motif dan gaya bahasa paralelisme. Motif yang sering ditemukan di dalam hikayat adalah bahwa seorang pangeran yang berasal dari keturunan baik-baik, memiliki rupa yang menawan, dan berilmu selalu mendapatkan pasangan seorang yang berasal dari keturunan baik-baik pula, serta memiliki wajah yang tak kalah cantiknya.
Karena kedua mempelai berasal dari keturunan baik-baik dan putra-putri seorang raja, maka sudah menjadi hal yang biasa jika perkawinan mereka dilangsungkan dengan cara yang tidak biasa dan bahkan mengikut sertakan para dewa.
Tuanku Malim Deman pun pergi-lah ka-taman bersiram lalu kembali ka-rumah Nenek Kebayan. Maka Tuan Puteri Bungsu dengan Nenek Kebayan pun bangun lalu bersiram juga ; lepas bersiram kembali ka-rumah itu. Maka Nenek Kebayan pun bersiap-lah betapa adat kawin anak raja besar2 juga di-atas kadar-nya. Maka di-persilakan si-raja dewa Tuanku Betara Guru menikahkan Tuanku Malim Deman dengan Tuan Puteri Bungsu serta raja mambang sekalian. Maka berjamu-lah Nenek Kebayan akan raja2 itu, lepas santap masing2 kembali ka-keyangan.
Selain itu, pesta besar-besaran pun dilakukan meskipun persiapannya memerlukan waktu berbulan-bulan. Pesta pernikahan tersebut melibatkan seluruh golongan masyarakat.
Telah genap sa-bulan, maka anakanda kedua laki-isteri pun di-naikkan oleh baginda dengan orang besar2 ka-atas mongkor, tujoh kali berarak berkeliling kota istana, kemudian lalu di-siramkan di-atas balai panchapersada naga berjuang ; baginda kedua laki-isteri menyiramkan anakanda kedua laki-isteri dengan ayer tolak bala dan do’a selamat. Telah bersiram itu, maka baginda pun berangkatlah membawa perarakan anakanda baginda kembali ka-istana, di-iringkan oleh orang besar2, ra’yat hina dina sekalian-nya. Maka baginda pun bertitah menyurohkan jamu raja2 dan orang besar2, ra’yat hina dina sekalian serta orang yang ta’lok jajahan. Maka hidangan pun beribu-ribu di-ator-lah oleh bentara. Maka bentara pun berseru-lah dengan nyaring suara-nya, mengatakan, ‘Silakan sekalian, inilah ayapan yang telah di-karuniai oleh baginda melepaskan nazar putera-nya.’
REFERENSI:
Ana, Pawang dan Raja Haji Yahya. 1976. Hikayat Malim Deman. Kuala Lumpur: Fajar Bakti
SDN
Baried, St. Baroroh dkk. 1985. Memahami Hikayat Dalam Sastra Indonesia. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan.

Jumat, 11 Juli 2014

Hikayat Pelanduk Jenaka


Menurut Werndly di dalam buku Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik milik Liaw Yock Fang, hikayat Pelanduk Jenaka ini termasuk hikayat yang agak tua usianya. Disebutkan oleh Werndly sejak tahun 1736. Nah, menurut Van der Tuuk, kata ‘Jenaka’ atau ‘Jainaka’ ditafsirkan berasal dari kata Sansekerta ‘jainaka’, yaitu seorang pendeta agama Jaina yang selalu ditertawakan orang. Beda lagi pendapat C.A. Mess, yang pernah menerjemahkan hikayat ini ke dalam bahasa Belanda. Dia mengartikan bahwa kata ‘jinaka’ mungkin berarti keramat atau suci. Dia menunjukkan bahwa dalam Hikayat Pelanduk Jenaka yang diterbitkan oleh H.C. Klinkert pada tahun 1885, dimana si Pelanduk sering bertapa di bukit atau pungsu, dan tempat itu disebut pungsu jantaka atau pertapaan dan indrakila di tempat lain. Nah, sedangkan indrakila itu tidak lain dari tempat pertapaan Arjuna, dan katanya sih, Arjuna juga sering disebut Arjuna Janaka atau Jenaka. Banyak lagi pendapat dari sarjana-sarjana yang lain, namun penulis hanya menerangkan dua pendapat ahli di atas aja, ya. Mau lebih lengkapnya, silakan lihat buku Liaw Yock Fang. Hehehe

Hikayat ini tuh dulu dua kali pernah diterbitkan. Yang pertama di tahun 1885 dan yang kedua di tahun 1893. Yang menerbitkannya H.C. Klinkert, seorang sarjana Belanda. Dua terbitan tentang cerita pelanduk ini agak beda sih, soalnya yang terbitan pertama tuh ada 10 buah cerita, tapi yang kedua hanya ada 7 buah cerita. Tapi plotnya tetap sama.

Berikut ringkasan cerita dari kedua terbitan tersebut:



Diceritakan seekor Pelanduk yang kecil tetapi sangat cerdik, bisa menewaskan segala binatang dan menjadi Syah Alam di rimba. Mula-mula diceritakan bagaimana Pelanduk memperoleh kekuatannya; (diterbitan pertama, Pelanduk menggosok badan dengan getah dari pohon ara; terbitan kedua, Pelanduk berguling di dalam serbuk lalang). Seterusnya, Pelanduk diceritakan mampu mendamaikan Kambing dengan Harimau yang bermusuhan. Nama Pelanduk lalu semakin masyhur.

Binatang-binatang di rimba datang meminta bantuan karena gangguan seorang raksasa. Dengan tipu daya, raksasa itu dibunuh oleh Pelanduk. Semua binatang takluk kepada Pelanduk dan masing-masing membawa persembahan kepadanya. Namun, Kera tidak mau takluk dan ketika dikejar, ia meminta bantuan kepada Gajah, Singa, dan Buaya. Gajah, Singa, dan Buaya semuanya ditewaskan oleh Pelanduk. Akhirnya, untuk menghukum Kera, Pelanduk menipu Kera sehingga dia pergi menerjang sarang lebah. Kera pun disengat hingga bengkak-bengkak tubuhnya. Pelanduk kemudian mengumumkan bahwa barang siapa yang tidak mau tunduk kepadanya, pasti akan mendapatkan hukuman seperti yang didapat oleh Kera sekarang. Dan tetaplah si Pelanduk di atas singgasananya.


Nah, kan di terbitan 1885 ada 10 cerita, berikut 3 buah cerita yang terdapat di terbitan pertama dan tidak terdapat di terbitan kedua alias hikayat yang diterbitkan tahun 1893:

1. Pelanduk bertanding meminum air sungai dengan binatang

2. Pelanduk menangkap gergasi yang memakan ikan-ikan yang ditangkap oleh para binatang.

3. Pelanduk membakar Semut yang telah membunuh Gajah.

Akhirnya semua binatang tunduk kepada Pelanduk.

Nah, menurut J. Brandes, versi pendek alias versi 1893 lebih asli, lebih tua, dan lebih penting karena dari penjelasan di atas, plot terbitan 1893 lebih terpelihara daripada plot terbitan 1885. Pendapat J. Brandes juga telah disetujui oleh Winstedt yang menunjukkan bahwa juga ada pengaruh-pengaruh Jawa terdapat di dalam versi tersebut. 

Hikayat Pelanduk ini ternyata juga pernah diterbitkan dalam bentuk syair di Singapura pada tahun 1301 H, yaitu tahun 1883/84 Masehi. Syair ini menyerupai yang versi panjang alias terbitan 1885, tapi hanya mengandung 8 cerita saja.

Juga ada dua kumpulan cerita pelanduk yang diterjemahkan dari bahasa Jawa. Yang pertama diterjemahkan oleh Winter dan diberi judul: Riwayat dengan Segala Perihal Kancil, dengan gambaran 12 warna, dan tersalin dari bahasa Jawa. Yang kedua ialah Cerita Kancil yang Cerdik oleh Ng. Wirapustaka, terbitan Balai Pustaka.

Hikayat Sang Kancil sangat populer di Semenanjung Tanah Melayu, dan hikayat ini bersama-sama diterbitkan dengan Hikayat Pelanduk Jenaka Dengan Anak Memerang dengan judul Hikayat Pelanduk dalam Malay Literature Series 13.

Referensi:

Liaw Yock Fang. 2011. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik. Jakarta: YOI

Rabu, 18 Juni 2014

Hikayat Sri Rama (Ramayana Versi Melayu)

Hikayat Sri Rama adalah bahasa Melayu untuk cerita Rama. Hikayat ini memiliki dua versi yang agak berbeda. Versi yang diterbitkan oleh Roorda Van Eysinga, dan versi yang diterbitkan oleh W. G. Shellabear. Versi Roorda diduga sebagai naskah yang tertua dalam bahasa Melayu, dan plotnya masih mendekati Ramayana Walmiki, meskipun memiliki banyak episode yang tidak terdapat dalam Walmiki. Sedangkan versi Shellabear sudah nampak pengaruh Islam yang kuat, dan sudah agak jauh menyimpang dari Ramayana Walmiki. Namun dari dua versi ini kita dapat menyusun cerita yang agak organis, yang mempunyai plot.
Dua versi ini dianggap versi sastra, karena masih ada dua versi yang dianggap cerita penglipur lara (rhapsodist version).

Berikut adalah ringkasan cerita Hikayat Sri Rama berdasarkan versi Roorda dan Shellabear.

Maharaja Rawana dibuang ke Bukit Serendib. Di bukit itu ia bertapa dengan cara yang paling hebat sekali, kakinya digantung, kepalanya ke bawah. Selama dua belas tahun ia bertapa. Tuhan lalu mengasihaninya dan mengirim Nabi Adam untuk menanyai apa kehendaknya. Rawana memohon empat kerajaan pada Tuhan; satu kerajaan dalam dunia, satu kerajaan pada keindraan, satu kerajaan di dalam bumi, dan satu lagi di dalam laut. Permohonan Rawana disetujui Tuhan dengan syarat bahwa Rawana harus memerintah dengan adil, jangan mengerjakan pekerjaan haram. Dalam naskah lain disebut juga, jangan mengganggu anak-istri orang.

                Di kerajaannya di keindraan, Rawana kawin dengan putri Nila Utama dan beranakkan Indra Jat. Genap dua belas tahun, Indra Jat dirajakan dalam keindraan. Di kerajaannya yang di bumi, Rawana kawin dengan putri Pertiwi Dewi dan beranakkan Patala Maharayan. Sesudah genap umur, Patala Maharayan dirajakan di bumi. Di kerajaannya yang di dalam laut, Rawana kawin dengan Gangga Maha Dewi dan beranakkan Gangga Maha Suri. Sesudah genap umur, anak ini dirajakan di dalam laut. Di dunia, Rawana membuat sebuah negeri yang sangat indah. Negeri itu ialah Langkapuri. Maka Rawana pun menjadi raja yang adil di Langkapuri. Semua kerajaan di dalam dunia takluk kepada hukumnya. Yang masih belum takluk hanya empat buah negeri saja, yaitu Indrapuri, Biruhasa, Lekor Katakina, dan Aspaha.

                Tersebutlah perkataan negeri Indrapuri. Berma Raja, nenek Rawana, sudah mangkat. Yang menjadi raja ialah Badanul, anaknya yang sulung. Sesudahnya Citra-Baha mempunyai tiga orang putra, seorang bernama Kamba Kama, seorang bernama (Vibhishana) Bibusanam, dan seorang lagi anak perempuan, Sura Pandaki namanya. Sesudah Citra-Baha, Naranda adik Jama Mantri, anak Badanul menjadi raja. Sesudahnya Mantri Sakhsah naik kerajaan.
               
                Maharaja Balikasa, raja Biruhasa Purwa, bersiap-siap untuk melanggar negeri Indrapuri, karena negerinya pernah dikalahkan oleh Citra-Baha dan ayahnya dibunuh oleh Citra-Baha juga. Seorang raksasa yang sakti dikirim ke negeri Indrapuri. Banyak rakyat dan menteri Indrapuri yang dibunuh oleh raksasa itu. Terjadilah peperangan antara Maharaja Balikasa dan Mantri Sakhsa. Rawana pun tetaplah dalam kerajaan di Langkapuri. Jama Mantri menjadi mangkubumi, Kamba Kama menjadi penghulu hulubalang, Bibusanam menjadi penghulu ahli nujumm, sastrawan dan alim mualim. Barga Singa, anak Rawana menjadi seorang menafahus (memeriksa, menguasai (?)) seluruh dunia (Cerita tentang masa muda Rawana ini hanya terdapat dalam versi Shellabear).

                Dasarata Maharaja, seorang raja yang gagah, pahlawan di negeri Isafa, tidak mempunyai putra. Atas nasihat seorang Brahmana baginda mengadakan upacara pemujaan Homam. Tidak lama kemudian kedua permaisuri baginda pun hamillah (Dalam Shellabear karena memakan biji geliga yang diberikan oleh seorang Brahmana). Mandudari, putri yang lahir dari buluh betung beranakkan Rama dan Laksmana. Baliadari, beranakkan Bardan, Citradan, dan seorang anak perempuan Kikewi Dewi namanya (Anak perempuan ini tak disebut dalam Shellabear).

                Sri Rama adalah seorang anak raja yang terlalu elok parasnya dan gagah berani, tetapi nakal. Karena kenakalannya itu, sekalian menteri lebih senang kalau anak Baliadari, Baradan atau Citradan yang dirajakan dalam negeri. Dasarata sendiri juga pernah dua kali berjanji akan merajakan anak-anak Baliadari dalam negeri, karena jasa-jasa gundiknya ini.

                Rawana mendengar bahwa Dasarata sudah memperistri seorang putri yang sangat elok parasnya. Timbul keinginan untuk memilikinya (putri itu). Rawana lalu datang dan meminta putri itu kepada Dasarata. Dasarata tidak keberatan. Mandudari segera diberitahu hal ini. Mandudari masuk ke suatu bilik. Tidak lama kemudian keluarlah seorang putri yang serupa dengan Mandudari, Mandudaki namanya. Putri itu lalu dibawa pulang oleh Rawana. Seketika itu juga keluarlah Mandudari dari biliknya dan menjelaskan apa yang sudah terjadi. Putri yang dibawa Rawana bukanlah dirinya sendiri, melainkan putri yang dijadikannya dari memuja daki. Dasarata sangat gembira, sebab istrinya tetap ada. Di samping itu, ia meminta seorang perempuan tua membawanya ke istana Rawana. Pada malam hari ia meniduri putri itu dan dengan demikian menjadi ayah, dari anak Rawana.

                Setelah beberapa lamanya, Mandudaki pun hamillah dan melahirkan seorang putri yang sangat elok parasnya. Putri itu ialah Sita Dewi. Menurut ramalan ahli nujum, suami Sita Dewilah kelak yang akan membunuh Rawana. Rawana amat murka, mau rasanya membunuh Sita Dewi ketika itu juga. Atas rayuan Mandudaki, Sita Dewi ditaruh dalam peti besi dan dihanyutkan ke laut.

                Sekali peristiwa Maharesi Kali, raja negeri Darwati Purwa, bertapa di laut dan mendapatkan peti besi yang dihanyutkan oleh Rawana. Sita Dewi diselamatkannya dan dipelihara dengan baik. Tak lama kemudian, masyhurlah kepada segala alam bahwa Maharesi Kali mempunyai seorang putri yang sangat elok parasnya. Setelah umur Sita Dewi genap dua belas tahun, Maharesi Kali mengadakan sayembara untuk memilih menantu: barangsiapa yang dapat mengangkat panah yang ada di halaman rumahnya dan dapat pula memanah pohon lontar dengan sekali panah atas empat puluh pohon, dia akan diterima menjadi suami Sita Dewi.

                Banyaklah sudah anak raja yang besar-besar berkumpul di negeri Maharesi Kali. Yang tidak datang hanyalah anak-anak Dasarata. Maharesi lalu pergi menjemput anak-anak Dasarata. Dengan hati yang berat, Dasarata melepaskan Sri Rama dan Laksamana pergi mengikuti Maharesi Kali ke negeri Darwati Purwa. Dalam perjalanan, Rama sudah menunjukkan keberaniannya. Raksasa Jagina (Shellabear: Jekin), badak, naga (ular) yang selalu menggangu perjalanan manusia habis ditewaskannya.

                Sayembara dimulai. Tetapi tidak seorang pun anak raja yang dapat dengan sekali panah, menerusi empat puluh pohon lontar. Rawana sendiri hanya dapat menerusi tiga puluh delapan pohon saja (hanya dalam versi Roorda). Akhirnya dengan tenang Rama masuk ke dalam gelanggang sayembara. Dengan sekali panah saja, keempat puluh pohon lontar kenalah semuanya. Bukan main terkejutnya anak-anak raja yang berkumpul di situ. Dengan demikian Rama pun beroleh Sita Dewi sebagai istri.

                Untuk mencoba kearifan Rama, Maharesi Kali menyembunyikan Sita Dewi dalam rumah berhala pula. Ia mengatakan kepada Rama bahwa Sita sudah hilang. Dengan mudah saja, Rama menemukan Sita kembali. Dalam perjalanan pulang pula, ada empat orang anak raja yang putus asa mencoba menghalangi Rama. Tetapi semuanya dikalahkan oleh Rama.

                Segala persiapan sedang diadakan untuk menabalkan Rama dalam negeri.  Si Budak Bungkuk menghasut Baliadari menuntut Dasarata supaya menunaikan janjinya, yaitu menabalkan anak-anak Baliadari. Apa daya, kata raja tak dapat diubah, maka terpaksalah Dasarata mengabulkan permohonan Baliadari. Rama dan Sita, bersama-sama Laksamana lalu meninggalkan negeri dan pergi bertapa di dalam hutan.

                Maka berjalanlah Sri Rama dan Laksamana di dalam hutan belantara. Dalam perjalanan, mereka bertemu dengan beberapa orang Maharesi yag baik kepada mereka. Anggasa Dewa, Kikukan, dan Wirata Sakti menjamu mereka dan mengajak Sri Rama bertapa bersama-sama dengan mereka. Rama menolak dan meneruskan perjalanan hingga sampailah di bukit Indra Pawanam. Di sini ada seorang raksasa Purba Ita mencoba melarikan Sita. Raksasa itu dibunuh oleh Rama. Maka Rama pun membuat tempat pertapaan di bukit ini.

                Menurut Shellabear, sesudah mengalahkan keempat anak raja yang mencoba menghalanginya, Rama mengambil keputusan tak akan pulang ke negeri, karena ayahnya telah memilih Baradan sebagai pengganti raja. Rama dan Sita, bersama-sama dengan Laksamana lalu masuk ke hutan belantara, mencari tempat yang sesuai untuk bertapa. Mereka bertemu dengan seorang pertapa, Maharesi Astana namanya, yang memberitahu Laksamana tentang dua kolam aneh yang terdapat dalam hutan itu. Suatu kolam airnya jernih, tetapi barang siapa yang mandi di dalamnya akan menjadi kera. Sebuah lagi airnya keruh. Rama dan Sita mandi di kolam jernih dan mereka menjadi kera seketika itu juga. Untunglah ada Laksamana yang sempat menyelamatkan mereka. Sesudahnya, Rama pun menyuruh mengurut kerongkongan Sita Dewi yang segera memuntahkan maninya. Mani itu dibawa oleh Bayu Bata dan dimasukkan ke dalam mulut Dewi Anjani yang sedang ternganga. Dewi Anjani bunting dan melahirkan Hanoman. Kemudian Rama bertapa dalam suatu tempat yang baik dalam hutan itu.

Rawana hendak menyerang matahari, karena sang matahari selalu menggangu kesenangannya. Sekembali dari usahanya yang sia-sia itu, dilihatnya kotanya dikawal oleh binatang semacam ular. Binatang itu ditetaknya. Kemudian ternyata yang ditetak itu bukanlah ular, melainkan lidah saudaranya, Berga Singa. Sura Pandaki takut anaknya dibunuh oleh Rawana, lalu membawa anaknya ke hutan dan menyuruhnya bertapa dalam buluh betung. Di dalam rumpun buluh inilah Dasra Singa terbunuh oleh Laksamana. Sura Pandaki sangat marah dan mau membalas dendam. Ia lalu mengubah dirinya sebagai seorang perempuan yang cantik dan mendekati Rama, dengan maksud menangkap Rama. Rama menolaknya, ketika ia menghampiri Laksamana, Laksamana mengerat hidungnya.

Saudaranya, Darkalah Sina, menyerang Rama, juga tidak berhasil. Sura Pandaki lalu menghasut Rawana menyerang Rama dan Laksamana. Dengan dua orang raksasa yang sakti, Rawana datang ke hutan pertapaan Rama. Seorang raksasa menjadikan diri sebagai kijang emas, seorang lagi sebagai kijang perak. Sita Dewi yang melihat kedua kijang itu tergerak hatinya hendak memiliki kedua-dua kijang tersebut, lalu meminta dengan sangat supaya Rama menangkap kijang-kijang itu hidup-hidup. Pergilah Rama menangkap kijang itu.

Tidak lama kemudian terdengar pula suara Rama meminta tolong. Sita mendesak Laksamana pergi menolong Rama. Ketika Laksamana menolak, Sita menuduh Laksamana. Dikatakannya bahwa Laksamana ingin memilikinya seandainya Rama mati. Oleh karena tuduhan itu, maka terpaksalah Laksamana pergi. Sebelum ia pergi, ia menggores tanah dengan telunjuknya. Maksudnya, barang siapa yang melangkahi goresan itu akan kena tangkap.

Kemudian muncullah Rawana sebagai seorang Brahmana yang miskin, dan meminta sedekah dari Sita. Sita yang tidak tahu apa-apa telah keluar dari goresan itu untuk memberi sedekah kepada Brahmana palsu itu. Dengan seketika itu juga Sita dilarikan Rawana. Burung Jentayu berusaha menolong Sita. Tetapi tidak berhasil, malah dirinya sendiri terbunuh.

Ketika Rama dan Laksamana kembali, mereka bukan main kaget. Didapati mereka Sita sudah hilang. Rama rebah dan jatuh di tempat duduk Sita sampai beberapa hari tidak sadarkan diri. Sesudah Rama sadar kembali, mereka lalu pergi mencari Sita.

Mula-mula mereka bertemu dengan kakak burung Jentayu yang memberitahu mereka bahwa Sita sudah diculik oleh Rawana. Kemudian mereka bertemu dengan Sugriwa yang diusir dari kerajaan oleh saudaranya Balya. Rama dan Laksamana menolong Sugriwa merebut kerajaan kembali. Sebelum meninggal, Balya meminta Rama menjaga istri dan kedua orang anaknya yang masing-masing bernama Anggada dan Anila. Balya memberitahu Rama bahwa yang dapat menolong Rama merebut Sita kembali ialah anak saudaranya yang bernama Hanoman.

Setelah berpisah dengan Rama dan mendengar pula Rama kehilangan istrinya, Mandudari sangat sedih dan wafat (Shellabear: Dasarata yang wafat). Beradan dan Citradan pergi mencari Rama dan meminta Rama kembali menjadi raja dalam negeri. Rama menolak dan bersedia memberikan kaus kepada saudaranya. Kiasnya, Ramalah yang menjadi raja dalam negeri.

Sugriwa mengumpulkan semua rakyat keranya. Tetapi tidak ada satu pun yang sanggup melompat ke Pulau Langka. Hanoman sanggup melakukan tugas itu asal dibenarkan makan sehelai daun dengan Rama. Rama tidak keberatan makan sehelai daun dengan Hanoman, asal Hanoman mandi di laut dulu. Sesudah makan, Rama memberikan sebentuk cincin kepada Hanoman untuk dibawa kepada Sita Dewi sebagai tanda.

Hanoman menyamar sebagai seorang Maharesi dan menemui Sita Dewi di istana Rawana. Hanoman menceritakan asal-usulnya dan Sita mengakuinya sebagai anaknya. Kemudian Hanoman memakan habis buah mempelam yang di dalam istana. Karena hal ini, dia ditangkap dan mau dibakar. Tetapi Hanoman melompat ke sana-sini, menyebabkan kebakaran yang besar. Hanoman juga mau membawa Sita Dewi ke tempat Rama. Sita Dewi menolak. Pertama, karena ia tidak mau dijamah oleh laki-laki lain melainkan Rama; kedua, karena ia mau kehormatan menyelamatkannya diberikan kepada Rama.

Sementara itu, pembangunan jembatan (titian) hampir selesai. Gangga Mahasura, anak Rawana, berusaha membinasakan titian itu. Tetapi semua ikan dan ketam yang dikirimkan untuk melaksanakan tugas itu, habis dibinasakan Hanoman. Rawana mulai gentar dan berunding dengan saudara dan menteri-menterinya tentang serangan Rama yang bakal datang itu. Bibusanam, menteri yang tua, mengusulkan supaya Sita dikembalikan kepada Rama. Rawana marah dan mau membunuh Bibusanam yang terpaksa melarikan diri dan menyerah kepada Rama. Anak-anak Rawana, Indra Jat dan Kumbakarna juga menganjurkan supaya Sita dikembalikan saja. Rawana tetap berkeras. Akhirnya peperangan pun berlangsung. Anak-anak Rawana satu demi satu gugur di medan perang. Mula-mula Buta Bisa, kemudian Patala Maharayan, kemudian Indra Jat dan akhirnya Mula Patani. Selepas itu keluarlah Rawana sendiri. Sesudah peperangan sengit, berpanah-panahan, akhirnya Rawana tewas juga. Dengan demikian berakhirlah peperangan antara Rama dengan Rawana.

Masuklah Rama ke dalam kota Langkapuri. Rama tidak mau menerima Sita kembali, takut kalau-kalau Sita sudah diperkosa oleh Rawana. Sita membuktikan kesuciannya dengan duduk di dalam api yang menyala. Akhirnya berkumpullah Rama dan Sita kembali. Banyaklah anak raja yang besar-besar datang mengunjungi Rama di Langkapuri. Demikian juga saudara-saudara Rama yang bernama Beradan dan Citradan.

Maharesi Kala juga datang dan menceritakan asal-usul Sita. Tahulah Sita, Mandudaki adalah ibunya, dan Rawana ayahnya sendiri. Tidak lama kemudian, Rama membuat negeri di atas bukit. Negeri itu ialah Durja Pura Negara.

Sesudah makan obat yang diberikan Maharesi Kala, Sita pun hamil. Semasa Sita hamil, Kikewi Dewi, saudara perempuan Rama, datang pada Sita dan meminta Sita melukiskan rupa Rawana di atas kipas. Kipas itu kemudian didapati oleh Rama. Kikewi berbohong dan berkata Sitalah yang melukis kipas itu dan dibawanya beradu. Rama marah dan mengusir Sita dari istana. Maka pergilah Sita ke tempat Maharesi Kala. Sebelum berangkat Sita bersumpah, barang siapa yang berkata bohong, dia takkan dapat berkata-kata lagi. Dan kalau ia benar, sesudah ia kelua dari negeri, binatang-binatang akan berada dalam dukacita.

Di tempat Maharesi Kala, Sita melahirkan seorang anak, Tilawi (Shellabear: Lawa) namanya. Sekali peristiwa, Maharesi Kala membawa Tilawi berjalan-jalan. Tilawi tersesat jalan dan kembali sendiri ke tempat ibunya. Maharesi Kala takut kalau-kalau Tilawi sudah hilang, lalu memuja lalang. Dengan seketika terjadilah seorang anak laki-laki yang mirip dengan Tiwali. Anak tersebut diberi nama Kusa. Sesudah besar, Tiwali dan Kusa jadi anak muda yang gagah berani. Banyak raksasa yang mereka bunuh.

Sesudah beberapa lama, Rama pun sadar akan kesalahannya dan meminta Sita kembali. Setelah Sita Dewi pulang, segala margasatwa pun berbunyi kembali dan Kikewi Dewi datang meminta ampun kepada Sita. Tilawi dikawinkan dengan Putri Indra Kusuma Dewi, anak Indra Jat, dan dirajakan di dalam negeri Durja Pura. Kusa dikawinkan dengan Gangga Surani Dewi, anak Gangga Mahasura, dan dirajakan di dalam negeri Langkapuri.

Setelah beberapa lama, Rama membuat negeri di tempat orang bertapa. Negeri itu dinamai Ayodhya Pura Negara. Sesudah empat puluh tahun lamanya hidup bersuka-suka dengan Sita dalam pertapaan, maka Sri Rama pun kembalilah dari negeri yang fana ke negeri yang baka.

Demikianlah cerita Hikayat Sri Rama, menurut naskah Roorda dan Shellabear.

Referensi:

Liaw Yock Fang. 2011. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik. Jakarta: YOI

Selasa, 10 Juni 2014

Ringkasan Beberapa Dongeng Aetilogis


Berikut adalah ringkasan dongeng aetiologis. Semua cerita yang dituliskan di sini diambil dari buku Sejarah Kesusastraan Melayu yang ditulis oleh Liaw Yock Fang.


Kenapa di tepi sungai hutan rimba banyak terdapat pohon yang tinggi?


Pada suatu masa dahulu telah hidup dalam hutan rimba Malaya sebangsa raksasa, Kelembai nama bangsa raksasa itu. Bangsa raksasa ini bisa menyihir manusia menjadi batu atau kayu. Jumlah mereka sangat banyak, sehingga orang-orang Melayu merasa terancam dan membuat rencana untuk mengusir mereka. Beruntung, para Kelembai ini sangat tolol. Orang Melayu memotong ujung bambu dan membiarkannya tegak kembali. Kelembai menyangka bahwa hanya raksasalah yang dapat memotong ujung bambu. Kemudian, seorang kakek yang tua dibaringkan dalam buaian. Bila melihat kakek yang tidak bergigi itu, Kelembai menyangka mungkin itulah bayi yang baru dilahirkan. Timbullah ketakutan dalam hati Kelembai. Akhirnya sisir tanah dianggap sisir manusia; penyu-penyu disangka kutu. Tidak berani lagi mereka tinggal dalam hutan rimba itu. Mereka melarikan diri ke kaki langit. Semua orang yang dijumpai waktu berlari, diajak berlari bersama-sama. Siapa yang enggak ikut, disihir menjadi pohon. Itulah sebabnya di tepi-tepi sungai di hutan rimba Malaya banyak terdapat pohon-pohon yang tinggi dan besar.


Mengapa tongkol jagung berlubang?


Sekali peristiwa, jagung berkata dengan sombongnya bahwa jika tiada padi lagi, ia sanggup memberi makanan kepada manusia. Dagun (sejenis akar) dan Gadung (sejenis tumbuhan melilit yang umbinya mengandung racun) juga mendakwa demikian. Maka mereka pun pergilah mengadu kepada Nabi Sulaiman. Nabi Sulaiman memenangkan jagung. Dagun dan Gadung marah dan pergi mencari duri peram. Jagung mengetahui hal ini dan meracuni dagun. Ini sebabnya dagun masih beracun sampai hari ini. Gadung juga berhasil menusuk jaging dengan duri. Inilah sebabya tongkol jagung masih berlubang sampai hari ini. Perkara ini lalu dibawa kepada Nabi Ilias yang menyuruh mereka kembali kepada Nabi Sulaiman. Nabi Sulaiman menyuruh mereka berkelahi untuk menentukan siapa yang benar. Dua minggu lamanya mereka berkelahi. Pohon mata-lembu melihat perkelahian itu dari dekat sehingga kulitnya rusak; sampai hari ini masih tampak lukanya. Pohon peracak sangat takut dan berlari dengan berjingkat. Itulah sebabnya pohon peracak sampai hari ini masih begitu panjang dan langsing rupanya.


Asal-usul seekor buaya putih.


Pada masa dahulu ada seorang nakhoda, Nakhoda Ragam namanya, yang berlayar dari Jering dengan istrinya yang cantik, Cik Siti. Dalam pelayaran itu, Nakhoda Ragam begitu sering hendak memeluk istrinya sehingga istrinya mengingatkan supaya berhati-hati, karena dia sedang menjahit. Nakhoda Ragam tidak menghiraukan amarah istrinya dan tertusuk oleh istrinya dengan jarum lalu meninggal. Mayatnya disembunyikan dan baru kemudian ditanamkan di Banggor; tetapi rohnya masuk ke dalam tubuh seekor buaya tua. Apabila seekor buaya muncul di perairan di daerah itu, orang yang dalam pelayaran segera berkata, “Nakhoda Ragam, cucumu minta izin untuk lalu.” Buaya lalu hilang dari permukaan air.

Cerita Si Kantan

Pada suatu masa dahulu, di negeri Panai di Sumatera Timur, tinggallah seorang miskin tiga beranak. Anaknya yang bernama Si Kantan itu sudah berumur 16 tahun. Pada suatu hari, bapak Si Kantan masuk mengambil kayu api dalam hutan dan terjumpa sebuah tongkat semambu yang sangat mahal harganya. Tongkat itu, disuruhnya anaknya Si Kantan menjualnya di Pulau Pinang.

Tersebut pula perkataan Si Kantan mendapat uang ringgit yang banyak sekali, karena menjual tongkat semambu. Maka Si Kantan pun hiduplah seperti orang kaya di Pulau Pinang. Hatta ia pun kawin dengan seorang gadis, anak perempuan seorang saudagar kaya. Selang berapa lamanya, ia pun berlayar pulang ke negeri Panai bersama-sama dengan istrinya.

Kabar kedatangan Si Kantan dengan perahunya yang berisi barang-barang yang berharga pun terbetiklah ke seluruh negeri Panai. Ibu Si Kantan juga pergi berjumpa dengan anaknya. Tetapi Si Kantan tidak mau mengakui ibunya. Pikirannya dalam hati, baiklah orang itu jangan kukatakan lagi orangtuaku, malu aku kepada istriku yang seperti bulan penuh itu rupanya. Patutkah orang yang sudah semulia dan sekaya aku mempunyai orang tua yang seburuk dan sekotor itu?

Berkali-kali ibu Si Kantan mencoba bertemu dengan anaknya, tetapi sia-sia saja. Akhirnya ibu Si Kantan berseru, “Ya Allah, Ya Tuhanku. Kalau benar ia anakku yang sudah mendurhaka kepadaku, barang dibalaskan Allah juga kiranya dosanya kepadaku itu.”

Maka dengan takdir Allah, turunlah hujan dan angin badai, air di sungai itu pun menggunung, besar gelombangnya. Perahu Si Kantan itu pun diambung dan diempaskan ombak sehingga tenggelam. Setelah itu, hujan dan angin pun berhentilah. Demi ombak dan gelombang itu berhenti, maka dengan sekonyong-konyong timbullah perahu Si Kantan yang karam itu menjadi sebuah pulau, lalu dinamai Pulau Kantan. Di atas pulau itu ada seekor beruk putih diam, yang disangka orang kejadian dari istri Si Kantan. Hingga sampai pada masa ini, pulau itu kelihatan terang dari negeri Panai.

Referensi:

Liaw Yock Fang. 2011. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik. Jakarta: YOI